Perpaduan Adab dan Ilmu dalam Retorika Komunikasi Islam
Pendidikan dan Literasi | 2024-06-26 01:19:34Oleh: Syamsul Yakin dan Hikmatul Aulia
(Dosen Retorika dan Mahasiswa Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Sebagai disiplin ilmiah, dakwah dan retorika harus bersifat netral. Artinya, pengembangan ilmu dakwah dan retorika harus didasarkan semata pada pengetahuan ilmiah. Kedua disiplin ini tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan lain selain dari aspek ilmiah, seperti pertimbangan etika.
Namun, dalam ilmu dakwah dan retorika, terdapat norma-norma etika. Meskipun kedua ilmu tersebut bersifat netral, tetap harus mempertimbangkan kebenaran dan konsekuensi yang timbul. Dengan demikian, ilmu dakwah dan retorika terikat pada norma-norma etika yang berasal dari ajaran agama dan budaya.
Adab dan pengetahuan dalam retorika dakwah harus disatukan. Dalam situasi ini, prinsip "ilmu bukanlah untuk ilmu semata", namun ilmu digunakan untuk kebaikan dan kemudahan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, ilmu ditujukan untuk kemanusiaan. Dalam konteks ini, pentingnya adab menjadi sangat relevan.
Dalam praktiknya, retorika dakwah tidak hanya berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi dalam berdakwah, menarik dan menarik perhatian, tetapi juga melibatkan norma-norma tata krama, keramahan, dan moral yang luhur. Terutama karena pada awalnya, dakwah bersifat subjektif, dogmatis, dan bernilai. Retorika juga berasal dari budaya dan berakar pada satu sistem nilai.
Ketika retorika muncul dari keberadaan budaya, berkembang menjadi seni berbicara, berkembang menjadi pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu, pada tahap puncak ini retorika perlu diatur oleh adab. Budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus diselaraskan dengan norma-norma adab.
Hal yang sama berlaku untuk dakwah. Dimulai dari dogma atau ajaran agama, kemudian berkembang menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum diverifikasi secara ilmiah, dan akhirnya menjadi ilmu dakwah yang tentu harus disertai dengan etika. Dalam kegiatan berdakwah, tata krama, keramahan, dan moralitas seorang dai menjadi hal yang melekat.
Menggabungkan etika dan pengetahuan dalam retorika dakwah menjamin dua hal. Pertama, menghindari komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah mengubah dakwah menjadi barang dagangan atau komoditas. Selama ini, praktik komodifikasi dakwah sering diselubungi oleh profesionalisme dan manajemen. Dai yang berpengetahuan dan beretika menolak praktik komodifikasi dakwah.
Dai dan rekan dakwah dilarang keras mengkomodifikasi dakwah. Meskipun demikian, dai dan rekan dakwah diperbolehkan untuk menyebarkan pesan dakwah dalam konteks bisnis karena Nabi, para sahabat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai seharusnya menjadikan dakwah sebagai kehidupan yang aktif, bukan sebagai sumber penghidupan utama.
Kedua, menggabungkan pengetahuan etika dan pengetahuan dalam retorika dakwah akan membawa dai menjadi seorang profesional sesuai dengan maknanya yang sejati. Profesionalisme dalam konteks ini bukanlah tentang popularitas, memiliki manajer, atau harus menerima bayaran, melainkan tentang memiliki norma etika dan pengetahuan dalam berdakwah dan berretorika.
Profesionalisme dalam konteks dai tidak berarti tidak memiliki pekerjaan sebagai dai. Seorang dai dapat bekerja dalam berbagai profesi tanpa kehilangan aspek profesionalisme. Dalam konteks ini, menjadi seorang dai profesional berarti dengan sungguh-sungguh menerima dan mengamalkan apa yang disampaikan berdasarkan norma etika dan pengetahuan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.