Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhamad Irfan Nurdiansyah

Pencegahan Bencana tak Jadi Prioritas di Negara Supermarket Bencana

Humaniora | 2024-07-25 14:39:13
Indonesia Rawan Bencana AI : Muhamad Irfan Nurdiansyah

Kita sekarang sudah mulai tau bahwa Negara kita ini adalah negara yang sangat rawan bencana. Hampir setiap bulan, minggu bahkan hari kita mendengar kabar bencana di negeri ini. Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik hal ini membuat indonesia menjadi supermarket bencana. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sekitar 90% wilayah Indonesia rentan terhadap gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor.

Tak berhenti sampai disitu ada Data juga dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami sekitar 500 gempa bumi signifikan setiap tahun dan ada lebih dari 130 gunung berapi aktif tersebar di seluruh negeri, yang dapat menyebabkan letusan sewaktu-waktu menurut PVMBG. Sampai ada istilah Indonesia adalah supermarketnya bencana, karena bencana apa aja ada di Indonesia.

Ironisnya literasi bencana di Indonesia sangat minim, apa buktinya? Sederhananya kalian bisa lihat berita-berita yang beredar bahwa warga tidak mau diungsikan ketika terjadi bencana. Ketika terjadi bencana masyarakat malah sibuk merekam video ketimbang menyelamatkan diri. Fenomena tersebut membuat semakin mirisnya hidup di negara ini, sudah banyak bencana namun penanganan bencana utamanya pencegahan atau dikenal dengan mitigasi bencana malah sangat kurang dilakukan. Lalu kenapa pencegahan bencana belum banyak dilakukan?

1. Anggaran Bencana Seupil

Anggaran untuk penanggulangan bencana di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Menurut Kementerian Keuangan, anggaran untuk BNPB pada tahun 2023 mencapai Rp 7,5 triliun, meningkat dari Rp 6,8 triliun pada tahun sebelumnya, meningkat pun masih saja kecil. Analoginya 7,5 triliun jika dibagi dengan 278 juta penduduk Indonesia Tahun 2023 ketemu angka Rp 26.978. Selain itu, dana kontinjensi bencana sebesar Rp 4 triliun disiapkan untuk keadaan darurat. Namun, persentase alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penanggulangan bencana masih sekitar 0,5% dari total anggaran nasional.

Meski demikian, alokasi anggaran ini masih dianggap kurang memadai untuk mengatasi berbagai bencana yang sering terjadi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Jepang yang sama-sama negara rawan bencana, Anggaran penanggulangan bencana di Jepang jauh lebih besar. Menurut laporan dari Kementerian Keuangan Jepang, anggaran tahunan untuk penanggulangan bencana di Jepang mencapai sekitar ¥1 triliun (setara dengan Rp 130 triliun) pada tahun 2023.

Dengan dana yang cuma seupil itu penggunaanya masih fokus ke saat terjadi bencana saja, bukan fokus memikirkan pencegahan. Laporan BNPB Tahun 2023 lebih dari 70% anggaran penanggulangan bencana digunakan untuk respons darurat seperti evakuasi dan penyediaan bantuan kemanusiaan. Padahal, mitigasi dan kesiapsiagaan seharusnya menjadi prioritas untuk mengurangi dampak bencana di masa depan. Ketergantungan pada tanggap darurat juga menunjukkan kurangnya kesadaran dan pendidikan masyarakat mengenai pentingnya mitigasi bencana. Sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada pada Tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya 30% masyarakat di daerah rawan bencana yang memahami prosedur evakuasi. Ini menegaskan pentingnya edukasi dan latihan rutin untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat ketimbang fokus merespon bencana yang terjadi.

2. Lembaga Penanganan Bencana Yang Kurang Jelas

Kalian mungkin sering mendengar nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ketika terjadi bencana. Faktanya mereka memiliki struktur organisasi yang berbeda. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, BNPB berada di bawah presiden, sedangkan BPBD berada di bawah kepala daerah masing-masing. Hal ini sering kali menyebabkan kurangnya koordinasi dan perbedaan kebijakan antara pusat dan daerah dalam penanggulangan bencana. BNPB tidak bisa memerintah si BPBD ketika terjadi bencana, selain itu BPBD seringkali kekurangan dana dan sumber daya, mengingat anggaran mereka bergantung pada alokasi daerah.

