Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image June Cahyaningtyas

Politik Sehari-hari dalam Aksi Mendukung Palestina

Edukasi | 2024-07-06 16:11:27

Banyak yang beranggapan bahwa politik hanya terjadi melalui pemilihan umum untuk menentukan pasangan presiden dan wakil presiden, pejabat publik di tingkat daerah, serta para wakil rakyat di tingkat daerah maupun pusat yang berlangsung lima tahun sekali. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru, karena itulah yang selama ini senantiasa diajarkan dalam pendidikan formal, tidak hanya di tingkat sekolah menengah (melalui pendidikan kewarganegaraan), tapi bahkan di tingkat pendidikan tinggi. Inilah yang disebut dengan politik perwakilan.

Dalam kerangka kehidupan demokratik, politik perwakilan beroperasi melalui perdebatan dalam proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh wakil-wakil terpilih dalam menyusun Undang-Undang, mengawasi jalannya pemerintahan, ataupun mendiskusikan isu-isu krusial dan membuat kebijakan terkait kepentingan publik. Dicirikan dengan adanya perwakilan rakyat di lembaga-lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan, serta perdebatan dalam proses pembuatan kebijakan di tingkat lembaga legislatif, politik perwakilan berjalan dengan didukung sistem kepartaian. Partai-partai inilah yang diharapkan mampu mewadahi aspirasi masyarakat, perantara antara kepentingan warga negara dan pemerintah.

Secara teori diyakini, dengan memilih wakil-wakilnya, warga negara dapat mempengaruhi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik secara tidak langsung. Namun, tidak ada teori yang benar-benar sempurna, termasuk dalam praktik politik perwakilan yang berbiaya mahal, bukan hanya dari sisi finansial melalui penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan, tapi juga terkait dorongan para calon wakil rakyat untuk memenangkan pemilihan, apa pun biaya yang ditimbulkannya bagi sistem politik secara keseluruhan di masa depan.

Bahkan, akibat tingginya dorongan akan pencitraan dewasa ini, politik perwakilan menjadi penuh basa-basi, abai dengan isu-isu yang substantial. Politik tidak lebih dari event, dimana masyarakat dimobilisasi untuk memilih dalam pesta demokrasi berbaiaya mahal, tanpa diberi kesempatan untuk mengenal siapa calon wakil rakyat yang akan dipilihnya, apa program-program yang diusungnya, dan bagaimana pilihan-pilihan itu akan berdampak dalam kehidupannya. Politik sebagai event menghilangkan esensi pendidikan politik yang sesungguhnya.

Namun, yang terburuk dari yang paling buruk adalah ketika di satu sisi masyarakat merasa apatis melihat buruknya kelakuan para politisi di panggung politik ataupun menganggap keberadaan para wakil rakyat terpilih tidak memberi dampak yang bermakna, sementara di sisi lain masyarakat kehilangan kemampuan untuk melihat lebih jauh peran politik yang dimilikinya sebagai warga negara, lalu memilih menjadi penonton pasif dari event lima tahunan semata. Politik seakan-akan menjadi milik kelompok tertentu saja, yakni mereka yang memiliki akses pada birokrasi, partai politik, media, dan kekuasaan.

Namun, boleh jadi pasifisme itu perlahan-lahan meluntur, ketika masyarakat dunia selama berbulan-bulan disuguhi liputan aktual mengenai kekejaman Israel dan sekutu-sekutunya di berbagai media sosial. Tak mampu dihentikan dengan demonstrasi turun ke jalanan, masyarakat belajar membuka diri mencari tahu bagaimana realitas politik dunia telah berjalan selama ini. Tidak berhenti dengan mengecam tindakan Israel di dunia maya, masyarakat juga melakukan boikot secara terbuka pada banyak produk-produk konsumsi rumah tangga yang terafiliasi dengan Israel. Tidak sekadar mengonsumsi berita mengenai sejarah dan dampak-dampak kolonisasi Israel di Palestina, masyarakat juga belajar membedakan media mana yang dapat dipercaya dan yang tidak. Tidak cukup dengan hanya memberikan donasi pada lembaga penggalang dana kemanusiaan, masyarakat juga aktif menggunakan media sosial untuk memproduksi konten edukasi untuk publik. Tidak cukup dengan hanya mengharapkan selebriti dan para tokoh publik untuk ikut bersuara, masyarakat akhirnya memboikot mereka yang mendiamkan genosida.

Masyarakat belajar bahwa sikap diam, membeli dan mengonsumsi produk terafiliasi Israel, ataupun menyerukan perdamaian sembari menutup-nutupi sejarah panjang penjajahan Israel di Palestina berarti ikut menormalisasi situasi politik yang tidak setara. Barangkali inilah sebenarnya yang menjadi titik balik dari skeptisisme masyarakat pada politik perwakilan yang elitis menjadi kesadaran mengenai politik sehari-hari yang membumi. Politik sehari-hari menjadi jawaban atas ketidakmampuan para elit politik untuk mengambil sikap tegas dalam menghentikan genosida dan memerdekakan Palestina dari penjajahan Israel.

Perkembangan politik di Palestina sudah seharusnya memberi banyak pelajaran berharga mengenai pentingnya kesadaran dalam membuat pilihan ketika memutuskan mengonsumsi barang dan jasa. Selain itu, kasus Palestina juga mengajarkan publik mengenai pentingnya memilah media mana yang dapat dipercaya dan mana yang tidak sebagai penyuplai berita dan liputan dari lapangan. Masyarakat juga diajak melihat bahwa, sebagai isu kemanusiaan, terdapat hubungan yang luas antara penjajahan dengan normalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Dari itu semua, masyarakat belajar bahwa perubahan sistem politik hanya dimungkinkan jika rakyat bersatu dalam tujuan yang sama dan bergerak bersama-sama. Memang perlu banyak upaya, tapi ketika ia lahir dari cita-cita perubahan yang sama, maka semua upaya itu layak dilakukan. Dan, poin inilah yang justru paling penting dari segalanya.

Politik sehari-hari adalah politik yang nyata. Politik jenis ini melihat perubahan dapat diraih melalui sikap dan tindakan sehari-hari. Apa pun perannya di masyarakat, setiap orang memiliki peran yang sama berharganya dan tanggung jawab yang sama dipikulnya untuk mempertanyakan keberpihakan, membuat keputusan, dan membuat perubahan. Alih-alih elitis dan berorientasi kekuasaan, ia berorientasi perubahan, baik pada diri pribadi maupun sosial. Ia mendidik setiap individu untuk peduli pada dan mengenali isu-isu yang penting yang mempengaruhi kelangsungan hidupnya sebagai warga negara dan warga dunia.

Belajar dari Palestina, sudah seberapa jauhkah kita, sebagai warga negara dan warga negara dunia, meyakini bahwa perubahan layak diperjuangkan dengan belajar mentransformasi diri sendiri: bersedia mengesampingkan kenyamanan diri dan mencoba membuat perubahan di keluarga, di tempat kita bekerja, dan di mana pun kita berada?

Sumber: pixabay

June Cahyaningtyas

Dosen, Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image