Pandangan Sosiologi Komunikasi Terhadap Peristiwa G30S PKI
Eduaksi | 2024-07-12 20:56:16Gerakan 30 September (G-30S) PKI adalah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada tahun 1965. Berikut adalah garis besar peristiwa dan konteks sejarah yang pada awal 1960-an, Indonesia berada dalam situasi politik yang sangat tegang. Presiden Soekarno memimpin negara dengan kebijakan yang dikenal sebagai "Nasakom" (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan nasionalis, agama, dan komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) tumbuh menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok, dengan dukungan besar dari rakyat dan kedekatan dengan Soekarno. Di sisi lain, militer, terutama Angkatan Darat, merasa terancam oleh kekuatan PKI yang semakin besar.
Dampak sosiologi komunikasi dari peristiwa G-30S PKI sangat signifikan dan meluas, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Pemerintah Orde Baru berhasil membentuk narasi tunggal yang menggambarkan PKI sebagai pengkhianat bangsa melalui kontrol ketat terhadap media massa, menciptakan ketakutan akan komunisme di kalangan masyarakat. Media massa, termasuk surat kabar, radio, dan televisi, digunakan untuk menyebarkan propaganda anti-komunis dan menghapus narasi sejarah alternatif, mempengaruhi pemahaman masyarakat tentang sejarah mereka. Keluarga dan keturunan orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI mengalami stigmatisasi sosial yang berat, diskriminasi, serta pengawasan ketat, menciptakan budaya takut dan membatasi kebebasan berbicara.
Secara keseluruhan, peristiwa G-30S PKI mempengaruhi komunikasi sosial di Indonesia, menciptakan lingkungan penuh ketakutan, ketidakpercayaan, dan trauma yang berkepanjangan. Kontrol pemerintah terhadap narasi publik dan media, serta stigmatisasi sosial, terus menjadi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia hingga hari ini.
Dari Pandangan sosiologi komunikasi peristiwa G-30S PKI dapat dilihat dari kekuasaan dan kontrol media terhadap propaganda, komunikasi politik, serta trauma dan memori kolektif. Pemerintah Orde Baru menggunakan kontrol ketat atas media massa untuk menyebarkan peristiwa tersebut. Sensor ketat dan propaganda melalui media massa dan pendidikan menggambarkan PKI sebagai musuh utama, membentuk opini publik. Film G30S/PKI digunakan untuk memperkuat untuk menciptakan memori kolektif yang diinginkan penguasa. Komunikasi politik pemerintah melegitimasi kekuasaan mereka dengan menciptakan citra sebagai penyelamat bangsa dari komunisme sementara kontrol terhadap diskursus publik menekan suara-suara kritis membatasi pluralitas opini dan debat demokratis.
Peristiwa ini juga meninggalkan trauma mendalam pada banyak keluarga dan komunitas, mempengaruhi cara masyarakat berkomunikasi tentang masa lalu. Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap keluarga dan keturunan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI menunjukkan bagaimana komunikasi dapat mengisolasi kelompok tertentu. Ketegangan dan perpecahan antar kelompok sosial yang berbeda ideologi mempengaruhi kohesi sosial di masyarakat.
Secara keseluruhan, peristiwa G-30S PKI menunjukkan bagaimana komunikasi digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membentuk opini publik, menciptakan narasi resmi, dan melegitimasi tindakan politik. Trauma dan memori kolektif yang dihasilkan terus mempengaruhi hubungan sosial dan komunikasi antar kelompok di Indonesia hingga hari ini. Upaya rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran menjadi penting untuk memahami dan mengatasi dampak jangka panjang dari peristiwa ini.
UAS SOSIOLOGI KOMUNIKASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
Nama : Handito Putra Pratama
NIM : 22010400197
Mata kuliah : Sosiologi Komunikasi
Dosen : Istisari Bulan Lageni, S.Sos, M.I.Kom
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.