Pentingnya Critical Thinking Terhadap Gaya Berbicara Pada Gen-Z di Era Globalisasi
Pendidikan dan Literasi | 2024-06-21 15:09:52Mengenal Gen-Z Lebih Jauh
Pembagian generasi berdasarkan kesamaan tahun kelahiran telah menjadi fokus penelitian selama beberapa dekade. Mukhlis (2015) membagi generasi ke dalam empat kelompok utama: generasi baby boomer (lahir antara 1946-1964), generasi X (lahir antara 1965-1980), generasi Y (lahir antara 1981-1994), dan generasi Z (lahir antara 1995-2010). Klasifikasi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Grail Research, yang juga mengidentifikasi empat generasi utama ini (Kusma, 2013). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, jumlah Gen-Z di Indonesia mencapai 68 juta jiwa, menandakan dominasi mereka dalam demografi penduduk. Gen-Z, yang lahir dan tumbuh di era pesatnya perkembangan teknologi dan internet, menunjukkan karakteristik unik dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka sangat akrab dengan teknologi dan perangkat digital, seperti smartphone, yang mempengaruhi cara mereka berinteraksi sosial dan memproses informasi. Generasi ini dikenal dengan reaksi cepat terhadap situasi, kemampuan multitasking, serta cepat dalam menangkap informasi (Putra, 2016). Husna (2018) mencatat bahwa nilai-nilai dan norma-norma Gen-Z sangat berbeda dari generasi sebelumnya, mencerminkan adaptasi mereka terhadap lingkungan digital yang dinamis.
Menjadi Kritis itu Penting!
Gen-Z yang hidup di era globalisasi saat ini penting bagi mereka untuk mengembangkan keterampilannya dalam berpikir. Critical Thinking menjadi modal utama yang perlu disiapkan Gen-Z dalam menghadapi kompleksitas informasi di era globalisasi. Foresman (2017) menggambarkan berpikir kritis sebagai keterampilan yang dapat ditingkatkan dan mencapai berbagai standar intelektual seperti kejelasan, relevansi, kecukupan, dan koherensi. Paul (2014) mengidentifikasi sembilan keterampilan berpikir kritis yang esensial: mengidentifikasi elemen-elemen dalam kasus, mengevaluasi asumsi, mengklarifikasi dan menginterpretasi pernyataan, menilai kredibilitas klaim, mengevaluasi argumen, serta menghasilkan dan menganalisis keputusan dan penjelasan. Menurut penelitian Ennis (1996) dalam bukunya, kemampuan mengolah dan menganalisis informasi hingga menghasilkan argumen yang valid dan koheren. Dalam konteks ini, memahami pentingnya berpikir kritis terhadap gaya berbicara Gen-Z menjadi relevan. Mereka hidup di era di mana informasi tersedia secara instan dan berlimpah, menuntut kemampuan untuk menyaring dan menilai informasi secara kritis untuk berkomunikasi secara efektif.
Gen-Z, yang tumbuh di tengah arus globalisasi, mengembangkan gaya komunikasi yang unik. Mereka lebih sering menggunakan media digital untuk berkomunikasi, yang memengaruhi cara mereka berbicara dan berpikir. Menurut Trilling (2009) dalam situasi ini, kemampuan berpikir kritis menjadi satu hal penting untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan dan diterima adalah akurat dan relevan. Gen-Z yang hidup di tengah era digital dengan segala kemudahan dalam mengakses informasi, mereka perlu mengembangkan keterampilan berpikir kritis agar lebih mampu memilih dan memilah informasi. Selain itu, dengan keterampilan berpikir kritis, Gen-Z akan lebih bijak dalam menyampaikan informasi, gagasan, dan argumennya di media sosial sehingga apa yang disampaikannya dapat diterima dan tidak menimbulkan konflik. Selanjutnya, artikel ini akan mengeksplorasi lebih jauh mengenai keterampilan berpikir kritis Gen-Z yang memengaruhi cara mereka berkomunikasi, baik dalam konteks formal maupun informal, dan bagaimana mereka menyaring serta menilai informasi di tengah arus informasi yang cepat dan berlimpah.
