Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dian Lintang

Hijab dalam Kajian Semantik: Meraba Pandangan Toshihiko Izutsu dan Amina Wadud

Agama | Monday, 24 Jun 2024, 10:46 WIB

Toshihiko Izutsu seorang sarjana Jepang terkemuka, dikenal karena kontribusinya dalam studi semantik Islam. Pendekatan Izutsu terhadap semantik memberikan pemahaman mendalam tentang konsep-konsep penting dalam Al-Qur'an, seperti konsep hijab yang akan coba saya telisik. Dalam artikel ini, saya akan mencoba menjelajahi cara Izutsu menganalisis hijab dari perspektif semantik dan menghubungkannya dengan perdebatan terkait penutupan aurat wanita, terutama terkait hijab yang menutupi dada, serta pandangan Amina Wadud yang berpendapat bahwa hijab tidak harus menutupi dada.

Untuk memahami Al-Qur'an, Izutsu menggunakan pendekatan semantik, yang melibatkan mengevaluasi makna kata dalam konteks teks secara keseluruhan dan budaya yang terkait dengannya. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menggali makna yang mungkin tidak terlihat dari terjemahan kata per kata. Ia berkonsentrasi pada "jaringan semantik", atau cara kata-kata berinteraksi dan membentuk makna bersama dalam konteks linguistik dan budaya tertentu. Dengan kata lain, Izutsu berusaha untuk memahami bagaimana kata-kata dalam Al-Qur'an saling berhubungan dan membentuk sebuah sistem makna yang koheren. Izutsu juga menekankan pentingnya melihat Al-Qur'an sebagai sebuah teks yang hidup, yang maknanya terus berkembang dan dapat ditafsirkan ulang sesuai dengan perubahan konteks sosial dan budaya.

Hijab dalam Konteks Al-Qur'an

Dalam studi semantik, hijab dalam Al-Qur'an memiliki makna yang luas, tidak hanya sebagai penutup fisik tetapi juga sebagai konsep yang mencakup berbagai bentuk penghalang atau batas. Dalam beberapa ayat, hijab bisa merujuk pada penghalang fisik dan spiritual yang membatasi persepsi antara entitas, atau pada penghalang sosial atau etis yang menciptakan batas moral dan sosial antara individu atau kelompok.

Selain itu, hijab juga bisa menggambarkan batas antara surga dan neraka, menyoroti pembatasan eskatologis antara realitas ilahi dan duniawi, serta antara pengetahuan manusia dan misteri ilahi. Salah satu ayat yang paling sering dirujuk dalam diskusi tentang hijab dan batasan aurat wanita adalah Surah An-Nur (24:31), yang memerintahkan wanita untuk menutupkan kain kerudung ke dada mereka. Ayat ini berbunyi:

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

”Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya...”

Pandangan Semantik : Izutsu dan Hijab

Izutsu menganalisis bagaimana hijab dalam Al-Qur'an terkait erat dengan konsep-konsep lain seperti nur (cahaya), zulumat (kegelapan), dan fitrah (kodrat manusia). Analisis Izutsu tentang hijab dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa hijab bukan hanya sekadar penutup fisik, tetapi juga memiliki makna simbolis yang dalam. Hijab dalam konsepnya melambangkan keterbatasan manusia dalam memahami kebenaran ilahi dan mengingatkan akan perlunya ketaatan terhadap norma agama serta kesadaran diri. Ini menunjukkan bahwa hijab bukan hanya soal pakaian, tetapi juga tentang menjaga martabat, pengembangan spiritualitas, dan penghormatan terhadap aturan ilahi serta etika sosial, yang secara keseluruhan memperkuat hubungan manusia dengan Tuhan.

Perspektif Amina Wadud tentang Hijab

Amina Wadud, seorang cendekiawan Muslim dan feminis, menawarkan interpretasi yang berbeda mengenai hijab. Dalam bukunya, “Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective”, Wadud menekankan bahwa hijab harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dari sekadar penutup fisik. Menurut Wadud, fokus utama ayat-ayat tentang hijab adalah pada kesopanan dan etika perilaku, bukan sekadar pada pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita.

Wadud berpendapat bahwa konteks sejarah dan sosial ketika ayat-ayat tentang hijab diturunkan sangat penting untuk dipahami. Pada masa Nabi Muhammad, hijab digunakan sebagai tanda identitas dan status sosial, serta untuk melindungi wanita dari gangguan. Dengan demikian, Wadud menyarankan bahwa hijab tidak harus ditafsirkan secara kaku sebagai kewajiban menutup dada, tetapi sebagai prinsip umum tentang menjaga kesopanan dan menghormati diri sendiri dan orang lain.

Intergrasi Pandangan : Izutsu dan Wadud Dalam Hijab

Pendekatan semantik Izutsu dan perspektif Wadud bisa saling melengkapi dalam memahami konsep hijab. Izutsu menekankan makna simbolis dan jaringan makna dalam Al-Qur'an, sementara Wadud menekankan konteks sejarah dan sosial serta prinsip kesopanan yang mendasari perintah tentang hijab. Kombinasi kedua pendekatan ini memberikan pemahaman yang lebih kaya dan mendalam mengenai hijab.

Izutsu, dengan pendekatan semantiknya, melihat hijab sebagai bagian dari jaringan makna yang kompleks dalam Al-Qur'an. Ia meneliti bagaimana kata-kata yang terkait dengan hijab berinteraksi satu sama lain dan membentuk makna yang koheren dalam konteks linguistik dan budaya tertentu. Pendekatan ini membantu kita memahami bahwa hijab bukan hanya sekedar aturan berpakaian, tetapi juga memiliki makna simbolis yang lebih dalam yang terkait dengan konsep-konsep seperti kesucian, kehormatan, dan perlindungan.

Di sisi lain, Wadud menekankan pentingnya memahami perintah tentang hijab dalam konteks sejarah dan sosial pada saat ayat-ayat tersebut diturunkan. Ia mengajak kita untuk melihat bahwa perintah hijab muncul dalam konteks masyarakat yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma tertentu mengenai kesopanan dan perlindungan. Menurut Wadud, hijab bukan hanya tentang menutupi tubuh secara fisik, tetapi juga mencerminkan prinsip kesopanan dan perilaku yang menghormati diri sendiri dan orang lain.

Dengan demikian, hijab yang menutupi dada bisa dilihat sebagai salah satu bentuk ekspresi dari prinsip kesopanan yang lebih luas. Ini bukan hanya tentang menutupi tubuh secara fisik, tetapi juga tentang bagaimana seseorang berperilaku dan menjaga diri dalam interaksi sosial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image