Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sirilus Aristo Mbombo_Pengamat Realitas

Perspektif Filsafat dan Sains Bagi Bangsa Indonesia

Eduaksi | 2024-06-14 21:40:25
Sumber Gambar: Pixabay

Manusia hidup dalam hubungan kompleks dengan sains-teknologi, agama dan filsafat. Hubungan ini dapat dilihat sebagai suatu dialektika, di mana manusia tidak hanya menciptakan ketiganya tetapi juga dipengaruhi oleh ketiganya secara bersamaan. Sains-teknologi tidak hanya lahir dari pengembangan filsafat, tetapi juga turut menentukan arah dan konsep filsafat. Filsafat di sisi lain, berperan dalam mengklarifikasi dan memperdalam keyakinan dalam agama, dan juga menerima pengayaan dari agama.

Sains tidak hanya memperoleh nilai-nilai kehidupan yang memiliki dimensi transenden dari agama, tetapi juga memainkan peran penting dalam memadukan agama dengan nilai-nilai keberadaban yang lebih luas. Persilangan antara sains-teknologi, agama, filsafat, dan peran manusia merupakan suatu realitas yang tak terhindarkan. Idealnya, keberadaan dan interaksi semua elemen ini seharusnya saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain. Namun di Indonesia, kita sering melihat adanya persaingan dan konflik antara ketiga bidang ini, bahkan kadang-kadang saling mengabaikan satu sama lain. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa kemajuan sebagai bangsa yang besar seringkali terhambat.

Sains memiliki akar yang berasal dari tangan manusia. Namun, saat ini sains tidak hanya berkembang dari rasionalitas manusia, tetapi juga turut membentuk pemahaman kita akan hakikat manusia. Ketika manusia menggunakan rasionalitasnya untuk mengembangkan sains, hasilnya adalah sains yang juga turut menentukan batas-batas rasionalitas tersebut. Ini menciptakan suatu hubungan dialektis yang kompleks antara manusia dan sains yang tidak dapat dielakkan.

Yang berharga dari sains adalah pola berpikir saintifik yang mengutamakan keterbukaan terhadap fakta, meskipun fakta tersebut mungkin bertentangan dengan pandangan kita. Pola berpikir saintifik juga menekankan pentingnya kesabaran dalam menguji asumsi, serta menghindari prasangka yang dapat menghalangi pencarian kebenaran. Lebih dari itu, pola berpikir saintifik mengajarkan kita untuk tetap sabar ketika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan atau kenyataan yang ada.

Ironisnya di Indonesia, para ilmuwan yang seharusnya mencontoh pola berpikir saintifik tidak selalu mewujudkan nilai-nilai tersebut dengan baik. Sebaliknya, mereka terkadang terjerumus dalam peran yang tidak baik dengan melayani kepentingan ekonomi-bisnis, politik ideologis, atau pun fundamentalis-religius sesaat. Mereka seringkali melupakan panggilan mulia untuk melayani seluruh umat manusia, tanpa memandang status ekonomi, politik atau agama mereka. Pola berpikir saintifik sering dijual murah demi keuntungan finansial atau kekuasaan yang bersifat sementara, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang yang mungkin akan mengikis nilai-nilai tersebut seiring berjalannya waktu.

Filsafat adalah hasil dari pemikiran manusia. Namun dalam perkembangannya, konsepsi tentang identitas manusia juga turut dipengaruhi oleh filsafat. Inilah hubungan dialektis antara filsafat dan manusia. Filsafat berasal dari kemampuan berpikir rasional manusia. Namun pada saat ini, tindakan yang menggunakan nalar sering kali dianggap sebagai bagian dari aktivitas filsafat.

Filsafat memiliki nilai yang tinggi karena pendekatannya yang rasional, kritis, dan sistematis dalam menghadapi segala aspek dalam kehidupan. Filsafat membantu individu menjauh dari arus utama masyarakat yang irasional, mengundang mereka untuk introspeksi diri guna mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Di tengah kekeringan makna hidup modern yang dipenuhi dengan tuntutan zaman dan kecenderungan pikiran mekanis yang monoton, filsafat memberikan makna yang mendalam. Bagi mereka yang bersemangat mempelajarinya, filsafat memberikan petualangan intelektual yang memuaskan.