Tantangan Gaya Berbicara Gen-Z
Gen-Z menjadi generasi yang tumbuh dengan teknologi digital dan internet sebagai bagian yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa dengan informasi instan dan multitasking, namun ini juga membawa risiko seperti penyebaran informasi yang salah dan penurunan kemampuan konsentrasi. Gaya berbicara mereka sering dipengaruhi oleh bahasa media sosial yang cenderung singkat dan tidak formal, yang dapat mengurangi efektivitas komunikasi dalam konteks formal atau profesional. Berpikir kritis merupakan keterampilan yang perlu dikuasai untuk menghadapi tantangan ini. Paul, dkk (2014) menekankan pentingnya berpikir kritis dalam menilai kredibilitas informasi dan mengembangkan argumen yang logis dan relevan. Dengan keterampilan ini, Gen-Z dapat meningkatkan gaya berbicara mereka, membuat komunikasi mereka lebih persuasif dan berdampak.
Strategi Pengembangan Critical Thinking
Untuk merancang masa depan yang responsif terhadap tantangan ini, beberapa strategi perlu diimplementasikan. Strategi-strategi ini melibatkan pendekatan edukatif, penggunaan teknologi, serta pembinaan lingkungan yang mendukung pengembangan berpikir kritis.
- Pendidikan Berbasis Keterampilan Berpikir Kritis
Kurikulum Terintegrasi: Memasukkan modul berpikir kritis ke dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi. Modul ini dapat mencakup analisis kasus, evaluasi sumber informasi, dan teknik argumentasi.
Pelatihan Guru: Guru harus dilatih untuk mengajar keterampilan berpikir kritis secara efektif. Mereka perlu memahami cara mengajarkan siswa untuk menilai informasi secara kritis dan mengembangkan argumen yang kuat.
- Penggunaan Teknologi untuk Mengasah Berpikir Kritis
Aplikasi dan Platform Edukatif: Mengembangkan dan menggunakan aplikasi yang dirancang untuk melatih keterampilan berpikir kritis. Aplikasi ini dapat mencakup permainan edukatif, simulasi, dan kuis interaktif yang menantang siswa untuk berpikir kritis.
Forum Diskusi Online: Mendorong partisipasi aktif di forum diskusi online yang mengedepankan debat sehat dan evaluasi kritis terhadap topik-topik yang relevan. Ini akan membantu siswa belajar menilai argumen dan membangun keterampilan komunikasi.
- Lingkungan yang Mendukung Pengembangan Berpikir Kritis
Komunitas Belajar: Membangun komunitas belajar yang memfasilitasi diskusi dan kolaborasi antar siswa. Komunitas ini dapat diadakan secara offline maupun online, memberikan ruang bagi siswa untuk berbagi ide dan mendapatkan feedback.
Kegiatan Ekstrakurikuler: Mengadakan kegiatan seperti klub debat, simulasi sidang, dan proyek penelitian yang menekankan pentingnya berpikir kritis. Kegiatan ini akan membantu siswa mengaplikasikan keterampilan yang mereka pelajari dalam situasi nyata.
Implementasi dan Evaluasi
1. Pendidikan Berbasis Keterampilan Berpikir Kritis
a. Kurikulum Terintegrasi: Memasukkan modul berpikir kritis dalam kurikulum formal akan memerlukan kolaborasi antara pendidik, pembuat kebijakan, dan ahli pendidikan. Modul ini harus dirancang untuk melatih siswa dalam berbagai aspek berpikir kritis, termasuk analisis, evaluasi, dan argumentasi. Studi kasus nyata, pembelajaran berbasis proyek, dan latihan debat dapat digunakan sebagai metode pengajaran.
b. Pelatihan Guru: Guru adalah kunci dalam implementasi kurikulum berpikir kritis. Mereka harus dilatih dalam metode pengajaran yang mendorong siswa untuk berpikir secara kritis. Pelatihan ini dapat mencakup workshop, seminar, dan program sertifikasi. Selain itu, guru perlu diberikan sumber daya yang memadai, seperti buku panduan, materi ajar, dan akses ke platform edukatif.
