Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shafrina Kamila Zahra

Topeng Monyet: Eksploitasi Kesejahteraan Hewan yang Masih Lestari

Humaniora | Wednesday, 05 Jun 2024, 16:24 WIB

Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan, pernahkan kalian menyaksikan hiburan pertunjukan eksotis yang melibatkan makhluk-makhluk kecil dan lucu? Hewan kecil yang dihias selayaknya manusia dengan menggunakan properti dan melakukan atraksi-atraksi sederhana untuk menghibur. Fenomena ini yang biasa kita kenal sebagai pertunjukan topeng monyet.

Dulu ketika masih duduk di bangku SD, topeng monyet sering dijumpai di komplek pemukiman warga berkeliling mencari penonton untuk dihibur. Namun, kemajuan teknologi dan internet mengalihkan perhatian masyarakat ke dalam dunia maya. Generasi saat ini cenderung mencari hiburan melalui platform seperti Tiktok, Instagram, Youtube, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, pergeseran ini tidak serta merta menggerus eksistensi dari topeng monyet itu sendiri. Nyatanya topeng monyet masih kerap kita jumpai di ruang publik, seperti pada acara car free day.

Topeng monyet merupakan salah satu kesenian tradisional di pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesenian ini sudah ada di Indonesia sejak era penjajahan Belanda pada awal 1890-an dan cukup diminati oleh anak-anak, baik mereka yang berasal dari pribumi maupun Belanda. Bukti dari minat ini bisa dilihat dari koleksi foto-foto pertunjukan topeng monyet yang tersimpan di Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto-foto ini diabadikan oleh Charles Breijer, seorang fotografer yang bertugas di Indonesia dari tahun 1947 hingga 1953. Breijer dengan teliti mendokumentasikan pertunjukan topeng monyet dan kehidupan sehari-hari di sekitarnya.

Hingga kini, topeng monyet sudah tidak sepopuler dulu, tetapi atraksi ini masih menjadi budaya yang menjamur. Padahal, topeng monyet menjadi kontroversi karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap hewan. Untuk melakukan atraksi yang beragam, monyet akan dilatih terlebih dahulu dengan membuat gerakan-gerakan tertentu yang membuat otot, sendi, atau tulang mereka cedera. Pawang atau pemilik monyet umumnya akan menggunakan rantai, cambuk, tongkat listrik, atau kait logam untuk memaksa monyet melakukan apa yang diperintahkan. Mereka mengendalikan monyet-monyet tersebut dengan rasa sakit, takut, dan lapar.

Menurut UU No. 41 Tahun 2014, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Sehingga, eksploitasi yang dilakukan oleh para pemiliknya sudah termasuk pelanggaran Undang-Undang dan menghilangkan esensi seni dari topeng monyet itu sendiri.

Walaupun topeng monyet sudah tidak seeksis dulu, bukan berarti kita bisa diam saja dan menormalisasi kehadiran mereka. Topeng monyet bukan lagi sebuah kesenian yang menghibur, melainkan pelanggaran kesejahteraan hewan demi kepentingan bisnis semata. Penetapan Undang-Undang tentang kesejahteraan hewan tampaknya tidak menunjukkan hasil yang signifikan atas eksistensi topeng monyet. Budaya ini masih terus lestari seiring dengan hewan-hewan yang semakin tereksploitasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image