Di Indonesia, pemahaman terhadap filsafat masih sering mengalami kesalahpahaman yang meluas. Banyak orang menganggap bahwa filsafat merupakan bidang ilmu yang rumit dan sulit dipahami. Kaum agamawan konservatif seringkali mengkritik filsafat dengan alasan bahwa itu dapat mengganggu keimanan seseorang. Akibatnya, filsafat sering kali dipandang dengan skeptis dan dipenuhi oleh prasangka negatif. Hanya sedikit orang yang benar-benar berminat untuk mendalami filsafat secara mendalam sesuai dengan makna sebenarnya. Mereka yang mempelajari filsafat seringkali melakukannya karena desakan atau tuntutan tertentu, bukan karena pilihan yang sungguh-sungguh.

Agama berasal dari interaksi manusia dengan Tuhan, di mana kebenaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia menjadi asal muasalnya. Agama hadir untuk kebaikan manusia sendiri, dengan tujuan mendorongnya menuju cinta, perdamaian, dan kesejahteraan serta menjauhkannya dari kebiadaban, konflik dan ketidakadilan. Kebenaran agama yang bersumber dari wahyu Tuhan memperkaya kehidupan manusia dengan nilai-nilai yang luhur dan mulia.

Yang berharga dari agama adalah kemampuannya untuk memberikan makna yang mendalam dan nilai-nilai esensial dalam kehidupan manusia. Agama memberikan penjelasan tentang asal-usul manusia, tujuan hidup, dan nasib akhir setelah kematian. Selain itu, agama juga memberikan pemahaman tentang alasan di balik penderitaan dan kebahagiaan manusia. Dengan cara ini, agama memberikan kejelasan mengenai tujuan yang harus dikejar dengan sungguh-sungguh dalam hidup ini.

Sayangnya, sebagian besar orang yang menjalankan agama di Indonesia tidak sepenuhnya memahami atau menghayati makna cinta, perdamaian, dan kesejahteraan yang diajarkan agamanya. Sebaliknya, mereka cenderung menggunakan agama sebagai alat untuk melegitimasi penindasan dan diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, terutama minoritas. Bagi mereka, agama bukan lagi sebagai sumber makna yang mendalam, melainkan lebih sebagai instrumen untuk mempertahankan atau menjustifikasi dominasi kekuasaan.

Sikap setengah hati yang dimiliki oleh para ilmuwan, filsuf dan para penganut agama di Indonesia telah menciptakan sebuah dialektika yang tidak menyuburkan hubungan harmonis di antara ketiganya, melainkan justru penuh dengan prasangka. Sains dan teknologi sering kali mencurigai nilai-nilai yang ditawarkan oleh filsafat, sementara filsafat meremehkan pendekatan mekanis dan patuh yang ditemukan dalam sains. Di sisi lain, filsafat kerap merasa skeptis terhadap dimensi irasionalitas yang terdapat dalam agama, sebagaimana agama sendiri juga curiga terhadap sifat destruktif yang dapat dimiliki oleh filsafat. Sains sering kali meremehkan aspek keimanan yang naif dalam agama, sementara agama merasa terancam oleh arogansi yang sering muncul dari sains.

Di Indonesia, interaksi antara sains, filsafat dan agama berjalan secara setengah hati. Kerjasama tidak terwujud, yang ada justru prasangka dan arogansi. Selama konflik ini berlanjut, harapan untuk mencapai kemajuan sejati hanya menjadi impian belaka tanpa realitas. Kita berada dalam pertempuran internal yang merugikan semua pihak. Ironisnya, di tengah-tengah persaingan global untuk kemajuan, masyarakat Indonesia mungkin justru mengalami kemunduran menuju ke primitivitas yang semakin memprihatinkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image