
Miskomunikasi vs Tone Deaf: Dua Penyebab Gagalnya Pesan di Ruang Publik
Eduaksi | 2025-04-10 18:35:22
Di media sosial, satu kalimat bisa jadi bahan perdebatan nasional. Sering kali, masalahnya bukan cuma soal apa yang dikatakan, tapi bagaimana dan kapan hal itu disampaikan. Dua hal yang sering bikin gaduh adalah miskomunikasi dan tone deaf. Keduanya terlihat mirip, tapi sebenarnya beda, dan penting untuk dipahami—apalagi di zaman serba cepat dan sensitif ini.
Apa Bedanya?
Miskomunikasi terjadi saat pesan tidak tersampaikan dengan jelas atau malah disalahpahami. Kadang karena cara menyampaikannya yang kurang tepat, kadang karena tidak adanya penjelasan yang memadai. Intinya, niat dan hasil akhirnya tidak sejalan—karena yang ditangkap publik berbeda dari maksud awal.
Contohnya bisa dilihat dari polemik pengesahan RUU TNI. Banyak masyarakat merasa prosesnya tergesa dan tidak transparan, sehingga muncul reaksi negatif terhadap beberapa poin kontroversial yang baru diketahui publik setelah disahkan. Walau niat awalnya mungkin untuk memperkuat pertahanan negara, kurangnya komunikasi justru memicu prasangka dan penolakan. Ini bentuk miskomunikasi—pesan tidak sampai karena ruang dialog tidak cukup dibuka.
Sementara itu, Tone Deaf berarti seseorang tidak peka terhadap situasi atau perasaan orang lain saat menyampaikan sesuatu. Pesannya mungkin tidak salah secara makna, tapi penyampaiannya terasa tidak menghargai suasana hati publik.
Misalnya, saat seorang public figure mempromosikan film adaptasi drama Korea dengan mengatakan hanya menonton satu episode versi aslinya dan menyebut penggemarnya terlalu fanatik saat dikritik. Ia bahkan merespons negatif dengan menyarankan agar yang tidak suka filmnya, tak usah menonton. Publik menilai respons ini tidak peka dan meremehkan audiens. Inilah tone deaf—bukan sekadar soal cara menyampaikan, tapi juga karena pendapat yang disampaikan bisa saja keliru dan tidak layak untuk dibenarkan.
Kalau miskomunikasi terjadi karena pesan tidak ditangkap sesuai maksud, tone deaf justru terjadi saat pesan sudah jelas, tapi disampaikan tanpa empati dan dalam konteks yang keliru. Dalam kasus tone deaf, pendapat yang dilontarkan bisa saja memang salah atau menyinggung. Keduanya sama-sama bisa memicu reaksi negatif, tapi dengan cara yang berbeda.
Kenapa Bisa Jadi Masalah Besar?
Dulu, kalau ada yang salah bicara, mungkin hanya didengar segelintir orang. Sekarang, semua bisa terekam, dibagikan, dikomentari, dan dibahas berhari-hari. Bahkan hal kecil bisa membesar kalau publik merasa tersinggung atau tidak dihargai.
Di sinilah pentingnya peka. Karena di dunia digital, respons publik bisa sangat cepat. Dan sayangnya, klarifikasi sering kali datang terlambat.
Bagaimana Menghindarinya?
Supaya tidak terjebak dalam kesalahan seperti ini, ada beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan:
- Pikirkan siapa yang akan membaca atau mendengar – Apakah mereka sedang dalam kondisi sensitif?
- Jangan terburu-buru bicara atau unggah sesuatu – Ambil waktu sebentar untuk melihat apakah pesannya bisa menimbulkan salah paham.
- Bayangkan diri kita di posisi orang lain – Apakah kita akan tersinggung kalau mendengar itu dari orang lain?
Bicara Itu Mudah, Tapi Menyampaikan dengan Tepat Itu Kunci
Setiap orang pasti pernah salah bicara. Tapi di zaman sekarang, kesalahan kecil bisa berbuntut panjang. Maka bukan cuma apa yang kita sampaikan yang penting, tapi juga bagaimana kita menyampaikannya—dan apakah kita cukup peka terhadap situasi.
Karena kadang, satu nada yang keliru bisa mengaburkan seluruh maksud baik yang ingin disampaikan. Dan saat itu terjadi, permintaan maaf saja kadang tidak cukup. Maka, sebelum bicara atau mengetik, ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: “Sudah tepat belum ya nada dan waktunya?”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook