Perspektif Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Penerapan Pemerataan Kelas oleh BPJS Kesehatan
Kebijakan | 2024-06-11 23:08:27Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Selain menjadi tanggung jawab setiap manusia, pemerintah juga memainkan peranan penting dalam pembentukan regulasi sebagai bentuk perlindungan terhadap kesehatan seluruh warganya. Guna mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan program jaminan kesehatan, pemerintah membentuk suatu badan hukum publik yang berfokus di bidang pelayanan kesehatan yang dikenal dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan. Dalam aktualisasinya, peserta BPJS Kesehatan terbagi menjadi tiga tingkat atau kelas sesuai dengan nominal iuran yang membedakan fasilitas rawat inap yang diberikan oleh rumah sakit rujukan.
Bukan tanpa dasar, penghapusan kelas peserta BPJS Kesehatan ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial (UU SJSN) Pasal 23 Ayat 4 yang menyatakan bahwa, “Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan kelas standar”. Penerapan kelas standar bertujuan untuk menjalankan prinsip asuransi sosial dan ekuitas dalam program Jaminan Kesehtaan Nasional (JKN), tanpa mengurangi kualitas pelayanan yang diberikan agar masyarakat Indonesia dapat merasakan hidup sejahtera dan sehat. Walaupun begitu, penerapan pemerataan kelas masih dalam perbincangan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sejak 2021.
Penerapan penghapusan kelas peserta BPJS Kesehatan juga harus mempertimbangkan tarif yang dikenakan. Perihal tarif nantinya akan dikembangkan berdasarkan kajian kebutuhan dasar kesehatan (KDK) sesuai dengan program Jaminan Kesehatan Nasional. Penyusunan KDK harus sesuai dengan kemampuan masyarakat, agar mereka tetap bisa menikmati kelas standar tanpa harus memikirkan biaya yang dikeluarkan nantinya. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga berharap agar besaran iuran dipertimbangkan ulang sesuai dengan kondisi finansial dan daya beli peserta non-PBI (peserta mandiri) setelah anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengusulkan besaran iuran Rp 75.000. Hal ini tampaknya akan memberatkan peserta non-PBI, terlebih masyarakat baru saja bangkit dari pandemi.
Selain tarif, hal yang harus dipertimbangkan adalah sejauh mana ketersediaan pemerintah dan rumah sakit dalam menjalankan program pemerataan kelas BPJS Kesehatan. Lingkungan sekitar yang terbatas dalam sumber daya seperti tenaga medis, fasilitas medis, dan peralatan medis dapat mempengaruhi kesiapan masyarakat terhadap kebijakan keseragaman kelas BPJS di rumah sakit. Namun, pemerintah sudah diuji coba di lima rumah sakit milik pemerintah dan sedang dalam tahap pengawasan, apabila minim kendala maka akan diterapkan secara keseluruhan lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan.
Penghapusan kelas ini sangat berguna untuk menghapus kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam lingkungan pelayanan kesehatan. Tak jarang, pasien yang datang untuk berobat dilayani secara asal-asalan hanya karena mereka berasal dari kelas rendah. Kebijakan penghapusan kelas pesertab BPJS Kesehatan ini seharusnya disikapi secara positif dalam rangka pemberian layanan kesehatan yang berkeadilan sosial. Diharapkan agar ke depannya, kebijakan ini dapat memenuhi kuantitas fasilitas pelayanan kesehatan, tidak menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dari segi medis, semakin mempermudah pelayanan kesehatan, serta tidak mengakibatkan besaran iuran yang dapat menambah beban kehidupan masyarakat.
Peserta BPJS Kesehatan juga tidak perlu lagi mengurus naik kelas agar bisa menikmati layanan yang lebih memadai karena diberlakukan layanan standar yang dapat dirasakan oleh semua golongan masyarakat. Timboel Siregar, salah satu anggota BPJS Kesehatan juga mengungkapkan bahwa kebijakan penghapusan kelas bisa menjadi jurus untuk mengurangi potensi korupsi atau fraud yang selama ini terjadi akibat praktik-praktik manipulasi yang dilakukan oleh para oknum yang tidak bertanggungjawab.
KATA KUNCI: BPJS Kesehatan, Keadilan, Pemerataan
DAFTAR PUSTAKA
Putri, D. A., Ramadhanty, R. W., Oktaviani, W., & Gurning, F. P. (2022). Analisis Respon Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Kelas Standar BPJS Kesehatan di Desa Bandar Selamat Kecamatan Aek Songsongan. Humantech: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 1(8), pp. 1121-1128.
Samino, S., Riyanti, R., Suwito, S., Irianto, T. D., Barliyan, M. A., & Asnida, D. (2023). SOSIALISASI KELAS RAWAT INAP STANDAR (KRIS) BAGI MANAJEMEN DAN KARYAWAN RS PERTAMINA BINTANG AMIN (RSPBA) BANDAR LAMPUNG TAHUN 2022. Martabe: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(2), pp. 691-697.
Yunus, M., Husni, M., & Mufadhdhal, M. M. (2021). Klasifikasi Sentimen Terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Pada Media Sosial Twitter Menggunakan Naive Bayes. SMATIKA JURNAL: STIKI Informatika Jurnal, 11(02), pp. 81-91.
Fajarwati, R., Muchlis, N., & Batara, A. S. (2023). Faktor Internal dan Eksternal Kesiapan Masyarakat Tentang Rencana Kebijakan Keseragaman Kelas BPJS. Jurnal Mirai Management, 8(2), pp. 327-343.
Mz, M. Q., Pane, M., Hutajulu, J., Sitorus, M. E. J., & Ginting, D. (2023). ANALISIS KESIAPAN RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK II MEDAN TERHADAP PELAKSANAAN KELAS RAWAT INAP STANDAR (KRIS). Jurnal Kesehatan Tambusai, 4(2), pp. 1893-1911.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.