Menguraikan Makna Sosial: Penerapan Hermeneutika dalam Penelitian Lapangan
Lainnnya | 2024-06-21 07:01:15A. Pengertian Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuein” yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata tersebut sering dikaitkandengan tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang yang dipercayai sebagaiutusan yang bertugas untuk menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia.Dalam hal ini, tugas menyampaikan pesan diartikan juga sebagai mengalih bahasakan ucapan para dewa ke bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Pengalihbahasaan inilah yang disebut dengan istilah penafsiran,sehingga istilah hermeneutik memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atauinterpretasi. Pengertian secara lebih luas di definisikan oleh Zygmunt Baumanyang menjelaskan bahwa Hermeneutik merupakan sebuah upaya untukmenjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapanataupun tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktifyang dapat menimbulkan kebingungan bagi pendengar maupun B. Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika Secara etimalogis kata "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Karena itu, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interptetasi (E.Sumaryona, 1993:23). Istilah tersebut sebenarnya diambil dari mitalogi Yunani. Pada mitologi Yunani terdapat salah searang dewa yang bernama Hermes. Tugasnya adalah menyampaikan pesan-pesan dari dewa-dewa di gunung Olympus pada manusia. Dengan disampaikannya pesan tersebut manusia yang pada awalnya tidak mengerti menjadi mengerti. Hermes digambarkan sebagai seorang manusia yang mempunyai kaki bersayap. Hermes menerima pesan-pesan dari dewa dan menerjemahkannya bagi manusia. Peranan Hermes dianggap penting, sebab jika terjadi kesalahpahaman akan terjadi akibat yang fatal bagi umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Dengan demikian hermeneutik diartikan pula sebagai "menjelaskan" mengenai apa yang telah diucapkan (dewa) untuk diucapkan kembali (bagi manusia). Hermeneuties may be precisely defined as the art of bringing what is said or written to speech again (Hans Bearg Badamer, 1982:119). Seorang filsuf kenamaan Yunani kuno yaitu Aristoteles juga membahas tentang hermeneutik. Ia membahas hermeneutik atau penafsiran dalam konteks bahasa yang digunakan manusia. Dalam tulisannya tentang Peri-Hermeneias atau De-interpretatione dinyatakan bahwa dalam bercakap-cakap antara manusia yang satu dan yang lainnya, manusia itu melakukan penafsiran. Penafsiran pada apa yang diucapkan oleh orang lain, demikian pula sebaliknya. Kata-kata yang diucapkan oleh seseorang merupakan cerminan pengalaman mentalnya. Demikian pula apa yang ditulis merupakan simbol dari kata-kata yang diucapkan. Peralihan dari pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan untuk menyempit. Pengalaman mental pada dasarnya kaya nuansa, corak, dan warna. Namun keanekaragaman warna dan nuansa tersebut sulit di dituangkan dan dicakup seluruhnya hanya dalam sebuah ungkapan kata. Sebuah kata hanya membawa makna yang khas definitif pada kata itu. Ungkapan atau ekspresi dalam bahasa sehari-hari bersifat umum dan streotype (sudah mempola atau menjadi kebiasaan sehingga hanya tinggal mengikutinya saja). Kekayaan pengalaman akan menjadi kerdil jika diungkapkan dalam bahasa, baik lisan ataupun tulisan. Kecenderungan penyempitan pengalaman mental pada pengucapan tersebut memungkinkan dilakukan penafsiran atau hermeneutik pada kata kata yang diucapkan atau ditulis. Sejalan dengan itu pada abad 18 di Jerman ada sebutan hermeneutik yang diartikan sebagai teori atau seni penjelasan atau penafsiran (By hermeneutics is understood the theory or art of explication, of interpretation) (Gadamer, 1982:88). tersebut segala Dengan berdasar pada argumentasi Aristoteles produk manusia yang dapat dibahasakan seperti kitab-kitab (teks) dapat dilakukan interpretasi. Demikian pula segala produk manusia yang dapat dikomunikasikan seperti karya seni, agama, ataupun perilaku manusia yang bermakna. c. Prinsip-prinsip Dasar Hermeneutika Kajian hermeneutika semakin berkembang ketika teori ini tidak hanya menyangkut bidang teks keagamaan semata, namun juga berkembang dalam ilmu-ilmu lain seperti hukum, sejarah, filsafat dan kritik sastra. Munculnya hermeneutika sebagai sebuah ilmu dalam dunia Islam menimbulkan pro-kontra. Penolakan muncul dari kalangan konservatif yang menganggap bahwa dalam kajian hermeneutika, semua pemahaman adalah interpretasi subjektif yang sifatnya relatif. Karena itu, pemahaman agama tidak bisa dilakukan dengan pemahaman yang subjektif karena akan berbahaya jika digunakan untuk memahami ayat-ayat yang muhkamat (jelas maksudnya). Namun bagi kalangan intelektual muslim rasional, relativitas pencarian makna teks al-Qur’an/hadits dalam wilayah ilmu tradisional Islam, seperti ilmu fiqih, dalam sejarahnya telah diakui dalam Islam. Faktanya adalah dengan keberadaan kebenaran hipotesis yang relatif yang disebut furu‟ (cabang), dan kebenaran absolut yang disebut usul (prinsip). Kemunculan pandangan relatif, terutama persoalan keagamaan sebagai sebuah ilmu tidak perlu dipersoalkan, namun pada prinsipnya, agama adalah keyakinan (kepercayaan). Penolakan terhadap hermeneutika menjadi semakin problematik ketika dihadapkan pada realitas bahwa hermeneutika ternyata sebanding dengan konsep ta‟wil sebagai teori kritik sastra atau analisis teks sastra yang telah dipraktikkan oleh intelektual muslim klasik sejak lama. Dalam khazanah keislaman, teori ta‟wil sebanding dengan ragam hermeneutika modern. Bahkan hingga kini, ta‟wil menjadi bagian dari ilmu tradisional Islam, mulai dari kajian tafsir, fiqih, kritik sastra Arab hingga tasawuf.Meskipun hermeneutika sebagai teori pengkajian teks keagamaan menjadi problematik dikalangan konservatif, namun hermeneutika sebagai teori kritik sastra tidak terjadi penolakan. Farid Esack dalam bukunya“Qur‟an: Liberation and Pluralism” berpendapat bahwa praktik hermeneutika telah dilakukan oleh kaum muslimin sejak dulu ketika menghadapi al-Qur‟an. Terbukti dengan adanya problematika hermeneutika dalam tradisi penafsiran al-Qur’an selalu dialami dan diselesaikan secara aktif, sekalipun tidak dimunculkan kepermukaan, ini dikarenakan dengan adanya kajian asbabun-nuzul dan naskh-mansukh.Kedua dengan adanya perbedaan teori dan aturan tentang metode penafsiran telah ada semenjak munculnya lieratur tafsir dan tersistem melalui prinsip-prinsip ulumul tafsir.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.