Gangguan Mental atau Kurangnya Iman: Suatu Tinjauan Psikologi Islam Melihat Gangguan Mental
Agama | 2024-06-30 14:48:58Era disrupsi merupakan era perubahan yang terjadi begitu cepat. Dalam KBBI definisi disrupsi adalah “hal tercabut dari akarnya”[1]. Kata ini pada umumnya digunakan untuk mengambarkan perubahan yang terjadi pada sektor industri, pasar ataupun model bisnis. Munculnya perubahan disebabkan adanya inovasi, teknologi baru, serta perubahan paradigma. Pada akhirnya disrupsi menjadi suatu konseptual dalam memahami perubahan yang terjadi akibat perkembangan inovasi dan kreativitas masyarakat[2]. Jelas bahwa dalam suatu perubahan ada sebab akibat yang terjadi. Hal tersebut juga disampaikan oleh Handayani[3], bahwa hadirnya teknologi baru dapat merubah pola perilaku serta berbagai aspek manusia.
Mengahadapi tantangan yang terjadi di era disrupsi, dibutuhkan kesiapan yang matang. Bagaimana tidak? Ketika perubahan terjadi begitu cepat kita dituntut untuk adaptif dan selalu siap. Salah satu aspek kesiapan seseorang diperlukannya kesehatan mental yang baik. Mental yang sehat adalah kondisi seseorang mampu mengahadapi hambatan dalam kehidupannya sehingga ia mampu mengoptimalkan kemampuannya[4]. Namun dari data yang didapatkan, kasus gangguan mental selalu mengalami kenaikan. Kementrian kesehatan mencatat bahwa Indonesia mempunyai prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk atau sama dengan 20% populasi di Indonesia[5]. Pada tahun 2023 di Indonesia ditemukan 9.162.886 kasus depresi dengan prevalensi 3,7 persen[6].
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan gangguan mental terjadi di Indoensia. Faktor-faktor tersebut ialah kemiskinan, pendidikan renah, pola asuh yang buruk, serta pelayanan kesehatan mental yang minim[7]. Stigma yang melekat pada orang yang mengalami gangguan mental menjadi satu sorotan. Hal ini membuktikan bahwa ada suatu masalah mendasar dalam sistem sosial kita. Beberapa artikel menjelaskan hal tersebut[8].
Stigma yang menempel salah satunya adalah gangguan mental disebabkan kurangnya keimanan. Kemudian penulis mencoba untuk berfikir, apakah memang dalam agama orang-orang yang mengalami depresi, anxiety, atau yang sejenisnya merupakan ciri kurangnya iman?. Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menghadirkan pandangan dari psikologi Islam.
Dalam buku yang ditulis oleh Hussein Rassool dan diterkemahkan dalam bahasa Indonesia. Secara garis besar para ulama sendiri meyakini bahwa al-Qur’an dan Sunnah adalah kebenaran yang mutlak dan digunakan sebagai penyembuh dalam kasus ini. Namun terdapat perbedaan dalam hal pendekatan diagnostiknya.
Psikopatologi sebagai suatu cabang ilmu yang membahas gangguan mental, emosional, dan perilaku. Hal ini berkaitan dengan asal-usul, gejala, dan perkembangan gangguan. Ahmad bin Sahal Al-Balkhi seorang ulama dari kota Balkh, sekarang menjadi Afghanistan. Mempunyai konsep Thibbur Ruhani untuk menggambarkan kesehatan spiritual dan psikologis, serta Thibbul Qalb untuk menggambarkan pengobatan mental. Dalam kasus depresi, al-Balkhi mengelompokkannya menjadi tiga bagian. Depresi normal atau kesedihan(Huzn), depresi reaktif dan depresi endogen.
Depresi kesedihan adalah depresi yang pada umumnya diderita oleh banyak orang yang merupakan suatu respons atas dukacita atau kesedihan. Hal ini serupa dengan depresi ringan yang terdapat di DSM-V. Sedangkan depresi reaktif adalah respon terhadap suatu peristiwa yang berlebihan, responnya memberikan rasa sakit dan mengahalangi dari kebahagiaan. Terakhir adalah depresi endogen, yang dalam pandangan al-Balkhi adalah keadaaan tak terduga yang muncul dari dalam diri manusia. Selain tekanan dan penderitaan yang datang tiba-tiba, depresi ini juga dicirkan dengan depresi yang bertahan lama serta mencegah seseorang dari kegiatan fisik.
Selanjutnya, terdapat psikopatologi dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ibnu Qayyim beranggapan bahwa depresi dan kecemasan berkaitan dengan lemahnya keimanan dalam relasi anatara Allah, manusia, sesama makhluk. Lemahnya keimanan menjadi sebab kekacauan spritual dan membetuk penyakit psikologis. Dalam pandangan Ibnu Katsir murid dari Ibnu Qayyim, orang yang kekurangan iman kehilangan besar rasa damai di dunia dan menderita kekacauan batin seperti cemas, ragu dan delusi. Berbeda ketika merangkul keimanan maka hidupnya akan dainugrahi kehidupan thayyib.
