Kali Ini, Kita Harus Berterima Kasih kepada Penjajah Belanda
Sejarah | 2022-01-21 13:49:03Indonesia bangsa yang unik bin ajaib, saking uniknya sampai membuat Penjajah Belanda kewalahan. Ajaibnya hanya di Indonesia penjajah gagal menerapkan hukum buatannya kepada para pribumi di negara jajahannya. Karena sudah terpojok terpentok, walhasil pada tahun 1939 Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik yang bisa dibilang spesial buat kaum pribumi. Kebijakan itu adalah Indische Staatregeling (IS) 1939, yang dalam Pasal 39-nya membedakan warga negara Indonesia dalam warga pribumi (Irlander), Eropa dan Timur Asing. Sekilas secara lahiriyah kebijakan ini seolah menghina dan merendahkan Bangsa Indonesia, karena diaggap irlander, yang seringkali dimaknai golongan rendahan atau orang pedalaman. Tapi jangan emosi dulu, secara bathiniyah justru ini adalah kemuliaan terpendam yang sama sekali tak disadari kaum penjajah.
Pasal 131 Indische Staatregeling (IS) mengakui perbedaan warga negara sehingga mau tak mau membawa konsekuensi timbulnya keanekaragaman hukum, yang bahasa hukumnya disebut pluralstic legal systems. Meski terkesan sarkas dan kejam seolah menempatkan orang asli Indonesia di kasta terendah, namun kebijakan politik itu otomatis melegitimasi hukum adat sebagai hukum yang berlaku dan tidak dapat dipisahkan dari struktur masyarakat pribumi. Walhasil, barokahnya kebijakan Belanda itu kini hukum adat berdiri sama tinggi dengan hukum Islam dan hukum warisan Pemerintah Belanda yang berlaku di Indonesia. Bahkan saking mberkahi-nya, menurut Surojo Wingnjodipuro jika dalam proses pembentukan hukum nasional tidak mengakomodir asas-asas hukum adat, maka peraturan hukum nasional tersebut tidak sesuai dengan jiwa bangsa. Barokahnya kebijakan ini pula, hukum adat begitu berkembang pesat pengkajian dan pembahasannya, serta hukum adat semakin dikenal dunia sebagai hukum khas Indonesia.
Belanda memang penjajah, dan di belahan bumi manapun penjajah pasti kejam dan jahat karena mengeruk kekayaan seenak udel-nya. Tapi tak berguna juga ketika kita hanya mengecam kejahatan masa lalu itu, lagipula sekarang Belanda sudah taubatan nashuha yang dibuktikan dengan mengembalikan Keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro kepada Pemerintah Indonesia. Sebagai bangsa yang berketuhanan, ada baiknya kita mengambil hikmah atas penjajahan tiga setengah abad itu. Hikmah pemberlakuan pluralisme hukum itu menyadarkan Bangsa Indonesia, bahwa sejatinya Indonesia punya sistem hukum tersendiri yang sudah ada di desa-desa, di kampung-kampung, dan telah hidup dalam masyarakat adat jauh sebelum Belanda datang.
Harus diakui, bahwa istilah “masyarakat hukum adat” diperkenalkan oleh sarjana terkemuka Belanda, van Vollenhoven untuk menunjukkan warga pribumi atau suku asli Indonesia. Menurut saya, pemikiran yang “diwariskan penjajah” ini punya peran penting dalam mendorong pengundangan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang telah dijamin Pasal 18B ayat (2) Konstitusi kita. Dengan Indische Staatregeling (IS) 1939 menunjukkan betapa seriusnya penjajah “mencintai” masyarakat hukum adat di tanah jajahannya. Kalau diibaratkan gadis desa, penjajah bukan sekadar membual dengan kata-kata gombal, namun berani melamar bahkan menikahi sang pujaan hati.
Akankah kita semua kalah serius “mencintai” “gadis desa kampung kita” itu? Harapannya tentu tidak. Semoga Rancangan Undang Undang Masyarakat Hukum Adat yang telah sekian lama “digodog” di DPR benar-benar matang sehingga mengakomodasi segala kepentingan masyarakat adat kita. Semoga tahun ini RUU MHA dapat disahkan, melihat hingga saat ini masih banyak hak masyarakat adat yang belum terlindungi secara maksimal, terutama sekali tanah-tanah adat yang kerapkali tergusur dikarenakan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.