Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sebastian Jonathan

Arus Bawah: Menganalisis Paham Demokrasi Indonesia Melalui Perspektif Punakawan

Sastra | 2024-06-06 09:20:13

Arus Bawah, sebuah novel bergenre fiksi yang edisi keduanya pertama kali dicetak Februari 2019 lalu, merupakan salah satu novel-esai karangan Emha Ainun Nadjib. Dalam novel yang diterbitkan Bentang Pustaka ini, Emha atau lebih akrab disapa Cak Nun melantunkan kritik sosial terhadap rezim pemerintahan Orde Baru melalui perbandingan dengan lakon Punakawan. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1994 dengan judul Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah, Cak Nun menggambarkan masyarakat dan geliat perjuangan demokrasi Indonesia di masa akhir Orde Baru melalui tokoh-tokoh Punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keseluruhan kisah dalam novel ini diceritakan dalam 280 halaman yang dibagi ke 18 babak masing-masing berkisar antara 8 hingga 30 halaman.

Dalam novel yang tergolong cukup pendek ini, Cak Nun mengisahkan mengenai hilangnya Kiai Semar dari Dusun Karang Kedempel di tengah pemerintahan sewenang-wenang Pak Kades. Akibat hilangnya Kiai Semar yang selama ini dianggap sebagai tonggak kebijaksanaan di antara Para Punakawan, Gareng, Petruk, dan Bagong yang merupakan anak-anak Semar kehilangan tumpuan hidupnya. Dengan alur cerita non-linier, pembaca diajak menelusuri hilangnya Kiai Semar melalui percakapan-percakapan Kiai Semar dengan Para Punakawan. Percakapan-percakapan yang dimaksud menyentuh berbagai topik mulai dari pembentukan ‘konstelasi politik’ di Karang Kedempel hingga pendirian Gerakan Carangan untuk melawan rezim pakem Mahabharata. Walau tidak tersurat melalui percakapan-percakapan tersebut, pembaca diantarkan pada latar belakang memudarnya peran Para Punakawan dan Kiai Semar di Karang Kedempel sebelum akhirnya tiba pada kesimpulan yang mengejutkan bahwa Kiai Semar tidak pernah menghilang, melainkan selama ini terlupakan oleh Para Punakawan yang terlena dengan pesta tanpa henti Karang Kedempel.

Mengapa Kiai Semar menghilang mungkin menjadi pertanyaan utama yang disiratkan buku ini. Meskipun begitu, semakin membaca ke dalam, pembaca dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul seiring dengan percakapan Para Punakawan: Mengapa Gareng si Filsuf Desa tidak didengarkan masyarakat Karang Kedempel? Mengapa masyarakat Karang Kedempel begitu patuh dan apatis terhadap kekuasaan yang menindas dan membelenggu mereka? Mengapa Kiai Semar, Sang Bodronoyo yang raganya adalah rakyat hanya buang angin saja tanpa bertindak apa-apa? Mengapa Sri Kresna, seorang ‘sesepuh kaum kesatria’ bertindak tidak bijak dengan membunuh Ekalaya? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup merepresentasikan kompleksitas substansi pembahasan dalam buku Arus Bawah yang berkedok kisah ke-Punakawan-an Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Sebagai esai, penggunaan alegori Punakawan dan mitologi Jawa dalam novel ini ternilai cukup berat. Akibatnya, alegori seakan menyamarkan substansi bagi pembaca yang mungkin tidak begitu memahami konteks dari alegori yang digambarkan. Beberapa unsur alegori yang dikisahkan mungkin cukup mudah untuk dicerna pembaca awam seperti Punakawan sebagai abstraksi paham demokrasi di Indonesia, Karang Kedempel sebagai nama sebutan untuk Indonesia, dan pakem Mahabharata serta Pak Kades sebagai padanan rezim Orde Baru dan Suharto yang mengepalainya. Namun, unsur alegori lainnya tak semudah itu diartikan ke bahasa sehari-hari. Mudah saja memahami pembunuhan Supala oleh Sri Kresna sebagai perbuatan keji dan sewenang-wenang yang mewarnai ‘paham politik Karang Kedempel’. Namun, apa itu paham politik Karang Kedempel yang dimaksud? Siapa Supala dan Sri Kresna dalam rangkaian sejarah Karang Kedempel? Apakah mereka hanya menjadi analogi untuk paham politik saja? Ataukah mereka juga merupakan analogi dari tokoh-tokoh tertentu dalam sejarah panjang Republik Indonesia?

Bahwasanya substansi dalam novel ini berbobot dan mempunyai daya analitik yang kuat seringkali disamarkan oleh eufemisme-eufemisme di dalam tubuh novel. Hal ini boleh jadi sedikit mencerminkan paradoks penilaian subjektif bagi novel ini. Di satu sisi, novel memiliki daya analitikal yang menarik untuk dikaji dan ditujukan untuk khalayak luas sebagai kritik sosial kontemporer. Di sisi lain, tema besar alegoris yang dibawakan novel membuat daya analitik novel terkesan tersirat di antara analogi dan eufemisme untuk hal-hal riil yang dikritik dalam novel.

Hal yang serupa juga dapat dikatakan ketika menganalisis unsur bahasa dari novel Arus Bawah. Dipandang dari segi tertentu, Cak Nun memiliki gaya bahasa yang khas dan penuh warna. Istilah-istilah yang bernada intelektual seperti pseudoharmoni atau dialektika dipertemukan dalam novel dengan istilah-istilah yang melekat pada kebudayaan Jawa seperti ning, sendika, dan Matek Aji. Di satu sisi, hal ini menimbulkan kesan intelektual bagi pembaca dengan latar belakang kesusastraan. Adanya perpaduan bahasa—terkadang dalam satu paragraf atau bahkan satu kalimat yang sama—menunjukkan penguasaan kebahasaan Cak Nun. Meskipun begitu, di sisi lain, istilah-istilah seperti Memayu Hayuning Bawana, pulung, karomah, dan Mlumah juga dapat mempersulit pembaca awam untuk memahami kisah. Sebagai akibatnya, apresiasi terhadap Arus Bawah tidak jarang berasal hanya dari kaum kesusastraan saja. Apakah hal ini juga mempengaruhi minat baca dari pembaca awam terhadap novel merupakan sesuatu yang berada di luar pengetahuan penulis.

Sebagai penutup, penulis sangat merekomendasikan buku Arus Bawah untuk pembaca yang tertarik pada unsur-unsur kebudayaan dalam kritik sosial. Pemerhati politik, historis maupun kontemporer, akan disuguhi dengan esai berbobot mengenai kebudayaan politik dan paham kekuasaan Indonesia di era Orde Baru yang dikemas dengan gaya bahasa elegan dan berwarna. Meski penulis menilai bahwa Arus Bawah secara substansial cukup berat untuk dibaca pembaca awam, penulis tetap menyarankan pembaca awam untuk membaca buku ini, terutama mengingat Arus Bawah merupakan pengantar yang baik untuk memahami lebih dalam dan mengingat kembali kejahatan rezim Orde Baru.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image