Membayar Zakat Profesi: Kunci Menuju Keberkahan Harta dan Kepatuhan Spiritual
Agama | 2024-07-03 12:00:51Membayar Zakat Profesi: Kunci Menuju Keberkahan Harta dan Kepatuhan Spiritual
Menurut Yūsuf Al-Qaraḍawi, salah satu jenis zakat yang perlu mendapat perhatian kaum muslimin saat ini adalah zakat penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahlian, baik keahlian yang dilakukan sendiri maupun secara bersama-sama.
Zakat profesi dikenal dengan istilah zakȃh rawȃtib al-muwaẓẓafīn (zakat gaji pegawai) atau zakȃh kasb al-„amal wa al-mihan al-ḥurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta).34 Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan perbulan yang terkumpul selama satu tahun dan melebihi nisab 93,6 gram emas, maka dikenakan zakat 2,5 persen. Hal ini sesuai dengan fatwa MUI Pusat tanggal 01 Rabiul Akhir 1402 H/26 Januari 1982 dan fatwa MUI Sumatera Utara tanggal 25 Muharram 1425 H/17 Maret 2004 M.
Zakat profesi merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan uang. Misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu yang relatif singkat, dapat menghasilkan uang yang begitu banyak.
Terdapat beberapa alasan mengapa jenis zakat ini perlu diperhatikan saat ini, antara lain: Pertama, zakat profesi baru berkembang, dan ini merupakan sebuah terobosan baru. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru mengeluarkan fatwa tentangnya pada tahun 2003, melalui Fatwa MUI No. 3 Tahun 2003 Tentang Zakat Penghasilan. Namun sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum memahami zakat profesi tersebut.
Kedua, gagasan zakat profesi belum sepenuhnya diterima oleh umat Islam di Indonesia.18 Misalnya, kalangan pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Majalengka, baik di lingkungan jabatan struktural seperti PNS di pemerintahan maupun jabatan fungsional seperti guru, dokter, atau perawat, banyak melayangkan surat pernyataan keberatan ke Kesra Setda Kabupaten Majalengka, terkait dengan pemberlakuan zakat profesi.
Ketiga, dalam tataran teoritik, gagasan zakat profesi juga masih diperdebatkan. Jika mengikuti pola fikih tradisional, seperti fikih Imam Syafii, gaji dan penghasilan profesi tidak wajib dizakati. Sebab kedua hal tersebut tidak memenuhi syarat haul dan nisab. Jika gaji di total setahun, mungkin memenuhi nisab, tetapi dalam praktiknya gaji diberikan tiap bulan. Dengan demikian, gaji setahun yang memenuhi nisab itu hanya memenuhi syarat hak dan belum memenuhi syarat milik. Padahal, benda yang wajib dizakati harus merupakan hak dan milik. Jadi, kalaupun gaji dikenakan zakat, itu digolongkan dengan zakat mal, jika memang sudah mencapai nisab dan haul. Tetapi Wahbah Az-Zuḥaili menegaskan bahwa penghasilan profesi yang diperoleh dari profesi seperti dokter, insinyur, advokat, wiraswasta dan pegawai negeri, wajib dikeluarkan zakatnya begitu gaji diterima, meskipun kepemilikannya belum sampai setahun.
Keempat, perkembangan realitas sosial ekonomi di masyarakat menunjukkan semakin meluas dan bervariasinya jenis lapangan kerja dan sumber penghasilan pokok. Minat sebagian masyarakat mulai berkurang terhadap jenis pekerjaan-pekerjaan yang potensial terkena kewajiban zakat sesuai fikih klasik, seperti pertanian. Masyarakat lebih memilih jenis pekerjaan di luar itu. Faktanya, penghasilan atau pendapatan orang-orang ini lebih tinggi daripada kaum petani yang diwajibkan berzakat. Di samping itu, penghasilan orang-orang ini terbilang lebih rutin dan tanpa resiko besar dibanding dengan kaum petani.
