Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diwan Fadli Sutan Bandaro

Menhir Maek: Penantian Ribuan Tahun Demi Asa Masa Depan

Sejarah | Tuesday, 23 Jul 2024, 13:09 WIB
Source : Langgam.id

Sekitar dua dekade silam. Saat perayaan Idul Adha di kampung kami, di Nagari Guguak VIII Koto, sebuah mobil truk pengangkut ternak menghadapi masalah. Sopir yang mengendarainya bermaksud mengantar sapi kurban ke lokasi penyembelihan di belakang masjid. Bukannya mengambil jalur yang biasa dilewati truk lain, dia memaksakan kendaraannya untuk lewat halaman depan.

Atap truk setinggi nyaris tiga meter tersebut sampai robek karena tersangkut di gerbang masjid sedangkan gerbang itu sendiri juga mengalami sedikit kerusakan. Namun permasalahan tidak berhenti sampai di sana. Jalan dari halaman depan menuju lokasi penyembelihan terhalang oleh tiga buah menhir. Ketiga menhir tersebut sudah berada di sana jauh sebelum masjid itu didirikan pada zaman Belanda.

Bahkan mungkin jauh sebelum kampung kami ada, Tapi seperti halnya peninggalan sejarah pada umumnya, masyarakat nyaris tidak menyadari keberadaanya, tidak peduli lebih tepatnya !. Setidaknya sampai hari itu, saat mobil pengangkut sapi kurban terjebak ditengah dilema; putar balik dan menambah kerusakan pada gerbang masjid atau membongkar paksa menhir di tengah jalan agar bisa melanjutkan ke jalur lain. Jawabannya sudah pasti, merusak fasilitas masjid dipandang sebagai tindakan dosa, sedangkan menhir?. masyarakat bahkan tidak tahu siapa yang membuatnya.

Rasanya baru kemaren hal itu terjadi, belasan orang dewasa berusaha keras menggoyangkan menhir di dekat masjid untuk membongkarnya. Tak butuh waktu lama hingga monumen masa lalu tersebut ditumbangkan. Kendaraan bisa lewat dan menhir malang tersebut pun diabaikan begitu saja. Belakangan diketahui dari sebuah jurnal pusat penelitian arkeologi nasional (Triwulanjani : 2016) bahwa menhir dari desa kami yang terdaftar hanya satu buah. Berarti tiga buah menhir yang merepotkan panitia kurban waktu itu bahkan belum tercatat oleh peneliti.

***

Pembahasan tentang menhir beberapa kali mengalami pasang surut. Dimotivasi oleh kepedulian akan peninggalan sejarah kan kecintaan akan ilmu pengetahuan. Orang-orang pintar berdatangan ke kabupaten Limapuluh kota untuk meneliti tiang-tiang batu tersebut. F.M. Schnitger, seorang arkeolog masa kolonial yang terkenal dengan petualangannya untuk menemukan sisa-sisa candi di Padang Lawas menuliskan dalam bukunya ‘The Forgotten Kingdom of Sumatera’ beberapa tempat di daerah luhak nan bungsu sebagai tempat berkembangnya tradisi megalitik (Schnitger : 1939).

Pasca kemerdekaan, kajian mengenai menhir kembali bergairah pada era 80-an. Berbagai penemuan baru menambah halaman pada buku-buku sejarah. Beberapa daerah di wilayah kabupaten Limapuluh Kota pun jadi semakin kerap muncul dalam catatan arkeologis. Keberadaannya mulai mendapata perhatian, situs cagar budaya didirikan. Melalui pelajaran Budaya Alam Minangkabau, Menhir diperkenalkan pada generasi muda.

Nagari Maek di Kecamatan Bukit Barisan memiliki menhir terbanyak. Lebih dari 800 peninggalan era megalitikum yang didominasi oleh menhir tersebar di 12 situs sejarah wilayah ini. Hal inilah yang membuat daerah penghasil gambir tersebut mendapat julukan negeri seribu menhir.

Seribu menhir bersemayam di sana. Menjulang selama berabad-abad lamanya. Para ‘detektif masa lalu’ berbeda pendapat perihal usia menhir Maek. Berdasarkan penelitian terhadap sisa kerangka manusia di situs Bawah Parit, para Arkeolog berpendapat bahwa menhir di sana telah di bangun sekitar 2000 SM bahkan mungkin lebih lama.

