Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kartikasari Sukemi

Praktik Tukang Gigi Ilegal Sudah Menjamur: Stop Jadi Korban!

Rubrik | 2024-06-06 15:02:12

Sistem kesehatan merupakan komponen yang tak kalah penting bagi ketahanan suatu bangsa dan negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan adalah salah satu kebutuhan primer atau pokok dalam masyarakat. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan kesehatan yang semakin tinggi sering disalah gunakan sebagai sarana berbisnis yang dapat menimbulkan munculnya praktik-praktik layanan kesehatan ilegal, lebih tepatnya praktik tanpa izin dari Dinas Kesehatan atau bahkan praktik di luar kewenangan. Salah satu contoh praktik layanan kesehatan ilegal yang sedang marak di Indonesia adalah praktik tukang gigi. Hal ini dapat dilihat dari semakin menjamurnya salon atau klinik gigi estetik bahkan tukang gigi keliling yang bukan dilakukan oleh seorang dokter gigi.

Menurut Muhammad Luthfi dalam acara Indonesian Dental Exhibition and Conference mengatakan, “Tukang gigi berjumlah 75.000 orang tersebar di Indonesia. Sedangkan jumlah dokter gigi hanya ada 2.800 orang, itupun tidak merata” Sementara dari sisi rasio dokter gigi terhadap masyarakat masih berada pada angka 1:9000, lebih sedikit dibandingkan Singapura dan Brunei Darussalam yang berada pada angka 1:2000. Sebenarnya faktor apa yang membuat masyarakat lebih memilih mendatangi tukang gigi daripada dokter gigi. Berikut beberapa masalah yang telah saya pelajari mengenai kesehatan gigi dan mulut di Indonesia:

1. Jumlah dokter gigi yang belum stabil dan tidak merata. Keberadaan dokter gigi terutama dokter gigi spesialis, masih terpusat di daerah perkotaan dan di Pulau Jawa. Kurangnya dokter gigi dan persebaran yang belum merata membuat masyarakat kesulitan untuk mengakses layanan perawatan gigi secara rutin.

2. Maraknya praktik gigi ilegal yang sudah sangat menjamur di Indonesia. Dilakukan oleh orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan dokter gigi dan bertindak di luar batas kewenangannya. Banyaknya praktisi gigi ilegal ini membuat masyarakat awam yang tidak paham datang untuk melakukan perawatan gigi. Dampak yang ditimbulkan ini akan sangat berbahaya dan menyebabkan penyakit mulut berkepanjangan, bahkan bisa sangat fatal (meninggal dunia).

Pada dasarnya, tukang gigi merupakan profesi yang telah ada di Indonesia bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Berdasarkan PERMENKES Nomor 39 Tahun 2014, pekerjaan tukang gigi sebagaimana diatur pada pasal 6 ayat (1) hanya berupa membuat dan memasang gigi tiruan lepasan. Namun kenyataan yang terjadi sangat berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran gigi di Surakarta menyatakan bahwa mayoritas tukang gigi bekerja melampaui batas kewenangannya, seperti:

1. Pencabutan gigi ilegal tanpa mempertimbangkan metode dan alat yang hanya dapat dilakukan oleh dokter gigi.

2. Pemasangan kawat gigi (behel) tanpa mempertimbangkan prosedur seperti pemeriksaan awal rontgen rahang gigi, apa yang menjadi permasalahan, keinginan dan keadaan maloklusi pasien.

3. Pemasangan veneer gigi sembarangan yang justru menyebabkan kesulitan pengunyahan, gigi menjadi kotor dan infeksi, dan lain sebagainya.

Tidak sedikit korban tukang gigi di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya warga Palopo yang meninggal dunia usai mencabut 2 gigi sekaligus di tukang gigi. Singkat cerita ia mengalami anemia akut yang disebabkan oleh gusi mengeluarkan darah berlebih, dan dinyatakan tewas pada pukul 03.00 WITA. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada korban malapraktik tukang gigi seperti cerita diatas, sebenarnya terjadi karena faktor penegak hukum dan kesadaran masyarakat:

1. Peraturan terkait pembinaan dan pengawasan terhadap praktik tukang gigi yang diatur dalam PERMENKES masih belum dijalankan oleh Dinas Kesehatan.

2. Dinas Kesehatan menganggap praktik tukang gigi ilegal bukan termasuk kepentingan yang mendesak seperti program penanggulangan infeksi menular seksual, sehingga pembinaan dan pengawasannya dikesampingkan. Kepedulian dan kesadaran aparat penegak hukum sangat dibutuhkan terkait kasus ini agar masyarakat terutama korban memperoleh keadilan dan pertanggungjawaban dari pelaku karena selama ini masyarakat maupun korban tidak tahu bahwa ia menjadi korban dan dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum.

3. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai layanan kesehatan ilegal. Menurut drg. Maria, mayoritas pasiennya yang menjadi korban tukang gigi tidak menyadari bahwa diri mereka dirugikan dan tidak mengetahui bahwa oknum tersebut telah melakukan pelanggaran hukum sehingga banyak korban yang hanya diam dan tidak melaporkan hal tersebut.

4. Penyebaran dokter gigi di Indonesia yang tidak merata. Jumlah dokter gigi yang belum ideal dan belum sepenuhnya merata dapat dijadikan sebagai peluang lapangan pekerjaan oleh orang-orang yang tidak berkompeten dalam penggarapan gigi, misalnya di daerah Bengkulu, guru SMP, guru SMA, dosen, mahasiswa beralih profesi menjadi tukang gigi. Hal ini lah yang menjadi faktor maraknya tukang gigi sehingga akses masyarakat ke dokter gigi tidak memadai.

Pada kasus seperti ini semestinya dibutuhkan kreativitas-kreativitas dari dokter gigi dalam menangani bagaimana cara menarik masyarakat supaya lebih mendatangi dokter gigi daripada tukang gigi. Hal paling utama dalam menanggulangi kasus malapraktik ini adalah kesadaran. Kesadaran untuk tidak mendatangi tukang gigi dan lebih memilih ahli profesional yang sudah menempuh pendidikan resmi seperti dokter gigi. Kedua, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai perawatan gigi juga menjadi perhatian penting dalam kasus ini. Saya sebagai mahasiswi Kedokteran Gigi terpikirkan untuk membuat akun edukasi pada media sosial yang membahas seputar bahaya perawatan gigi ilegal dan resiko-resiko yang didapatkan hingga bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu, pesan penulis kepada pembaca adalah bijaklah dalam memilih perawatan apapun itu. Jangan mudah tergiur dengan biaya yang lebih murah. Coba pilih mana, murah tapi bisa menyebabkan resiko penyakit atau agak mahal tapi aman untuk kesehatan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image