Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sinta Edisaputri

Eksistensi Fanfiksi di Kalangan Remaja: Mengasah Empati atau Delusi?

Pendidikan dan Literasi | Sunday, 16 Jun 2024, 11:09 WIB

Fanfiksi, biasa juga disebut fan fiction atau fiksi penggemar, bukanlah sebuah fenomena baru. Sejak circa 2000, waktu media sosial belum semasif sekarang, fanfiksi telah banyak beredar di berbagai platform seperti Kaskus dan Facebook. Kisaran 2010, fanfiksi semakin merebak dengan hadirnya AO3 dan Wattpad. Kini, fanfiksi semakin mudah ditemui di media sosial yang sulit terlepas dari kehidupan kita. Di Twitter dan Tiktok, misalnya, fanfiksi bertebaran, biasanya dengan kata kunci berakhiran AU (Alternate Universe), sering dijadikan asupan konten harian.

Faktanya, beberapa studi menyatakan bahwa membaca fiksi dapat dijadikan sarana mengasah empati. Dr. Keith Oatley, profesor psikologi di University of Toronto, Kanada, telah melakukan banyak penelitian tentang bagaimana membaca fiksi dapat meningkatkan kemampuan sosial. Saat membaca fiksi, kita cenderung membayangkan bagaimana perasaan tokoh dalam cerita, atau membandingkan reaksi mereka dengan reaksi yang akan atau pernah kita alami saat menghadapi situasi-situasi tertentu.

Selaras dengan itu, fanfiksi juga bisa menjadi umpan yang manis untuk para remaja agar lebih lekat dengan kebiasaan membaca. Bahkan, beberapa siswa usia sekolah menjadikan menulis cerita sebagai kegiatan di waktu luang. Dengan bantuan media sosial, semua orang bisa lebih mudah mengenalkan karyanya kepada publik, sampai-sampai tidak sedikit penulis muda yang masih duduk di bangku sekolah berhasil menerbitkan buku dan memiliki penghasilan sendiri.

Ilustrasi membaca fanfiksi lewat platform media sosial. (Sumber: istockphoto.com)

Namun, terdapat beberapa hal mengenai fanfiksi yang sesekali timbul menjadi polemik di media sosial. Selain dari perdebatan kecil seperti kekeliruan dalam menggunakan istilah AU, ada pula problematika yang lebih serius, salah satunya mengenai hak cipta. Banyak pelanggaran implisit terhadap pernyataan bahwa fanfiksi tidak boleh dikomersilkan. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa fanfiksi menggunakan klaim wajah figur publik atau selebriti tanpa izin resmi, yang bahkan berpotensi memengaruhi citra figur tersebut di dunia nyata. Fanfiksi seharusnya tetap menjadi fanfiksi di platform asalnya. Sayangnya, jika kita pergi ke toko buku, tidak akan sulit menjumpai novel dengan ilustrasi karakter yang menyerupai figur idola tertentu. Maraknya novel adaptasi dari platform daring juga dinilai beberapa orang menghabiskan jatah ISBN di tengah krisis yang melanda kita.

Selain itu, ada dilema yang perlu dipertimbangkan mengenai batasan usia terhadap genre tertentu. Meskipun media sosial seperti X dan Tiktok pada dasarnya memiliki regulasi usia, tetapi tidak sedikit anak di bawah umur yang masih bisa mengakses aplikasi tersebut dengan bebas. Padahal, tidak semua genre fanfiksi layak dijadikan konsumsi semua kalangan. Romansa remaja merupakan tema yang manis dan menghibur, tetapi yang berbahaya adalah jika anak di bawah umur menjumpai trope-trope cerita tidak wajar, seperti incest, homoseksual, romantisasi agama, pernikahan dini, dan sebagainya.

Kebebasan berkarya bagai pisau bermata dua. Karena siapa pun bisa menjadi penulis, banyak karya yang disusun tanpa riset, tidak sesuai kenyataan, dan berpotensi menanamkan nilai-nilai destruktif. Kemerosotan moral dapat tercermin dari perilaku para remaja dalam berkomentar di media sosial atau berperilaku di dunia nyata. Bahkan, kaburnya batas-batas fiksi dan kenyataan juga bisa terjadi, misalnya menganggap figur publik—yang tanpa tahu-menahu dijadikan tokoh sebuah cerita—memiliki identitas dan keseharian sesuai delusi yang diciptakan dalam fanfiksi. Bukankah paradoks yang disayangkan, jika kegiatan membaca yang seharusnya menjadi alat untuk mengasah empati, justru menjadi salah satu penyebab dekadensi moral di kalangan generasi muda?

ADVERTISEMENT

Pada akhirnya, kebebasan menciptakan dan mengonsumsi konten di media sosial tidak sepenuhnya bisa kita ganggu gugat. Fanfiksi yang tidak mencerminkan kesesuaian nilai moral bisa jadi akan terus bertebaran. Di sinilah pentingnya peran pendampingan orang dewasa, khususnya orang tua, agar bisa mengarahkan paparan konten yang sarat nilai moral untuk anak-anak dan remaja. Membaca merupakan pintu untuk meraih kilau pengetahuan. Banyaknya engagement unggahan fanfiksi di media sosial bisa menjadi salah satu bukti bahwa generasi muda bangsa kita bukannya tidak memiliki minat dan semangat baca, tetapi cara berliterasi perlu dibenahi agar mereka bisa memaknai setiap bacaan dengan lebih baik lagi. Membaca fiksi harus tetap dilanggengkan jadi kebiasaan, tetapi dalam melestarikannya, baiknya kita meminimalkan benturan terhadap hal-hal yang seharusnya tidak dilanggar.

Menjadi sebuah “PR” kita bersama pula, bagaimana agar membaca buku-buku sarat ilmu pengetahuan dan moral sama menariknya dengan scrolling sebuah utas fanfiksi di media sosial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image