Artinya menhir-menhir di nagari Maek itu sendiri telah berdiri di sana selama setidaknya empat milenium. Suatu rentang waktu yang amat sangat lama. Masa empat ribu tahun bahkan melebihi catatan peradaban suku Minangkabau itu sendiri. Itu adalah masa di mana para monster-monster dalam dongeng dan legenda masih berkeliaran dan para pahlawan gagah berani belum terlahir dari rahim ibunya. Saat para nabi menunjukkan mukjizatnya pada raja-raja yang menganggap diri sebagai dewa.

Di masa itu, berbagai peristiwa besar dunia masih berupa catatan tuhan. Candi-candi megah seperti Borobudur dan Prambanan bahkan belum berupa rancangan. Aleksander Agung belum terlahir, Tembok Besar Tiongkok belum dibangun satu batu-pun. Menhir-menhir di situs Bawah Parit dipahat lebih dahulu daripada prasasti Hammurabi yang termasyhur, dan mungkin sedikit lebih muda dibandingkan piramida Giza yang tersohor.

Tanpa disadari, monumen batu berbentuk gagang pedang yang dibangun menghadap Gunung Sago tersebut telah berdiri membisu mengamati sekian banyak perubahan dunia. Berdiri dan runtuhnya kekuasaan para raja. Kelahiran dan kematian para tokoh legenda. Serta kemunculan agama-agama. Hingga saat ini, 350 menhir di situs Bawah Parit dan ratusan lainnya yang tersebar di 12 situs serupa di nagari Maek masih menunggu asa.

Berdiri diam ditengah lambaian ilalang dan desir angin yang mengalun melewati Bukik Posuak ditingkahi gemericik syahdu aliran batang Maek. Menhir menanti uluran tangan keratif dan baik hati yang akan membuatnya popular hingga ke dunia luas.

***

Pembahasan mengenai situs menhir Maek banyak ditemukan dalam catatan penelitian para arkeolog. Beberapa juga disajikan dalam bentuk artikel di media masa atau tulisan perantau yang rindu kampung halaman. Dokumentasi dalam bentuk audio visual cukup banyak ditemukan di situs youtube, hampir seluruhnya berupa dokumenter singkat yang durasinya tidak lebih dari 30 menitan. Konten-konten semacam ini tentu hanya bisa dinikmati oleh peminat sejarah dan orang-orang yang tertarik dengan budaya lama.

Hal ini lumayan meresahkan, mengingat sejarah dan budaya bukanlah cabang ilmu yang paling popular di kalangan generasi muda. Sementara tindakan untuk mewariskannya merupakan satu keniscayaan. Upaya untuk mempromosikan tempat wisata menjadi suatu destinasi populer tidaklah mudah, apalagi destinasi wisata bersejarah. Semua orang memahami hal tersebut.

Pada dasarnya kita sama sekali tidak kekurangan destinasi wisata bersejarah. Beberapa situs yang apik pernah dipromosikan secara jorjoran oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Sebutlah Jam Gadang di Bukittinggi, Lubang Mbah Suro di Sawah Lunto, hingga desa terindah di dunia Nagari Pariangan, Tanah Datar. Semuanya meledak pada masanya, menarik minat wisatawan lokal hingga manca negara namun meredup jua pada akhirnya. Jam Gadang mungkin salah satu pengecualian. Namun tak dapat dipungkiri bahwa wisatawan datang mengunjunginya karena menara jam yang pada tahun 2025 nanti berusia satu abad tersebut, lebih dipandang sebagai ikon kota wisata dibandingkan suatu situs bersejarah.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida zuraida, pernah menyampaikan pentingnya menyajikan pendekatan yang lebih menarik untuk memancing minat masyarakat pada wisata sejarah. Menurutnya perlu ada sinergi dari semua pihak untuk membuat destinasi wisata menjadi menarik. Pendapat beliau tidak dapat dibantahkan. Mewujudkan kerjasama berbagai pihak dalam mempromosikan wisata sejarah tentu akan berdampak positif pada situs bersejarah tersebut. Hingga saat ini, Kerjasama itu masih menjadi pe er bagi kita semua. tentunya pe er tersebut telah mulai di kerjakan di beberapa tempat. Di situs menhir maek sekarang misalnya.