2. Penggunaan Teknologi untuk Mengasah Berpikir Kritis
a. Aplikasi dan Platform Edukatif: Teknologi dapat menjadi alat yang kuat untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Aplikasi edukatif yang dirancang dengan baik dapat menyediakan latihan interaktif yang menantang siswa untuk berpikir kritis. Misalnya, aplikasi yang menampilkan skenario kompleks yang membutuhkan analisis dan keputusan kritis.
b. Forum Diskusi Online: Forum diskusi online dapat menjadi platform yang efektif untuk mendorong debat sehat dan evaluasi kritis. Siswa dapat diajak untuk berdiskusi tentang topik-topik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, seperti isu sosial, teknologi, dan globalisasi. Moderator yang terlatih dapat memastikan diskusi tetap terarah dan konstruktif.
3. Lingkungan yang Mendukung Pengembangan Berpikir Kritis
a. Komunitas Belajar: Membangun komunitas belajar yang mendukung pengembangan berpikir kritis melibatkan penciptaan ruang di mana siswa dapat bertukar ide dan mendapatkan feedback dari teman sebaya dan mentor. Komunitas ini dapat berbentuk klub belajar, kelompok diskusi, atau platform online. Aktivitas yang mendorong kolaborasi dan pemecahan masalah bersama dapat membantu memperkuat keterampilan berpikir kritis siswa.
b. Kegiatan Ekstrakurikuler: Kegiatan ekstrakurikuler seperti klub debat dan simulasi sidang adalah cara yang efektif untuk mengaplikasikan keterampilan berpikir kritis dalam situasi nyata. Siswa dapat dilatih untuk mengembangkan argumen yang kuat, menghadapi pertanyaan kritis, dan mempertahankan pendapat mereka secara logis dan koheren.
Keterampilan Berpikir Kritis SDM Dan Gen-Z di Indonesia
Kondisi Pendidikan di Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia memiliki peran penting dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Berdasarkan data (BPS) dan laporan dari organisasi internasional seperti berikut:
- PISA 2018:
Hasil PISA 2018 menilai adanya kebanyakan pelajar di Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains masih berada di bawah rata-rata OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Dalam hal membaca, yang sangat berkaitan dengan kemampuan berpikir kritis, skor Indonesia adalah 371, jauh di bawah rata-rata OECD yaitu 487.
- Kurikulum Pendidikan:
Kurikulum 2013 (K13) yang diaplikasikan di Indonesia telah menekankan pentingnya pengembangan keterampilan berpikir kritis. Kurikulum ini dirancang untuk mendukung siswa lebih berpartisipasi dalam proses belajar dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning), penekanan pada analisis, evaluasi, dan sintesis informasi.
Namun, pelaksanaannya sering kali menghadapi tantangan seperti kurangnya pelatihan guru, keterbatasan fasilitas, dan budaya belajar yang masih terfokus pada hafalan daripada pemahaman konseptual dan analisis kritis.
Beberapa survei dan penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan berpikir kritis di kalangan Gen-Z Indonesia. Berikut adalah beberapa temuan utama:
- Survei Bank Dunia (2019):
Survei ini mengungkap bahwa hanya sekitar 30% dari tenaga kerja muda di Indonesia (termasuk Gen-Z) yang memiliki keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah yang memadai untuk memenuhi tuntutan pekerjaan di era digital.
Banyak perusahaan melaporkan kesulitan menemukan karyawan muda yang mampu menganalisis situasi kompleks dan membuat keputusan yang tepat.
- Penelitian oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (2020):
Penelitian ini menilai keterampilan berpikir kritis siswa SMA di beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 40% siswa menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang baik, sementara sisanya masih berada pada level dasar atau di bawah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ini termasuk kualitas pengajaran, ketersediaan sumber belajar, dan dukungan dari lingkungan belajar.
- Laporan Global Competitiveness Index (2019):
Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 141 negara dalam hal kualitas pendidikan dan keterampilan SDM. Salah satu komponen yang dinilai adalah kemampuan berpikir kritis dan inovasi. Peringkat ini menunjukkan adanya ruang yang cukup besar untuk perbaikan dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis di kalangan generasi muda.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berpikir Kritis
Berikut adalah faktor yang memengaruhi perkembangan keterampilan berpikir kritis di kalangan Gen-Z di Indonesia, termasuk faktor pendidikan, budaya, dan akses teknologi.