Potensi zakat profesi belum terkalkulasi secara tuntas, meski diyakini cukup besar dan cenderung meningkat setiap tahun. Potensi zakat penghasilan atau profesi yang dapat dihimpun dari masyarakat muslim Indonesia, berdasarkan data tahun 2004 adalah sebesar 12,27 triliun.Ini masih untuk tahun 2004. Sementara realisasi pengumpulan zakat mal pada tahun yang sama sebesar Rp. 199 miliar atau sekitar 1,6 persen dari potensi zakat penghasilan/profesi. Potensi zakat penghasilan atau profesi tersebut dapat digali dari 16,91% jumlah tenaga kerja di Indonesia atau sebanyak 15,847,072 orang muzakki.
Salah satu penyebab minimnya penghimpunan dana zakat sampai saat ini adalah ketidakpatuhan membayar zakat khususnya zakat profesi yang terjadi pada masyarakat muslim Indonesia sekarang ini. Data terkini menunjukkan terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antara potensi zakat dengan penghimpunan dana zakat.
Faktor-Faktor Kepatuhan dalam membayar Zakat profesi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patuh adalah suka menurut perintah dan sebagainya; taat kepada perintah, aturan dan sebagainya; disiplin.
Faktor keimanan
Keimanan semestinya menjadi pendorong utama seseorang untuk beramal. Aidit dan Qardhawi, dalam penelitian Muhammad Firdaus, et all, menyatakan bahwa perilaku ketidakpatuhan terhadap kewajiban membayar zakat terutama disebabkan oleh tingkat keimanan individu terhadap kewajiban agama
Faktor Penghargaan
penghargaan adalah suatu cara yang digunakan untuk memberikan suatu penghargaan kepada seseorang karena sudah mengerjakan suatu hal yang yang benar, sehingga seseorang itu bisa semangat lagi dalam mengerjakan pekerjaan atau tugas tersebut.
Dalam perspektif Islam, untuk menggugah kepatuhan seseorang menjalankan ajaran agama, terdapat konsep pahala. Pahala juga merupakan bentuk reward atau penghargaan. Pahala merupakan penghargaan untuk amal saleh dan perkara makruf yang diberikan kepada manusia dan jin oleh Allah. Dalam terminologi Alquran, pahala maupun penghargaan disebut dengan “ajr” dan “ṡawȃb”. Tidak ada satu pun perbuatan kecuali akan mendapatkan ganjaran. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” Jika perbuatan itu baik, maka ganjarannya berupa kebaikan, biasa disebut sebagai pahala.
Faktor Altruisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, altruisme adalah paham atau sifat lebih mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan egoisme); sikap yang ada pada manusia, yang mungkin bersifat naluri berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusia lain. Dengan arti demikian, makna altruisme ini tampaknya serupa dengan “iṡar-ثبسَإ “dalam terminologi ajaran Islam dan Alquran, yaitu mendahulukan orang lain atas dirinya dalam memberikan manfaat kepadanya dan mencegah keburukan daripadanya. Menurut Ali Al-Jurjani, sifat ini merupakan puncak prinsip persaudaraan.
Faktor Organisasi
Organisasi adalah sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua orang atau lebih. Organisasi disini maksudnya adalah organisasi pengelola zakat yang memiliki peran yang penting dalam memotivasi seseorang untuk berzakat. Pada tahun-tahun sebelumnya didapatkan bahwa peningkatan penyerapan zakat yang signifikan terjadi karena upaya dari organisasi zakat. Dalam beberapa studi disebutkan bahwa organisasi zakat memiliki pengaruh yang signifikan dalam memotivasi seseorang dalam membayar zakat.
