Culture Shock: Perkawinan Beda Budaya, Bingung ya ?
Lainnnya | 2024-06-05 21:06:02Berawal saat kuliah semester lima, saya bertemu seseorang yang gigih dalam memperjuangkan cinta. Bagaimana tidak, sudah berkali-kali ditolak tapi tetap saja berusaha mendekati saya. Bukan tanpa alasan saya menolaknya, tapi karena dia berasal dari Madura. Rumor yang beredar tentang Orang Madura yang suka carok, berkepribadian keras, pemarah, daerahnya tandus dan masih banyak yang lainnya. Sangat berbeda dengan orang jawa.
Berkat kesabaran dan kegigihannya, akhirnya saya menerima lamarannya dan menikah. Setelah menikah saya dibawa ker Madura untuk tinggal di sana. Segalanya terasa sangat berbeda, dari mulai Bahasa, budaya, adat istiadat, kebiasaan dan juga lingkungannya. Saya sadar bahwa ketika saya melakukan perkawianan dengan budaya yang berbeda, maka akan meraskan pembauran dengan budaya itu. Oleh karena itu saya harus bisa beradaptasi dengan keadaan yang saya alami.
Pertama kali datang ke Madura saya sangat kaget dan heran melihat jalan raya banyak yang rusak, lubangnya dalam-dalam, bahkan banyak pula yang belum di aspal. Selain itu kebanyakan masyarakat desa membangun rumah di pinggir sungai, di tengah sawah atau di ladang (jauh dari jalan raya). Jarang sekali ada yang membangun rumah di pinggir jalan raya.
Alasan mereka agar mudah mendapatkan air. Sumber mata air di Madura masih sangat jarang. Jika di daerah saya setiap rumah memiliki sumur, maka di Madura, satu kampung hanya ada beberapa sumur saja. Seiring dengan kemajuan zaman, masyarakat Madura mulai membangun rumah dipinggir jalan untuk membangun usaha, karena akses jalan akan lebih mudah. Selain itu mereka juga mulai membuat sumur bor untuk mendapatkan air.
Perbedaan yang paling mencolok antara Madura dan Jawa adalah Bahasa yang digunakan sehari-hari. Bahasa Madura masih sangat asing di telinga saya, meskipun saya punya banyak teman dari Madura pada saat kuliah, tetapi komunikasi kita selalu memakai Bahasa Indonesia. Setelah berada di Madura, saya merasa kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat, karena ternyata tidak semua masyarakat Madura (terutama masyarakat desa) bisa berbahasa Indonesia, mereka hanya bisa berbahasa Madura.
Awalnya saya ingin mempertahankan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan dicampur sedikit Bahasa Jawa, tujuannya agar keluarga Madura mengerti dan bisa berbahasa Jawa. Tetapi karena saya minoritas, jadi sulit bagi saya untuk melakukannya. Dua tahun bertahan tidak belajar Bahasa Madura, setelah dipikir-pikir sepertinya saya menjadi bahan lelucon murid saya ketika saya menerangkan dengan menyebutkan kata- kata dalam Bahasa Madura, karena itu akhirnya saya belajar bahasa madura.
Pendidikan masyarakat desa memang masih sangat memprihatinkan, mereka belum sadar bahwa Pendidikan formal sangat penting untuk masa depan. Masyarakat desa masih banyak mengikuti budaya pernikahan dini, setelah lulus Sekolah Dasar mereka cenderung menjodohkan anaknya dan menikahkannya. Sehingga mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka khawatir jika anak gadisnya tidak laku atau tidak mendapat jodoh alias menjadi perawan tua
Karena pendidikan yang rendah banyak masyarakat yang tidak bisa baca tulis, walaupun begitu masyarakat Madura pintar membaca Alqur’an dan menulis dengan huruf Arab. Hal itu karena budaya mondok dan ngaji langgeran (belajar ngaji di Mushola/ ustadz) masih sangat kental. Mereka lebih memprioritaskan sekolah Madrasah (sekolah keagamaan) dari pada Pendidikan formal.
Bagi mereka anak-anak wajib sekolah Madrasah sebagai bekal kehidupan setelah meninggal, dan juga agar ada yang mendoakan orang tua mereka setelah meninggal kelak. Mungkin karena itu juga masyarakat Madura senang bersedekah, bukan hanya dengan uang, tetapi dalam bentuk makanan juga.
Pada bulan-bulan tertentu mereka membagikan makan kepada tentangga-tetangga mereka. Seperti Tajin Sorah diberikan pada bulan Muharram, Tajin Sappar diberikan pada bulan Safar, Ayam Kuah Adhun diberikan pada hari Lebaran Idul Fitri, Idul Adha dan bulan Maulid, Kolak ketan di berikan pada malam tanggal 25 Ramadhan.
Budaya memperingati maulid Nabi Muhammad SAW juga masih sangat kental. Hampir setiap rumah mengadakan selamatan untuk memperingatinya, sebaga wujud kecintaan mereka pada Rosul-Nya. Di daerah saya (di Jawa), Maulid Nabi cukup dirayakan di Masjid-Masjid.
Masyarakat Madura memiliki tipe ulet dan pekerja keras, bila tidak menemukan pekerjaan di Madura, maka mereka akan merantau keluar dari daerahnya atau bahkan keluar negeri untuk mencari pekerjaan. Selain itu jiwa kemanusian dan persaudaraan orang Madura sangat kuat, mereka memiliki simbol setong dereh (satu darah). Siapapun yang berada di perantauan selama dia berdarah Madura, maka mereka adalah saudara meskipun mereka bukanlah keluarga atau famili. Bila mengalami kesulitan mereka saling membantu dan tolong menolong.
Setelah berada di Madura, saya jadi mengerti, tidak semua orang Madura seperti rumor yang saya dengar dulu. Banyak juga orang Madura yang berkarakter lemah lembut, sabar dan penyayang. Budaya Carok pun sudah sangat jarang sekali terjadi, hanya orang tertentu saja yang masih melakukannya. Seiring perkembangan zaman masyarakat Madura mulai memiliki pemikiran yang modern. Mereka sadar akan Pendidikan, Selain itu tradisi pernikahan dini sudah mulai jarang.
Banyak tradisi yang menarik di Madura, antara lain tradisi Karapan Sapi, tradisi Cahe, tradisi Toron, tradisi Sapi Sonok, kesenian Daul Dukduk dan lainnya. Pelajaran yang saya dapatkan adalah, bila kita berada di suatu daerah, maka kita harus mempelajari Bahasa, Budaya dan kebiasaan mereka, agar kita dapat beradaptasi dengan baik dan dapat berbaur dengan Masyarakat, sehingga kita tidak akan terjebak dalam perasaan kaget atas budaya baru atau culture shock yang akan dihadapi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.