Menyoal Pendapat Publik Mengenai Kasus Femisida di Indonesia: Kasus Penemuan Wanita dalam Koper di B
Humaniora | 2024-06-06 14:39:34Femisida adalah manifestasi paling parah dari kekerasan berbasis gender. Bagaimana tidak, femisida terjadi bukan hanya ketika terjadi pembunuhan terhadap perempuan, akan tetapi femisida terjadi ketika para pelaku membunuh sang korban karena sang korban adalah perempuan. Ada beberapa kasus femisida di Indonesia yang terjadi pada bulan Mei 2024 lalu. Mulai dari kasus mutilasi istri di Ciamis, kasus pembunuhan di Minahasa Selatan yakni istri dibunuh suami dikarenakan mengigau, dan kasus pembunuhan ‘wanita dalam koper' di Bekasi.
Atas rentetan kasus tersebut, yang akan kita bahas adalah kasus penemuan jasad seorang wanita dalam koper di Bekasi. Jasad RM (50) ditemukan pada Kamis, 24 April 2024 lalu dalam sebuah koper hitam berukuran besar di Jalan Inspeksi Kalimalang, Cikarang, Kabupaten Bekasi. Polisi telah menetapkan dua orang sebagai tersangka, diantaranya Ahmad Arif Ridwan Nuwloh (29) dan adik kandungnya, Aditya Tofik (21).
Aksi pembunuhan tersebut bermula ketika sang korban dan pelaku berbincang di kantor. Dalam perbincangan tersebut, RM diajak Arif ke salah satu hotel yakni Hotel Zodiak. Di hotel tersebut, Arif dan RM melakukan hubungan hubungan selayaknya suami istri dan ini bukan pertama kali keduanya melakukan hal tersebut, sebab mereka pernah melakukannya pada Desember 2023. Setelahnya, RM dan Arif melakukan sebuah perbincangan. Dalam perbincangan tersebut, RM meminta Arif untuk bertanggungjawab dan korban meminta Arif untuk menikahinya.
Namun, permintaan RM tersebut ditolak oleh tersangka. Sang korban lalu melontarkan kata-kata dari mulutnya hingga membuat Arif tersinggung atau melukai hati sang pelaku. Arif lantas melakukan tindakan membenturkan kepala korban ke tembok hingga berdarah. Kemudian pada saat sang korban tidak berdaya, tersangka membekap mulut dan hidung korban sekaligus mencekiknya selama 10 menit lalu memastikan sang korban sudah tidak bergerak dan tidak bernafas lagi. Setelah membeli koper yang dirasa mampu dimasuki oleh jasad sang korban, Arif lalu bertemu dengan adiknya yakni Aditya di Bitung. Disana, mereka bekerja sama mencari strategi untuk membuang jasad korban. Arif lalu menyewa sebuah mobil kemudian mereka pergi menggunakan mobil sewaan tersebut untuk kembali ke Bandung sembari mencari lokasi untuk membuang jasad korban. Dalam kasus ini, kedua pelaku yakni Aditya dan Arif telah ditahan. Keduanya telah dijerat Pasal 339 KUHP dan atau Pasal 338 KUHP dan atau Pasal 365 ayat 3 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.
Dari kasus pembunuhan tersebut, terdapat berbagai respons dari publik. Salah satunya adalah mengenai perbuatan zina yang telah dilakukan sang korban sebelum pembunuhan tersebut dilakukan. “Mati karena selingkuh??? Ya wajar toh itu balasan atas kelakuannya sendiri jadi wajar lah durhaka kepada dari suami diperlihatkan langsung di dunia,” ucap salah satu komentar publik dalam salah satu video youtube akun berita yang menjelaskan tragedi pembunuhan ‘wanita dalam koper' tersebut. Dalam komentar yang lain, publik juga berbondong-bondong mengomentari tindakan sang korban yang dinilai ‘dosa’ ia yang harus ia tanggung setelah melakukan suatu perzinahan sebagai perempuan yang dikaitkan dengan perselingkuhan dari suaminya.
Kasus femisida tersebut menuai berbagai opini publik yang sekaligus menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa meskipun sang korban telah melakukan perzinahan, tetapi tindakan pembunuhan tidaklah wajar meskipun masyarakat menilai itu sebagai teguran Tuhan untuk sang korban bahwa ia telah mengkhianati sang suami. Lebih dari itu, perempuan dalam kasus ini dinilai tetap di objektifikasikan meskipun sang korban telah meninggal dunia. Publik seharusnya menilai terhadap apa yang telah pelaku lakukan yakni pembunuhan yang dilakukan oleh Arif dan Aditya. Bukan menilai dosa yang telah dilakukan sang korban sebagai seorang istri dan seorang perempuan. Femisida akan terus terjadi jika masyarakat tetap mengobjektifikasikan perempuan bahkan hingga saat ia telah menjadi jasad. Meskipun kasus ini telah melanggar HAM yaitu Hak Hidup, alangkah baiknya masyarakat tidak perlu mengungkit dosa yang telah korban lakukan meskipun hal tersebut belum benar adanya.
Kasus ini mencerminkan pandangan dan sikap masyarakat yang sering kali menyalahkan korban perempuan atas kekerasan yang mereka alami, bahkan setelah kematian. Reaksi publik yang mengecam korban atas dugaan perzinaan menunjukkan adanya bias gender yang masih kuat dalam masyarakat. Hal ini memperlihatkan betapa masyarakat masih sering kali menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan terhadap stereotip dan stigma negatif.
Fenomena blaming the victim atau menyalahkan korban tidak hanya tidak adil, tetapi juga memperburuk situasi bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan. Penilaian moral yang dilakukan terhadap korban dapat mengalihkan perhatian dari tindakan kriminal pelaku, serta menghambat proses penegakan hukum yang adil dan objektif. Dalam konteks kasus pembunuhan ini, fokus seharusnya tetap pada tindakan kejam yang dilakukan oleh pelaku dan upaya untuk memberikan keadilan bagi korban, bukan pada kehidupan pribadi korban yang sebenarnya tidak relevan dengan tindakan kriminal yang dilakukan.
Di sisi lain, tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku jelas merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya hak hidup. Pembunuhan yang didorong oleh alasan gender, seperti dalam kasus ini, harus mendapatkan perhatian serius dari penegak hukum dan masyarakat. Pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan upaya untuk mencegah kekerasan berbasis gender dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan.
Dalam menangani kasus-kasus seperti ini, penting untuk mengedepankan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Media juga memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan dengan cara yang sensitif dan tidak memperburuk stigma terhadap korban.
Lebih lanjut, pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai kesetaraan gender dan hak asasi manusia harus ditingkatkan. Hal ini dapat membantu mengurangi sikap-sikap diskriminatif dan kekerasan terhadap perempuan. Edukasi tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia tanpa memandang gender dapat mendorong terciptanya lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua individu.
Kasus femisida seperti yang terjadi di Bekasi harus menjadi momentum bagi kita semua untuk merenungkan dan memperbaiki sikap serta kebijakan yang ada. Pembunuhan yang didorong oleh kebencian gender merupakan masalah serius yang membutuhkan solusi komprehensif, termasuk melalui perubahan sosial, penegakan hukum yang tegas, serta dukungan penuh terhadap korban dan keluarganya.
Dengan memahami akar permasalahan dan mengambil langkah-langkah nyata untuk mencegah terjadinya femisida, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan menghormati hak asasi manusia. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan lembaga hukum, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai anggota masyarakat yang peduli terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.