- Sistem Pendidikan:
Kualitas Pengajaran: Banyak guru yang masih menggunakan metode pengajaran tradisional yang berfokus pada hafalan. Hal ini menghambat perkembangan keterampilan berpikir kritis siswa. Pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru sangat diperlukan untuk mengubah pendekatan pengajaran menjadi lebih interaktif dan analitis.
Ketersediaan Sumber Belajar: Akses ke sumber belajar yang berkualitas, seperti buku, artikel, dan internet, sangat bervariasi antar daerah. Di daerah perkotaan, siswa memiliki akses lebih baik dibandingkan di daerah pedesaan atau terpencil.
- Budaya dan Lingkungan Belajar:
Budaya Belajar: Di banyak tempat, budaya belajar yang menekankan kepatuhan dan hafalan masih dominan. Ini tidak mendorong siswa untuk bertanya, menganalisis, atau berpikir kritis.
Dukungan Orang Tua dan Komunitas: Dukungan dari orang tua dan komunitas juga berperan penting. Siswa yang mendapatkan dukungan dalam bentuk dorongan untuk membaca, berdiskusi, dan mengeksplorasi topik-topik baru cenderung memiliki keterampilan berpikir kritis yang lebih baik.
- Akses dan Penggunaan Teknologi:
Akses Internet: Gen-Z di Indonesia umumnya memiliki akses yang baik ke teknologi digital dan internet. Ini membuka peluang untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui akses ke informasi yang luas dan berbagai sumber belajar online.
Contoh Program Pengembangan Berpikir Kritis
Beberapa inisiatif dan program telah diluncurkan untuk mengatasi kelemahan dalam keterampilan berpikir kritis di kalangan Gen-Z di Indonesia:
- Program Indonesia Pintar:
Program ini bertujuan untuk mengoptimalkan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu fokusnya adalah pada pengembangan keterampilan abad ke-21, termasuk berpikir kritis. Program ini menyediakan beasiswa dan bantuan untuk siswa dari keluarga kurang mampu agar mereka dapat terus bersekolah.
- Inisiatif Sekolah Berbasis Teknologi:
Beberapa sekolah telah mulai mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mendorong berpikir kritis. Misalnya, penggunaan platform e-learning dan aplikasi edukatif yang dirancang untuk mengasah keterampilan analisis dan evaluasi.
- Klub Debat dan Ekstrakurikuler:
Banyak sekolah yang telah mengadakan klub debat dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang berfokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis. Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk berlatih membuat argumen, menganalisis masalah, dan berdebat secara konstruktif.
Berbicara yang Penting! Bukan yang Penting Berbicara!
Keterampilan berpikir kritis adalah komponen utama dalam mempersiapkan Gen-Z di Indonesia untuk menghadapi tantangan di era globalisasi. Meskipun data menunjukkan bahwa masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan keterampilan ini, berbagai inisiatif dan program yang telah diluncurkan menunjukkan bahwa betapa pentingnya keterampilan berpikir kritis untuk Gen-Z. Sebagai generasi yang hidup di era digital dengan segala kemudahannya terkadang menjadi boomerang untuk diri mereka sendiri. Kemudahan akses informasi di era digital memungkinkan mereka untuk mengonsumsi informasi-informasi yang tidak tahu kebenarannya. Gen-Z dengan segala keunikannya dalam beberapa hal, salah satunya adalah dalam berbicara atau berkomunikasi, jika tidak dibekali oleh pemikiran kritisnya, maka akan berdampak pada cara mereka dalam berpikir dan berbicara. Informasi di media menjadi dasar mereka untuk berpikir dan berbicara sehingga mereka perlu mengevaluasi, menilai, dan mencari tahu kebenarannya. Dengan begitu, mereka akan lebih bijak dalam memilih informasi yang relevan untuk dijadikan dasar mereka dalam berbicara atau berargumen. Terakhir, menjadi Gen-Z yang bijak itu berbicara yang penting bukan yang penting berbicara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.