Jika dibandingkan dengan Jepang, kenapa jepang lagi? Ya karena negara yang rawan bencana selain Indonesia adalah negara bunga sakura tersebut, dan Jepang dikenal dengan sistem penanganan bencana yang sangat baik dan terorganisir. Menurut laporan dari Japan International Cooperation Agency (JICA), Jepang memiliki sistem early warning yang sangat canggih dan mampu memberikan peringatan beberapa detik sebelum gempa besar terjadi. Di Indonesia, meskipun sistem peringatan dini untuk tsunami telah ada, namun keandalan dan jangkauannya masih perlu ditingkatkan. Jepang juga memiliki standar bangunan tahan gempa yang ketat, sedangkan di Indonesia, penerapan standar ini belum merata terutama di daerah-daerah terpencil. Jangankan bangun rumah tahan gempa, mengatasi stunting saja dengan bagi-bagi susu kemasan.

3. Sedikitnya SDM Ahli Bencana

Di Indonesia, jumlah ahli bencana masih sangat terbatas. Data dari BNPB Tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 2.000 ahli yang terlatih secara khusus dalam penanggulangan bencana. Sangat kontras dengan Jepang, kualitas tenaga ahli bencana di Jepang diakui sebagai yang terbaik di dunia. Menurut sebuah studi dari Universitas Tokyo Tahun 2023, Jepang memiliki lebih dari 20.000 ahli bencana yang terlatih secara khusus di berbagai bidang seperti seismologi, vulkanologi, dan manajemen bencana. Bisa dihitung dengan jari untuk jumlah kampus yang membuka program studi kebencanaan, seperti UGM, UI, UNAIR, UPN dan UNHAN. Itupun dengan jumlah mahasiswa yang sangat amat sedikit kalau dibanding prodi lain seperti kesehatan atau ekonomi. Wajar saja kalau ahli bencana di Indonesia masih sedikit, mungkin juga karena peluang kerja yang bisa dibilang kurang jelas, karena negaranya belum memprioritaskan penanggulangan bencana.

4.     Program Pendidikan Bencana Hanya Seremonial

Faktanya Sebanyak 497,576 sekolah terletak di daerah rawan bencana data dari Kemendikbud Tahun 2019). Di Indonesia, pendidikan bencana belum sepenuhnya terintegrasi dalam kurikulum nasional. Sebuah survei oleh BNPB menemukan bahwa hanya sekitar 30% sekolah di Indonesia yang secara rutin mengadakan latihan evakuasi bencana. Memang program untuk pendidikan bencana itu sudah ada bahkan sudah ada aturannya seperti Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 tentang Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dan Persesjen Kemendikbud Ristek Nomor 6 Tahun 2023. Namun kegiatan sosialisasi bencana di sekolah ataupun semacamnya seakan seperti seremonial saja, para guru dilatih setelah itu mengajarkan kepada muridnya di tahun tersebut. Namun murid akan berganti setiap tahun dan keberlangsungan program tersebut bisa diragukan mengingat beban guru dengan segala administrasi yang harus dikerjakan.

Kembali ke Jepang, Pendidikan bencana di Jepang dimulai sejak usia dini dan menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jepang (MEXT), setiap sekolah di Jepang diwajibkan untuk mengadakan latihan evakuasi bencana secara berkala dan mengajarkan pengetahuan dasar tentang penanggulangan bencana. Bahkan mereka sudah diajarkan berenang sejak TK. Kenapa? Ya karena Jepang termasuk negara yang rawan Gempa Bumi dan Tsunami.

Balik lagi ke Indonesia, Apa kabar di Indonesia? Indonesia adalah Negara Peringkat 1 di Dunia dengan Risiko Bencana Tsunami. Menurut penelitian dari UNISDR ada sekitar 5.402.239 orang di Indonesia yang berpotensi terkena dampak Tsunami. Rangking 1 tapi belum memprioritaskan penanggulangan bencana.

Untuk meningkatkan penanggulangan bencana, Indonesia dapat belajar banyak dari Jepang. Pertama, peningkatan anggaran untuk penanggulangan bencana adalah langkah penting. Kedua, pengembangan dan penerapan teknologi early warning yang lebih canggih harus menjadi prioritas. Ketiga, program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga ahli bencana harus diperluas. Terakhir, integrasi pendidikan bencana dalam kurikulum sekolah nasional dapat membantu membentuk generasi yang lebih siap dan tangguh dalam menghadapi bencana di masa depan. Bagi kalian yang baru tau dan sadar tentang fakta-fakta kebencanaan di Indonesia kalian bisa segera mencari tau dan belajar memahami apa itu bencana kemudian apa yang bisa kalian lakukan sebelum bencana itu terjadi sehingga apabila bencana terjadi kalian bisa menyelamatkan diri syukur bisa membantu orang lain, bukan malah menjadi korban.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image