Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agnia Rosyidah

Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Mengenai Hubungan Sains dan Islam

Agama | 2024-06-28 16:42:44

Biografi Ismail Raji Al-Faruqi

Sumber : Wikipedia

Ismail Raji Al-Faruqi dilahirkan di Jaffa Palestina pada 1 Januari 1921, ayahnya bernama Abd. Al-Huda Al-Faruqi, seorang hakim dan juga menjadi salah satu tokoh agama yang cukup dikenal di kalangan sarjana Islam. Al-Faruqi mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan masjid setempat. Pengalaman pendidikannya diawali dengan bersekolah di Frence Dominicial College Des Freses Lebanon (St. Joseph) pada tahun 1926 sampai 1936. Kemudian beliau memperoleh gelar BA pada 1941 di American University Beirut. Adapun gelar masternya diraih di India pada 1952, dan memperoleh gelar doktoral (Ph.D.) dari Universitas India Harvard. Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktor dalam filsafat Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan batinnya, dia kembali ke akar dan warisan ke- cendekiawanan islamnya. Dia meninggalkan Amerika menuju Kairo[1].

Ismail Raji Al-Faruqi memulai karir akademiknya sebagai dosen di McGill University Kanada pada tahun 1959. Selama menjadi dosen, ia seringkali menyempatkan diri untuk mendalami Judaisme dan kristen. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi dan bergabung dengan Central Institute for Islamic Research,[1] dan diangkat menjadi guru besar studi Islam[2]. Pada tahun 1963, ia kembali ke Amerika dan mengajar di Fakultas Agama University of Chicago. Kemudian ia pun mendirikan program Pengkajian Islam di University Syracuse New York dan Temple University Philadelphia, ia telah menetapkan kariernya sebagai tenaga ahli dalam pengkajian Islam. Tak hanya menjadi pengajar, ia menjadi salah satu penulis yang produktid, selama hidupnya ia telah mewariskan keurang lebih 25 judul buku dan 100 artikel[1].

Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Mengenai Hubungan Sains Dan Islam

Ismail Raji Al-Faruqi memiliki pemikiran mengenai Islamisasi Ilmu yang dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam saat berada di keadaan yang lemah dan berada pada zaman kemunduran dan menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Pada saat itu di kalangan kaum muslim mengalami buta huruf, kebodohan dan tahayyul. Hal tersebut mengakibatkan umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, jumud, bersandar kepada literalisme dan legalisme atau dengan kata lain menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka.

Dalam keadaan yang seperti itu, masyarakat muslim melihat pada kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan, muslim berupaya melakuka reformasi dengan jalan westernisasi. Namun, jalan yang ditempuh tersebut telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits, karena berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter[2].

Al-Faruqi percaya bahwa Islam dapat menjadi salah satu solusi bagi problematika yang dihadapi manusia saat ini. Oleh karena itu, ia tidak pernah bosan mengingatkan umat Islam agar dapat menerimana Westernisasi secara utuh dan modernisasi Barat untuk melakukan reformasi pemikiran Islam ia menyimpulkan bahwa umat Uslam tidah hanya harus menguasai ilmu-ilmu warisan Isalam saja, melainkan juga harus menguasai disiplin ilmu modern[3].

Salah satunya adalah dengan cara Islamisasi ilmu atau integrasi pengetahuan baru dengan warisan Islam, dengan penghilangan, perubahan, penafsiran kembali dan adaptasi komponen-komponen yang sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai Islam[2]. Melihat fenomena tersebut, Al-Faruqi tergerak hatiinya untuk memberikan obat dengan gagasan yang ditawarkan berupa Islamisasi Sains.

Ismail Raji Al-Faruqi mengatakan bahwa Islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern kedalam wawasan Islam, setelahnya dilakukan kajian kritis terhadap kedua sistem pengetahuan Islam dan Barat. Islamisasi ilmu dalam hal ini, berarti berupaya untuk membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik dalam aspek ontologis, epistemologis atau aksiologis.

Menurut Al-Faruqi, Islamisasi sains harus merupuk pada tiga sumbu Tawhid, yaitu kesatuan pengetahuan yang berkaitan dengan tidak ada lagi pemisah antara pengetahuan rasional dan irasional, kesatuan hidup yang berkaitan dengan semua pengetahuan yang harus mengacu pada tujuan penciptaan dan kesatuan sejarah yang berkaitan dengan kesatuan disiplin yang harus mengarah sifat keumatan dan pengabdian pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah[4].

Sumber

[1] Fajrudin, Historiografi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.

[2] Aminol Rosid Abdullah, Ilmu Pendidikan Islam (Analisis Agama, Pendidikan dan Sains Perspektif Pemikiran Tokoh). Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2020.

[3] N. Septiana, “KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI TENTANG ISLAMISASI SAINS,” J. Islam. Educ., vol. 20, no. 1, pp. 20–34, 2020.

[4] F. Umma, “Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi,” Fikrah, vol. 2, no. 2, pp. 207–227, 2014.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image