Olimpiade Paris dan Politik yang Tidak Lepas dari Olahraga
Olahraga | 2024-07-22 14:10:27Pada hari Jumat malam (26/7/2024) waktu setempat atau Sabtu dini hari (27/7/2024) waktu Indonesia, upacara pembukaan Olimpiade XXXIII akan diadakan di Paris, Prancis. Berbeda dengan Olimpiade pada umumnya yang menyelenggarakan upacara pembukaan di stadion atletik atau sepakbola, Paris membawa terobosan dengan pembukaan yang akan diadakan di pusat kota, yaitu di sepanjang Sungai Seine. Atlet dari 206 negara akan diarak di atas kapal yang melewati berbagai ikon turisme Paris, seperti Museum Louvre, Les Invalides, Place de la Concorde, dan Menara Eiffel yang diyakini akan menjadi tempat dinyalakannya obor Olimpiade.
Bagi Prancis dan Komite Olimpiade Internasional (IOC), penyelenggaraan Olimpiade Paris tentu menjadi sumber kebanggaan sendiri. Besarnya perhatian dunia terhadap Olimpiade, khususnya acara pembukaan, dapat menjadi kekuatan politik yang berpengaruh yang diproyeksikan negara tuan rumah pada dunia. Contohnya, pembukaan Olimpiade 2008 di Beijing (Tiongkok) dan Olimpiade Musim Dingin 2014 di Sochi (Rusia) yang menjadi momen ikonik bagi kepemimpinan politik kedua negara tersebut.
Dalam pesannya, Presiden IOC Thomas Bach menyebut Olimpiade Paris sebagai ajang persatuan dan perdamaian dunia, karena hanya di sinilah perwakilan 206 negara anggota IOC terwakili secara sepenuhnya di tengah peperangan yang berlangsung di dunia, terutama di Ukraina dan Palestina. Prancis sendiri juga menaruh perhatian pada tetap relevannya Prancis sebagai kekuatan politik dan budaya dunia, di tengah diskusi global soal ‘kemunduran Eropa dan dunia Barat’. Penyelenggaraan Olimpiade juga diharapkan menjadi bahan bakar kebanggaan politik bagi Prancis untuk membangktikan optimisme publik di tengah kesulitan mereka akhir-akhir ini, mulai dari terorisme dan radikalisme, imigrasi dan kriminalitas, kesulitan ekonomi, hingga masalah lingkungan hidup.
Namun, terlepas dari retorika optimis Prancis dan IOC, Olimpiade Paris tidak lepas dari tantangan politik, baik di dalam negeri Prancis maupun politik internasional secara umum, yang justru bertentangan dengan retorika optimis yang mereka bawa. Di Prancis sendiri, Presiden Emmanuel Macron dapat dikatakan ‘selamat dari lubang jarum’ pasca pemilu legislatif mendadak yang diadakan pada awal Juli lalu. Kekhawatiran soal berkuasanya kekuatan politik sayap kanan pimpinan Marine Le Pen yang akan menggoyahkan kekuasaan Macron, ternyata tidak terbukti karena koalisi Macron dan partai kiri bisa memegang kendali parlemen Prancis. Dalam dunia olahraga Prancis yang banyak dihiasi keturunan imigran, berkuasanya kekuatan politik sayap kanan jelang Olimpiade, dengan retorika rasisnya, tentu menjadi ganjalan tersendiri.
Meskipun begitu, bukan berarti tantangan politik domestik Prancis jelang Olimpiade sudah teratasi. Beberapa waktu lalu, Prancis mengeluarkan aturan yang melarang atlet perempuan Muslim menggunakan hijab. Meskipun belum terjadi protes besar dan atlet berhijab bisa mengakali aturan tersebut, namun hal ini dapat mencoreng citra Prancis sebagai negara yang mengklaim diri sebagai penjunjung kebebasan individu. Selain itu, tantangan keamanan tetap menjadi perhatian, terutama dengan banyaknya cabang olahraga termasuk upacara pembukaan yang diselenggarakan di tengah kota. Maraknya aksi teror di Prancis beberapa tahun terakhir dan tren peningkatan kekerasan bersenjata secara global memberi PR besar bagi panitia Olimpiade Paris jika tidak ingin ambisi besarnya berakhir tragis.
