Skizofrenia: Mengurai Misteri dan Menyidak Fenomena di Balik Gangguan Mental Ini
Edukasi | 2024-07-29 15:30:02Fenomena skizofrenia ini perlu dan sangat penting untuk diangkat karena skizofrenia ini merupakan gangguan jiwa dimana pasien mengalami kesulitan mengevaluasi realitas (kemampuan pengujian realitas/RTA) dan memiliki citra diri yang buruk. Karena itu, pasien skizofrenia adalah orang yang menderita gangguan jiwa atau kepribadian ganda dan tidak mampu menilai kenyataan. Dengan membahas dan memahami skizofrenia, dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kondisi ini. Hal ini dapat membantu stigma dan diskriminasi yang dialami oleh individu dengan skizofrenia. Selain itu, dengan meningkatkan pengetahuan tentang skizofrenia, kita juga dapat mendorong penelitian lebih lanjut dan pengembangan pengobatan yang lebih efektif.
Teori yang digunakan untuk menjelaskan skizofrenia pada artikel ini adalah teori Sigmund Freud yang menjelaskan bahwa skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor. Artinya, (1) kelemahan ego yang mungkin disebabkan oleh faktor psikologis atau fisik (2) Superego tersingkir dan tidak dapat berkuasa, id mengambil alih dan terjadi kemunduran ke tahap narsisme (3) Kapasitas transferensi hilang, membuat terapi psikoanalitik menjadi tidak mungkin.
Selain itu ada teori dopamin yang dipakai yaitu salah satu teori yang menyangkut dan berhubungan dengan skizofrenia, teori ini berfokus pada peran dopamin, yaitu zat kimia dalam otak, dalam perkembangan skizofrenia. Menurut teori ini, gangguan dopamin dalam otak bisa menyebabkan gejala skizofrenia. Menurut Hawari (Zulfa, 2019) skizofrenia mempunyai gejala, yaitu gejala positif dan gejala negatif, sebagai berikut:
1. Gejala positif skizofrenia
Penderita skizofrenia menunjukkan gejala positif seperti :
a. Waham atau delusi, terutama keyakinan yang tidak rasional.
b. Halusinasi, terutama pengalaman indrawi yang tidak dirangsang (stimulus).
c. Kebingungan pemikirannya terlihat jelas dari isi pembicaraan. Misalnya ucapannya sangat sulit dipahami sehingga mustahil untuk memahami pemikirannya.
2. Gejala negatif skizofrenia
Penderita skizofrenia menunjukkan gejala negatif seperti :
a. Area emosi (affect) itu datar, dan gambaran pada area emosi ini terlihat dari wajah tanpa ekspresi.
b. Menyendiri atau terisolasi (withdrawn), tidak ingin berinteraksi dan berhubungan, gemar bermimpi (daydreaming)
c. Pasif, apatis, dan menarik diri dari masyarakat.
Gejala negatif skizofrenia sering kali tidak dikenali atau kurang mendapat perhatian dari anggota keluarga, karena gejala tersebut tidak dikenali sebagai ‘‘gejala tidak menyenangkan’’ seperti halnya pasien skizofrenia dengan gejala positif.
Menurut Slever & Davis (Aditya Putra Harwanto et al., 2023), penelitian mengatakan bahwa penyebab skizofrenia masih belum diketahui, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang terkena skizofrenia, seperti kerentanan genetik dan pengaruh lingkungan. Menurut Cornelia, G (Aditya Putra Harwanto et al., 2023) Sekitar 24 juta orang, atau 1 dari setiap 300 (0,32%), menderita skizofrenia di seluruh dunia. Jumlah ini cukup rendah dibandingkan penyakit mental lainnya. Menurut studi Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, sekitar 450.000 orang di Indonesia menderita gangguan jiwa akut sementara berdasarkan Riskesdas 2018, angka penderita skizofrenia di Indonesia sebesar 6,7 jiwa per 1000 rumah. Orang dengan skizofrenia mempunyai risiko lebih tinggi untuk berperilaku agresif. Kebanyakan penderita skizofrenia memiliki kelainan perilaku dan otak pada masa kanak-kanak yang mengindikasikan adanya kelainan pada perkembangan saraf.
