Inspirasi Jumat: Menjaga Kemurnian Ilmu Agama
Agama | 2024-07-26 14:00:43Islam mengajarkan bahwa ilmu adalah bagian anugerah paling mulia dan berharga. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan hidup, menunjukkan apa yang benar dan salah. Dalam konteks agama, ilmu menjadi landasan utama dalam memahami ajaran-ajaran Islam secara benar. Oleh karena itu, menjaga ilmu dengan tidak berfatwa tanpa ilmu adalah prinsip yang sangat penting dan harus dijunjung tinggi oleh setiap Muslim.
Berfatwa adalah memberikan pendapat atau keputusan hukum dalam masalah agama. Fatwa ini diberikan oleh seorang mufti atau ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang syariat Islam. Namun, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk berfatwa. Dalam Islam, ada persyaratan ketat untuk seseorang bisa berfatwa, salah satunya adalah memiliki ilmu yang memadai. Ini penting karena fatwa yang salah atau tidak berdasarkan ilmu dapat menyesatkan umat dan menimbulkan kerugian besar, baik secara spiritual maupun sosial.
Salah satu peringatan keras dalam Islam adalah berbicara tentang agama tanpa ilmu. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. An-Nahl: 116). Ayat ini menegaskan betapa pentingnya berhati-hati dalam menyampaikan hukum-hukum agama.
Rasulullah SAW juga bersabda, "Barang siapa yang berbicara tentang Al-Qur'an tanpa ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka." (HR. Tirmidzi). Hadis ini mengingatkan kita akan bahaya berbicara tentang agama tanpa pengetahuan yang cukup. Tidak hanya menyesatkan orang lain, tapi juga membawa dampak negatif bagi diri sendiri.
Fenomena berfatwa tanpa ilmu dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah ketika seseorang memberikan pendapat agama berdasarkan pendapat pribadi atau asumsi tanpa merujuk kepada sumber-sumber yang sahih, seperti Al-Qur'an dan Hadist. Hal ini sering kali terjadi di era digital saat ini, di mana informasi dapat dengan mudah tersebar tanpa adanya verifikasi. Media sosial menjadi platform yang banyak digunakan untuk menyebarkan fatwa atau pandangan agama, namun tidak semua yang tersebar itu berdasarkan ilmu yang benar.
Untuk menjaga keaslian dan kemurnian ajaran Islam, sangat penting bagi setiap individu untuk selalu merujuk kepada sumber-sumber yang sahih dan ulama yang memiliki otoritas dalam berfatwa. Tidak hanya itu, penting juga untuk terus belajar dan meningkatkan pengetahuan agama agar dapat memahami dengan benar apa yang disampaikan oleh para ulama. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjaga diri dari kesalahan dalam beragama, tetapi juga membantu menjaga keutuhan ajaran Islam.
Lebih dari itu, ada sebuah pelajaran berharga dari seolah ulama terkemuka di dunia, Imam Malik. Beliau adalah gurunya Imam Syafi’i, salah satu ulama mazhab terbesar di Indonesia. Semua ulama bersepekat tentang dahsyat dan mendalamnya ilmu yang beliau miliki. Karya-karya fenomenal yang kini mendunia dan menjadi warisan untuk dipelajari sebagai sarana dalam meningkat pemahaman agama dimuka bumi.
Suatu ketika beliau pernah didatangi seseorang dari daerah Maroko yang membawa 40 pertanyaan seputar agama. Diantara 40 pertanyaan tersebut beliau hanya menjawab sebanyak 8 pertanyaan. Sisanya beliau jawab dengan mengatakan “saya tidak tahu”.
Kita dapat membayangkan, ulama sekelas Imam Malik dengan beraninya tanpa ragu untuk mengatakan “saya tidak tahu” dalam masalah agama. Lantas, siapakah kita yang tiada bandingannya dengan ulama sekelas Imam Malik, bahkan jauh dari kata paham dengan agama begitu enggan dan memegang gengsi tinggi untuk mengatakan “saya tidak tahu” pada perkara agama. Bahkan banyak diantara kita yang gampang memberikan fatwa atas hukum agama tanpa pengetahuan kecuali hanya sedikit. Sungguh sangat disayangkan dan musibah besar ketika kita terjatuh dalam sikap “sok tau” dalam perkara-perkara agama yang kita tidak mengetahuinya.
Seorang Muslim yang sejati harus memiliki sikap tawadhu (rendah hati) dalam menuntut ilmu. Tidak semua orang harus berfatwa, dan tidak ada kewajiban untuk memberikan pendapat jika memang tidak memiliki ilmu yang cukup. Ada baiknya untuk diam jika tidak tahu daripada berbicara tanpa ilmu yang dapat menyesatkan. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmidzi). Hadis ini mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang kita kuasai dan meninggalkan yang tidak kita ketahui.
Akhirnya, penulis ingin mengutip sebuah hadits yang mungkin bisa menjadi renungan bagi kita umat muslim untuk berhati-hati dalam berkata tentang urusan agama apalagi sampai mengeluarkan fatwa seenak hati. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka ia dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi.” (H.R. Ibnu ‘Asakir)
Menjaga ilmu dengan tidak berfatwa tanpa ilmu adalah tanggung jawab bersama dalam menjaga keaslian dan kemurnian ajaran Islam. Setiap Muslim harus sadar akan pentingnya ilmu dalam memahami agama dan berhati-hati dalam menyampaikan pendapat. Dengan demikian, kita dapat menjaga diri dari kesalahan dan membantu membimbing umat menuju jalan yang benar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.