Pendapat Ibnu Qayyim didasarkan atas hadis nabi tentang hati(jiwa). “Didalam tubuh manusia terdapat segumpal daging , apabila ia baik maka baiklah seluruh badan. Namun apabila rusak maka rusaklah seluruh badan. Hal itu adalah hati(HR.Bukhari)”. Ibnu Qayyim meyakini bahwa memang terdapat banyak cara untuk menyembuhkan penyakit seperti cemas dan depresi. Namun hal yang paling bermanfaat dan ampuh adalah penawar yang mengarahkan seseorang menuju Allah dan apa yang terkait dengan-Nya.
Dari sini dapat dilihat gambaran secara umum berkaitan dengan Psikologi Islam. Mengapa dua pendekatan ini hadir? Hal itu bisa dilacak dari bagaimana pola pendidikan yang dilalui oleh dua tokoh diatas. Al-Balkhi menitik beratkan pada ra’yu atau penggunaan akal, selain itu juga al-Balkhi mempelajari filsafat sehingga metode yang digunakan mirip dengan psikologi umum. Berbeda dengan Ibnul Qayyim yang menitik beratkan pada nash yaitu al-Qur’an Hadis yang dipahami secara tekstual.
Kasus ini menjadikan penulis nostalgia atas peristiwa beberapa tahun lalu. Saat itu dimana Covid-19 melanda Indonesia, terdapat dua pandangan dalam Islam dalam menyikapi hal itu. Ada yang beranggapan tawakal percaya kepada Allah dijamin tidak akan kena Covid. Disatu sisi, tawakal yang digunakan tetap mengelaborasi dengan ilmu kesehatan. Sehingga munculah solat jaga jarak, pembatasan ibadah, dan lain-lain.
Dari sini dapat kita pahami bahwa stigma “kurangnya iman” atas gangguan mental memang dibawa oleh para ulama. Bukan menyalahkan secara keseluruhan, namun apabila hal itu diterapkan dalam konteks sekarang justru para penderita akan semakin jauh dari agama. Selain itu, para penderita akan semakin terhalang dalam melakukan penyembuhan. Hal yang paling tepat adalah mengelaborasi dua pandangan psikologi Islam di atas. Apabila itu diterapkan, maka stigma “kurangnya iman” diyakini akan hilang, serta penyembuhan pada penderita bisa segera dilakukan.
Tulisan ini akan menjadi sia-sia apabila hanya sekedar wacana semata tanpa diamalkan. Butuh seluruh pihak, baik para pemangku jabatan dan para masyarakat untuk mengurangi kasus gangguan mental. Mengingat kasus ini, semakin hari makin meningkat. Dimulai dari pelayanan kesehatan serta kampanye berkaitan litersi mental. Hal itu berguna tercapainya Indonesia Emas 2045.
[1] Saniyyah, “Disrupsi Adalah: Ketahui Faktor Penyebab, Contoh, dan Cara Menghadapinya,” detikedu, accessed June 27, 2024, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7026690/disrupsi-adalah-ketahui-faktor-penyebab-contoh-dan-cara-menghadapinya.
[2] Sri Ana Handayani, “HUMANIORA DAN ERA DISRUPSI TEKNOLOGI DALAM KONTEKS HISTORIS,” UNEJ E-Proceeding, October 1, 2020, 21.
[3] Handayani, 20.
[4] Diana Fakhriyani, Kesehatan Mental (Duta Media, 2019), 10, https://www.researchgate.net/profile/Diana-Fakhriyani/publication/348819060_Kesehatan_Mental/links/60591b56458515e834643f66/Kesehatan-Mental.pdf.
[5] “Kemenkes Beberkan Masalah Permasalahan Kesehatan Jiwa di Indonesia,” Sehat Negeriku (blog), October 7, 2021, https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/.
[6] Ilham Choirul Anwar, “Info Data Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia Tahun 2023,” tirto.id, October 10, 2023, https://tirto.id/info-data-kesehatan-mental-masyarakat-indonesia-tahun-2023-gQRT.
[7] Trisna Wulandari, “World Mental Health Day: Data Kesehatan Mental Indonesia dari UGM dan YKIS,” detikedu, accessed June 27, 2024, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5764291/world-mental-health-day-data-kesehatan-mental-indonesia-dari-ugm-dan-ykis.
[8] Rio Tuasikal, “Kesehatan Jiwa: Indonesia Makin Sadar tapi Terganjal Stigma,” VOA Indonesia, October 16, 2019, https://www.voaindonesia.com/a/kesehatan-jiwa-indonesia-makin-sadar-tapi-terganjal-stigma/5125203.html.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.