Penderita skizofrenia seringkali berhalusinasi seperti “Akhir-akhir ini, pikiranku mempermainkanku, menciptakan orang-orang di dalam kepalaku yang terkadang datang keluar untuk menghantui dan menyiksaku. Mereka mengelilingi saya di dalam kamar, bersembunyi di balik pohon dan di bawah salju di luar. Mereka mengejek dan meneriaki saya serta menyusun rencana untuk mematahkan semangat saya. Suaranya datang dan pergi, tapi rakyat selalu ada, selalu nyata” (Passer & Smith, 2011)
Skizofrenia dapat terjadi karena kecenderungan genetik dan pengaruh lingkungan sesuai penelitian di atas. Misalnya, studi adopsi menunjukkan bahwa keturunan biologis dari penderita skizofrenia mempunyai risiko lebih tinggi terkena skizofrenia, bahkan jika mereka diadopsi saat lahir dan dibesarkan oleh orang tua non-skizofrenia. Maka yang terjadi saudara kembar juga menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian skizofrenia lebih tinggi pada kembar monozigot (yang memiliki 100% gen yang sama) dibandingkan kembar dizigotik (yang memiliki rata-rata 50% gen yang sama) (Tsuang et al., 2022)
Dapat disimpulkan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa serius yang menyerang sekitar 7 dari 1000 orang pada populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia 15 hingga 35 tahun. Gangguan ini berarti penderitanya tidak dapat menilai kenyataan dengan baik dan memiliki citra diri yang rendah. Skizofrenia merupakan subyek dari banyak kesalahpahaman dan stigma, namun memahaminya dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman Masyarakat. Meski penyebab skizofrenia masih belum diketahui, namun beberapa faktor penyebab skizofrenia antara lain kerentanan genetik dan pengaruh lingkungan. Studi adopsi dan studi kembar menunjukkan bahwa kerentanan genetik berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Dengan demikian, penting untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan pengobatan yang lebih efektif untuk pengidap skizofrenia. Selain itu, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kondisi ini dapat membantu mengurangi stigma dan diskriminasi yang dialami oleh individu dengan skizofrenia.
Referensi:
Aditya Putra Harwanto, Engki Triwahyudi, & Raissa Dwifandra Putri. (2023). Lanskap dinamika skizofrenia: studi literatur terkait perilaku pengidap skizofrenia. Flourishing Journal, 3(3), 79–89. https://doi.org/10.17977/um070v3i32023p79-89
Dinata, B. A., Pribadi, T., & Triyoso, T. (2023). Dukungan keluarga dan kualitas hidup pada pasien dengan Skizofrenia. Holistik Jurnal Kesehatan, 17(4), 285–293. https://doi.org/10.33024/hjk.v17i4.9190
Dwi Jayanti, D. M. A., & Arwidiana, D. P. (2021). Factors related to schizoprenia patients’ ability in performing self-treatment. Interest : Jurnal Ilmu Kesehatan, 10–17. https://doi.org/10.37341/interest.v0i0.301
Karaağaç Özçelik, E. (2017). Family environment, internalized stigma and quality of life in patients with schizophrenia. Journal of Psychiatric Nursing. https://doi.org/10.14744/phd.2017.07088
Passer, M. W., & Smith, R. E. (2011). Psychology : the science of mind and behavior. McGraw-Hill Higher Education.
Septi. (2020). Mengenal penyakit skizofrenia: apa itu dan penyebabnya. Farmaku.Com. https://www.farmaku.com/artikel/mengenal-penyakit-skizofrenia/amp/
Tsuang, M. T., Stone, W. S., & Faraone, S. V. (2022). Schizophrenia: vulnerability versus disease. Dialogues in Clinical Neuroscience, 2(3), 257–266. https://doi.org/10.31887/DCNS.2000.2.3/mtsuang
Zulfa, F. (2019). Studi kasus kepatuhan minum obat sebagai upaya pencegahan kekambuhan pada pasien skizofrenia dengan halusinasi di desa pandian kabupaten sumenep. http://repository.um-surabaya.ac.id/id/eprint/5613
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.