Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rofiul Fahmi

Anak Pelaku Kejahatan: Perlu Perlindungan atau Hukuman?

Hukum | Friday, 14 Jun 2024, 20:21 WIB
Sumber: Internet

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia banyak digegerkan oleh berita miris mengenai tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah umur. Salah satu kasus yang paling mencuat adalah pembunuhan Vina Dewi (16) atau yang lebih dikenal sebagai Vina Cirebon dan kekasihnya Eki. Kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 2016 silam ini kembali menyita perhatian publik setelah rilisnya film “Vina: Sebelum 7 Hari” yang mengangkat kisah mengenai kasus Vina tersebut. Mirisnya, salah satu pelaku pembunuhan Vina adalah anak yang masih di bawah umur. Ada pula kasus pembunuhan satu keluarga di Kalimantan Timur yang sempat viral pada Februari 2024. Pembunuhan 5 anggota keluarga yang terdiri dari Ayah (34), Istri (33), dan ketiga anak ini dilakukan oleh seorang remaja berusia 16 tahun berinisial J.

Kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagai pelaku ini banyak menimbulkan dilema dan pertanyaan. Di satu sisi, mereka merupakan seorang anak yang haknya dilindungi oleh negara dan harus dijamin masa depannya, di sisi lain, mereka juga telah melakukan tindak kejahatan yang seharusnya mendapat hukuman. Lantas apa yang terjadi jika seorang anak melakukan tindak kejahatan? Apakah dia perlu dilindungi atau dihukum?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menurut ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, seorang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dilindungi dan dijamin haknya oleh negara.

Adapun yang dinamakan perlindungan khusus bagi anak yakni merupakan suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya, salah satunya adalah untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Yang akan dibahas di tulisan ini adalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum.

Dasar Hukum: Perlindungan dan Pertanggungjawaban

Di Indonesia, proses dan tata cara penindakan Anak yang Berkonflik dengan Hukum diatur secara rigid dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Sesuai dalam ketentuan Pasal 1 Angka 1, Undang-Undang SPPA mengatur keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejahteraan sosial. Selanjutnya, untuk Anak yang Berkonflik dengan Hukum yakni anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, diproses melalui Sistem Peradilan Pidana Anak dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan Restoratif sendiri adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dalam hal Anak yang Berkonflik dengan Hukum diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, maka wajib diupayakan diversi. Diversi sendiri adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU SPPA, nantinya hasil diversi akan menghasilkan kesepakatan, antara lain: perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang sudah terbukti melakukan tindakan pidana? Apa “hukuman” yang mereka dapatkan?

Dalam hal ini, anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam UU SPPA. Pidana yang dikenakan kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok sendiri terbagi atas pidana peringatan; pidana dengan syarat; pelatihan kerja; pembinaan dalam lembaga; dan penjara. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Dalam hal anak dijatuhi pidana penjara akan dimasukkan ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Realitas Sosial: Tantangan dan Kendala

Meskipun undang-undang dan para ahli menekankan pentingnya perlindungan dan rehabilitasi, realitas di lapangan sering kali berbeda. Banyak anak yang berhadapan dengan hukum tetap mengalami perlakuan yang keras, baik dari aparat penegak hukum maupun dari lingkungan sosial mereka. Stigma sebagai "anak nakal" atau "penjahat" sering kali melekat pada mereka, menghambat proses resosialisasi.

Kondisi di lembaga pemasyarakatan anak juga menjadi sorotan. Banyak lembaga yang masih belum memenuhi standar kelayakan untuk rehabilitasi anak. Overcrowding, kurangnya fasilitas pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta minimnya tenaga profesional yang mampu memberikan pendampingan psikologis adalah beberapa masalah yang kerap ditemui.

Perlindungan atau Hukuman?

Menimbang segala aspek di atas, pertanyaan "Perlu Perlindungan atau Hukuman?" terhadap anak pelaku kejahatan seharusnya dijawab dengan pendekatan yang lebih seimbang dan holistik. Hukuman yang diterapkan haruslah bersifat mendidik dan memberikan efek jera, tetapi tidak sampai mengabaikan kebutuhan anak untuk mendapatkan perlindungan dan bimbingan yang tepat.

Pengadilan anak diharapkan mampu menjalankan perannya dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana harus diutamakan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6-15 UU SPPA yang menyatakan bahwa diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan.

Selain itu, dukungan dari masyarakat dan keluarga juga sangat penting. Anak-anak ini perlu diterima kembali dalam lingkungan sosial mereka tanpa stigma. Program-program rehabilitasi dan reintegrasi sosial harus diikuti dengan pengawasan yang baik serta dukungan moral dan material dari masyarakat.

Menangani anak yang melakukan tindak pidana memerlukan keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak. Pendekatan yang hanya berfokus pada hukuman tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan dan rehabilitasi tidak akan menyelesaikan masalah secara mendasar. Sebaliknya, dengan memberikan perlindungan, bimbingan, dan rehabilitasi yang tepat, kita tidak hanya membantu anak-anak ini untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih aman dan manusiawi di masa depan.

Dengan demikian, jawabannya bukanlah antara perlindungan atau hukuman, melainkan bagaimana kedua aspek tersebut dapat diintegrasikan secara efektif dalam sistem peradilan pidana anak. Pendekatan yang seimbang inilah yang diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih baik dan berkelanjutan bagi anak-anak pelaku kejahatan dan masyarakat secara keseluruhan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image