Mari kita lihat sebentar ke belahan dunia lain, di sebuah padang rumput nun sepuluh ribu kilometer lebih jaraknya ke arah barat laut dari situs menhir Bawah Parit. Di sana juga berdiri susunan batu peninggalan umat masa lalu. Stonehenge, begitu orang menamainya. Monumen misterius tersebut saat ini menjadi salah satu situs bersejarah yang paling populer di planet ini. Usia susunan batu di pedalaman Inggris itu tidak jauh beda dengan 370 menhir yang terdapat di situs Bawah Parit, dan misteri yang disimpannya juga sama banyaknya. Namun Stonehenge bernasib lebih mujur dan meraih kepopuleran yang lebih besar.

Stonehenge tidak hanya di sajikan sebagai peninggalan masa lalu. Berbagai spekulasi dan mitos seakan ikut disusun sebagai bagian dari monumen tersebut. Sementara para arkeolog berusaha untuk mengungkap misteri dibaliknya, para seniman pencipta romansa merumuskan tafsiran mereka sendiri. Keagungan Stonehenge telah digoreskan di atas kanvas oleh para pelukis sejak abad ke 18. Para penyair dan sastrawan juga telah menuliskan karya tentangnya. Bahkan penggemar fiksi ilmiah dan penganut teori konspirasi bebas berimajinasi dan berspekulasi. Hal ini justru membuat Stonehenge kian diminati. Situs clonehenge.com mencatat, setidaknya ada 28 film yang memasukkan monumen tersebut kedalam adegannya. Di antaranya merupakan film papan atas dari Hollywood seperti Thor: The Dark World (2013) dan Transformer : The Last Knight (2017)

Sabagian dari pembaca mungkin akan langsung melengos begitu mengetahui situs menhir Maek dibandingkan dengan Stonehenge Inggris. Mungkin akan muncul komentar tak puas seperti ‘ibarat membandingakan merak dan itik’ atau Bahasa yang lebih disukai anak muda ‘sanga not apple to apple’. Namun coba sejenak kita tarik makna dari perbandingan di atas. Stonehenge mendapat kepopuleran bukan hanya dari statusnya sebagai warisan pra sejarah umat manusia. Namun lebih kepada misteri dan legenda yang tetap hidup di dalamnya. Di lain pihak, Menhir jarang di bawa serta oleh seniman, sastrawan, maupun pemuda-pemuda penggemar teori konspirasi di negeri ini. Lebih dari tiga ratus menhir berdiri seakan minta dihormati, tapi sayangnya kurang membangkitkan imajinasi dan memunculkan kreasi. Padahal jika direnungkan barang sejenak, ratusan monumen batu yang telah berdiri tegak selama beberapa milenium di suatu tempat di wilayah Bukit Barisan rasanya tak kurang menarik untuk dikaji.

Seperti halnya Stonehenge, beberapa situs sejarah sukses menaikkan pamornya melalui karya seni. Seperti Borobudur yang menjadi favorit para fotografer, situs candi Muaro Jambi yang baru-baru ini diekspose oleh beberapa youtube kondang, dan candi Prambanan yang pernah jadi lokasi perang melawan alien dalam film “Beyond Skyline”.

Oleh karena itu, penting rasanya kita mulai memberi romansa pada kumpulan menhir di Maek yang membisu selama ribuan tahun itu. Hidupkan legenda, tuliskan cerita, masukkan dalam seni rupa, sastra dan budaya popular lain hingga semua kalangan bisa mengenal dan menikmatinya. Bila perlu ungkit lagi mitos dan kepercayaan mengenai menhir untuk membuatnya lebih memikat. Bukan untuk menipu khalayak ramai atau menyebarkan pembodohan masyarakat. Tapi menjaga peninggalan masa lalu tetap berdiri dalam kenangan. Jika hanya memberikan status dan perlindungan, seberapa jauh kita mampu melindunginya. Bahkan batu paling atos sekalipun akan rapuh ditelan zaman. sedangkan selembar surat keluaran pemerintah kerapkali diabaikan. Tapi tidak dengan kenangan. Jika orang-orang sudah mendirikan menhir dalam hati dan ingatan mereka, jangankan merapuh, tumbang pun tak mungkin mereka biarkan. Dengan begitu, di masa depan semoga tidak ada lagi orang awam yang merobohkan menhir hanya sekedar untuk melewatkan mobil ternak, hahaha !.(*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image