Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Najwa Putri Hidayat

Komunikasi dan Memori Kolektif G30S/PKI: Pembelajaran dari Museum A.H. Nasution

Sejarah | 2024-07-06 10:45:46
Patung Sosok Jenderal A.H. Nasution menulis di meja favoritnya — Museum A.H. Nasution, Jakarta Pusat


Pada Jumat, 7 Juli 2024, bersama Ibu Istisari Bulan Lageni, S.Sos, M.I.Kom, dan teman-teman dari mata kuliah Sosiologi Komunikasi, berkesempatan mengunjungi Museum A.H. Nasution di Menteng, Jakarta. Di sana, kami mempelajari sejarah terkait peristiwa G30S/PKI dan menganalisis beberapa fenomena yang dapat dilihat dari perspektif sosiologi komunikasi. Berikut adalah beberapa poin penting yang menggambarkan hubungan antara peristiwa tersebut dan sosiologi komunikasi.

1. Propaganda dan Manipulasi Informasi

Pada masa sebelum dan setelah peristiwa G30S/PKI, terdapat banyak upaya propaganda dan manipulasi informasi oleh berbagai pihak untuk membentuk opini publik. Pemerintah Orde Baru, misalnya, menggunakan media massa untuk menyebarkan narasi bahwa PKI bertanggung jawab atas kudeta yang gagal tersebut. Dalam konteks sosiologi komunikasi, propaganda digunakan sebagai alat untuk mengontrol narasi sejarah dan membentuk persepsi publik, yang bertujuan untuk mendiskreditkan lawan politik dan mengkonsolidasikan kekuasaan.

2. Kontrol Media dan Penyebaran Ideologi

Pemerintah Orde Baru di bawah Suharto mengambil alih kontrol atas media massa untuk menyebarkan ideologi anti-komunis dan memastikan bahwa hanya satu versi sejarah yang diterima oleh masyarakat luas. Kontrol media ini merupakan bentuk dari hegemoni budaya di mana pemerintah menggunakan media untuk menyebarkan ideologi tertentu dan memastikan dominasi politik. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan politik dapat mempengaruhi dan mengontrol wacana publik melalui media.

3. Komunikasi dalam Konflik Sosial

Konflik sosial yang terjadi akibat perbedaan ideologi antara komunis dan non-komunis menciptakan ketegangan dalam masyarakat. Komunikasi antara kelompok-kelompok ini seringkali dibingkai oleh prasangka dan stereotip. Sosiologi komunikasi mengeksplorasi bagaimana komunikasi dapat memperburuk atau meredakan konflik sosial. Dalam kasus G30S/PKI, komunikasi yang sarat dengan kebencian dan propaganda memperburuk ketegangan dan kekerasan di masyarakat.

4. Memori Kolektif dan Rekonstruksi Sejarah

Museum seperti Museum A.H. Nasution berperan dalam membentuk memori kolektif tentang peristiwa G30S/PKI. Narasi yang disampaikan dalam museum ini mempengaruhi cara masyarakat memahami sejarah tersebut. Sosiologi komunikasi mempelajari bagaimana memori kolektif dibangun dan dipertahankan melalui komunikasi dan media. Museum berfungsi sebagai medium yang merekonstruksi sejarah dan mempengaruhi persepsi generasi mendatang.

5. Identitas dan Stigma Sosial

Setelah peristiwa G30S/PKI, banyak anggota dan simpatisan PKI yang dicap sebagai musuh negara dan mengalami stigma sosial yang berkepanjangan. Stigma ini mempengaruhi identitas dan posisi sosial mereka dalam masyarakat. Sosiologi komunikasi melihat bagaimana identitas individu dan kelompok dibentuk oleh komunikasi sosial. Stigma yang dilekatkan pada anggota PKI menunjukkan bagaimana komunikasi negatif dapat membentuk dan mempengaruhi identitas sosial dan posisi seseorang dalam masyarakat.

Peristiwa G30S/PKI dan fenomena sosial yang mengikutinya memberikan banyak pelajaran tentang peran komunikasi dalam membentuk, mengontrol, dan mempengaruhi masyarakat. Dari propaganda hingga kontrol media, dan dari konflik sosial hingga pembentukan memori kolektif, sosiologi komunikasi memberikan kerangka analitis yang penting untuk memahami dinamika sosial yang kompleks dalam konteks sejarah Indonesia. Museum A.H. Nasution berperan penting dalam memelihara memori kolektif ini dan mengajak kita untuk merenungkan dampak komunikasi dalam sejarah sosial dan politik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image