Koneksi antara ketaatan membayar zakat profesi dengan kepatuhan spiritual
Ketaatan dalam membayar zakat profesi memiliki koneksi yang mendalam dengan kepatuhan spiritual seseorang dalam ajaran Islam. Zakat profesi bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga merupakan wujud dari ketulusan hati dalam mematuhi perintah Allah SWT untuk menyucikan harta. Dengan membayar zakat profesi secara teratur dan ikhlas, seseorang tidak hanya menjalankan perintah agama, tetapi juga menguatkan hubungannya dengan Sang Pencipta. Tindakan ini mengingatkan individu untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang diberikan-Nya dan untuk menjaga keadilan sosial dalam masyarakat. Ketaatan ini juga mengilhami perilaku yang bermoral, menumbuhkan sikap kepedulian terhadap sesama, dan memperkokoh nilai-nilai keadilan dan empati. Dengan demikian, membayar zakat profesi bukan hanya menciptakan keberkahan materi, tetapi juga membentuk landasan spiritual yang kuat dalam kehidupan sehari-hari, memperdalam hubungan pribadi dengan Allah SWT, serta meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab sosial dan spiritual sebagai seorang muslim.
Konsep Keberkahan Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut dengan al-mȃl. Artinya „sesuatu yang digandrungi dan dicintai oleh manusia‟. Al-muyūl yang artinya „kecenderungan‟ mempunyai akar kata yang sama dengan al-mȃl, yaitu sesuatu yang hati manusia cenderung ingin memilikinya. Yūsuf Al-Qaraḍawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya.
Sedangkan berkah (atau barakah dalam bahasa Arab), dalam bahasa Indonesia ditulis berkat. Artinya adalah karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia. Kata tersebut juga berarti doa restu dan pengaruh baik (yang mendatangkan selamat dan bahagia) dari orang-orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat). Ada juga arti lain yaitu, mendatangkan kebaikan. Kata keberkatan dimaknakan dengan keberuntungan atau kebahagiaan.
Hubungan antara zakat profesi dan keberkahan harta
Hubungan antara zakat profesi dan keberkahan harta sangatlah erat dalam konteks Islam, mengingat zakat profesi merupakan kewajiban untuk memberikan sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari aktivitas profesi atau pekerjaan tertentu. Dalam pandangan Islam, zakat profesi tidak hanya berfungsi sebagai amal yang membantu mendistribusikan kekayaan secara adil di antara masyarakat, tetapi juga sebagai sarana untuk membersihkan harta dari sifat-sifat egois dan kikir. Dengan membayar zakat profesi secara konsisten, seseorang menunjukkan ketaatan kepada Allah SWT dan kesediaan untuk berbagi rezeki yang telah diberikan-Nya. Ini menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dalam masyarakat, di mana keberkahan harta tidak hanya diukur dari segi materi, tetapi juga dari sudut pandang spiritual. Dalam konsep Islam, keberkahan harta tidak hanya berarti peningkatan dalam kekayaan dan keberlimpahan materi, tetapi juga mencakup berkah dalam kehidupan sehari-hari, perlindungan dari kemungkinan kehilangan atau bencana, serta kepuasan batin yang lahir dari rasa penuh syukur dan pengabdian kepada Allah SWT. Dengan demikian, membayar zakat profesi bukan hanya merupakan kewajiban syariat, tetapi juga jalan menuju keberkahan yang menyeluruh dalam kehidupan muzakki (orang yang membayar zakat).
Kesimpulan
Zakat profesi memiliki peran penting dalam Islam sebagai kunci untuk mencapai keberkahan harta dan memperkuat kepatuhan spiritual. Melalui kewajiban membayar zakat profesi, umat Islam dipanggil untuk mengaktualisasikan nilai-nilai sosial-ekonomi yang terkandung dalam ajaran agama. Tindakan ini tidak hanya mencerminkan ketaatan terhadap perintah Allah SWT untuk berbagi rezeki, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan terhadap karunia yang diterima dan tanggung jawab sosial terhadap sesama. Dengan membayar zakat profesi secara rutin dan ikhlas, seseorang tidak hanya mensucikan harta dari sifat-sifat egois dan kikir, tetapi juga membuka pintu menuju berkah dalam kehidupan sehari-hari. Keberkahan harta bukan sekadar dalam bentuk materi, tetapi juga meliputi kepuasan batin dan perlindungan dari kemungkinan kemalangan atau kesulitan. Dengan demikian, zakat profesi bukan hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi sebagai instrumen spiritual yang memperdalam hubungan individu dengan Tuhan serta memperkuat komitmen terhadap nilai-nilai moral dan keadilan dalam masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.