Di tingkat internasional, klaim IOC soal ‘bersatunya dunia lewat Olimpiade’ meskipun di atas kertas terlihat benar dengan hadirnya semua 206 negara, namun tidak sepenuhnya tepat dan adil, terutama dengan perlakuan berbeda terhadap atlet Rusia dan Israel. Meskipun ada protes keras menentang Israel mengikuti Olimpiade, termasuk di Indonesia, namun IOC memutuskan Israel boleh ikut Olimpiade dengan identitas nasionalnya dan menganggap melarang Israel adalah bentuk diskriminasi. Namun, pada praktiknya, IOC memberlakukan diskriminasi pada atlet Rusia dan Belarus. Atlet kedua negara tidak bisa menggunakan identitas nasional dan hanya bisa berpartisipasi di cabang olahraga individu saja. Tak sampai di situ, beberapa atlet yang sudah lolos Olimpiade dari Rusia dan Belarus tidak diizinkan berpartisipasi oleh IOC, bahkan ada yang tidak diizinkan ikut kualifikasi sama sekali dengan alasan mereka bergabung dengan klub militer. Padahal, Israel sendiri mempunyai banyak atlet yang merupakan anggota militer Israel yang mendukung genosida terhadap Palestina. Akibatnya, hanya akan ada 32 atlet Rusia dan Belarus di Paris, berbeda dengan 430 atlet dari Rusia dan Belarus pada Olimpiade sebelumnya di Tokyo.
Kebijakan IOC tidak hanya diskriminatif dan tidak adil, tetapi juga akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan beberapa cabang olahraga. Rusia merupakan negara yang konsisten masuk tiga besar perolehan total medali Olimpiade. Beberapa cabang olahraga, seperti anggar, senam, renang indah dan gulat didominasi atlet Rusia dalam beberapa Olimpiade terakhir. Ketidakhadiran mereka akan membuat pemenang Olimpiade rasanya di nomor-nomor tersebut kurang layak disebut ‘yang terbaik di dunia’ karena atlet terbaik tidak dapat berpartisipasi. Bagi IOC, keputusan apapun terkait Rusia memang sulit untuk diambil dan pasti tidak akan disukai pihak tertentu. Bahkan, ada beberapa golongan yang meminta atlet Rusia dan Belarus dilarang ikut Olimpiade sepenuhnya, seperti Walikota Paris, Anne Hidalgo. Agak disayangkan IOC membiarkan saja komentar seperti ini, padahal FIFA sendiri mencabut hak Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia U20 karena komentar Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dan Gubernur Bali, I Wayan Koster, yang menolak timnas Israel.
Olimpiade Paris akan dimulai sebentar lagi, di tengah slogan-slogan optimis yang ternyata tidak seindah realita lapangan. Bagaimana Olimpiade akan berlangsung selama lebih dari dua pekan akan berdampak tidak hanya bagi Prancis, namun masa depan gerakan Olimpiade sepenuhnya. Jika Olimpiade bisa terlaksana dengan baik tanpa halangan berarti akibat tantangan politik domestik maupun internasional, hal ini akan memicu optimisme dan membuka solusi terhadap tantangan-tantangan di atas di masa depan. Namun, jika ada kendala dalam Olimpiade, hal ini akan semakin mempersulit posisi Prancis dan gerakan Olimpiade kedepannya. Dari sini dapat dilihat, bahwa medali bukan hanya dimenangkan di arena pertandingan, namun juga arena politik. Politik rupanya memang tidak bisa lepas dari olahraga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.