Isu Politik Identitas dan Polarisasi
Politik | 2024-06-05 15:12:50Politik identitas menjadi isu yang semakin kompleks di Indonesia akhir-akhir ini. Munculnya berbagai isu kontroversial seringkali dikaitkan dengan perbedaan identitas seperti suku, agama, gender, dan latar belakang budaya. Kelompok-kelompok masyarakat dengan identitas yang berbeda cenderung memiliki pandangan politik yang berbeda pula, yang dapat memicu polarisasi dan konflik sosial. Di satu sisi, politik identitas dapat membantu memperjuangkan hak-hak dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang seringkali terpinggirkan. Namun di sisi lain, jika politik identitas dibawa terlalu jauh, dapat mengakibatkan terbentuknya stereotip dan diskriminasi di dalam masyarakat. Identitas yang terlalu dominan dalam wacana politik dapat menggeser fokus dari isu-isu substantif yang seharusnya menjadi perhatian utama, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan pembangunan. Untuk itu, dibutuhkan keseimbangan antara pengakuan identitas kelompok-kelompok yang beragam dengan upaya menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bangsa.
Dialog dan kompromi antarkelompok dengan latar belakang yang berbeda perlu terus dipupuk agar tidak terjadi polarisasi yang dapat merusak stabilitas politik nasional. Pemerintah juga harus dapat berperan sebagai fasilitator yang adil dan bijaksana dalam mengelola isu-isu kontroversial yang berkaitan dengan politik identitas. Pada akhirnya, politik identitas bukanlah sesuatu yang harus dihindari, namun perlu dikelola dengan baik agar dapat berkontribusi positif bagi penguatan demokrasi dan integrasi nasional. Keberagaman identitas harus dipandang sebagai kekuatan, bukan sumber perpecahan, jika dikelola dengan tepat.
Polarisasi politik muncul setiap kali kontestasi politik dimulai, dan hal ini dianggap dapat membelah dan menciptakan segregasi sosial yang dapat menghambat kemajuan Indonesia yang multikultural. Meskipun terdapat kekhawatiran akan polarisasi, penelitian ini menyimpulkan bahwa polarisasi bukanlah hal yang berbahaya bagi keutuhan dan masa depan bangsa serta demokrasi Indonesia. Polarisasi dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi dengan adanya keberagaman gagasan, ideologi, kebijakan, dan teori politik. Heterogenitas pilihan politik elit dan konstituen justru mengkonseptualisasikan konsolidasi demokrasi dalam suksesi kekuasaan. Polarisasi politik di masa lalu bukan merupakan persoalan besar bagi Indonesia pasca era otoriter Suharto. Meskipun terdapat indikasi peningkatan polarisasi sejak 2014, seperti dalam pemilihan presiden dan gubernur, kampanye politik secara umum masih bersifat inklusif. Partai dan politisi juga berkolaborasi melintasi perbedaan ideologis dengan tujuan utama memasuki pemerintahan dan mendapatkan akses ke sumber daya patronase negara.
Polarisasi politik di Indonesia bukanlah fenomena yang harus dianggap berbahaya bagi konsolidasi demokrasi. Hal ini justru merupakan bagian dari proses demokratisasi yang mencerminkan keberagaman dan heterogenitas pilihan politik masyarakat. Upaya untuk mencegah atau meminimalisir polarisasi mungkin tidak diperlukan, selama dinamika politik yang terjadi masih dalam bingkai konstitusional dan inklusif. Isu krusial mengenai politik identitas dan polarisasi yang semakin mengemuka dalam proses pemilihan umum di Indonesia. Fenomena ini patut menjadi perhatian serius berbagai pihak, mengingat dampaknya terhadap stabilitas sosial-politik dan perkembangan demokrasi. Politik identitas, yang memanfaatkan basis agama, etnis, dan kepentingan lokal, semakin marak digunakan oleh elit politik untuk memobilisasi dukungan. Tren ini sangat membahayakan budaya politik dan demokrasi yang sehat, karena cenderung memecah-belah masyarakat. Polarisasi yang dihasilkan oleh politik identitas dapat menciptakan perpecahan dan instabilitas sosial-politik yang mengkhawatirkan.
Kompetisi antar kandidat seharusnya dijalankan secara sehat dan bertanggung jawab, bukan dengan saling menjatuhkan atau memecah-belah masyarakat berdasarkan identitas primordial. Untuk mengatasi permasalahan ini, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama, pendidikan politik bagi masyarakat harus ditingkatkan untuk mendorong kesadaran rasionalitas dalam memilih pemimpin, bukan semata-mata berdasarkan identitas. Masyarakat perlu didorong agar tidak terjebak dalam politik identitas yang sempit. Kedua, para kontestan politik harus memiliki komitmen kuat untuk mengelola isu-isu secara etis dan bertanggung jawab, tanpa menggunakan sentimen identitas demi meraih dukungan. Persaingan yang sehat dan konstruktif harus menjadi prioritas. Ketiga, penguatan kelembagaan demokrasi dan penegakan aturan main yang adil dalam proses pemilihan umum sangat penting. Lembaga penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu harus bekerja secara profesional dan imparsial untuk menjaga integritas proses demokrasi. Melalui upaya-upaya ini, diharapkan spirit persatuan dan kebangsaan dalam proses demokrasi di Indonesia dapat dipulihkan, sehingga kebhinekaan dapat menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan. Kesadaran dan komitmen semua pihak sangat diperlukan untuk mewujudkan demokrasi yang sehat dan inklusif, yang menghargai keberagaman dan menjadikannya sebagai modal sosial untuk kemajuan bangsa.
Polarisasi opini di media sosial menjelang Pemilu 2024 di Indonesia semakin kuat, terutama disebabkan oleh isu politik identitas dan dinasti politik. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) terus menjadi alat yang efektif untuk memicu polarisasi opini di masyarakat. Selain itu, politik dinasti semakin memperkeruh situasi, di mana terdapat persepsi bahwa Presiden Jokowi berusaha meloloskan putranya, Gibran, sebagai calon wakil presiden. Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden—Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud—memanfaatkan sentimen identitas ini untuk menarik dukungan massa, yang semakin memperdalam polarisasi di antara kelompok-kelompok pendukung mereka. Polarisasi opini di media sosial menjelang Pemilu 2024 menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan, dengan potensi menimbulkan disintegrasi bangsa. Pendukung masing-masing pasangan calon saling bertentangan dan menguatkan opini mereka di platform media sosial, menciptakan lingkungan yang semakin terpecah. Kurangnya regulasi yang jelas dalam penggunaan media sosial membuka peluang besar bagi penyebaran isu-isu sensitif yang memicu polarisasi lebih lanjut, tanpa ada pengawasan yang memadai. Untuk meredam polarisasi, perlu ada upaya serius dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat. Penegakan hukum yang tegas terhadap penyebaran hoaks dan isu-isu sensitif di media sosial menjadi langkah penting untuk mengurangi tingkat polarisasi. Selain itu, peningkatan literasi digital masyarakat sangat diperlukan agar mereka tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dapat memecah belah bangsa.
Secara keseluruhan, perhatian serius dari seluruh pihak terhadap polarisasi opini di media sosial menjelang Pemilu 2024 sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan dan stabilitas bangsa. Bahwa isu politik identitas memainkan peran penting dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sebagai gubernur yang berasal dari etnis minoritas Tionghoa dan beragama Kristen, menjadi pusat kontroversi yang melibatkan tuduhan penistaan agama. Isu ini memicu gerakan politik berbasis identitas, yang menguntungkan Anies Baswedan melalui sentimen “jangan pilih pemimpin kafir”.Fenomena ini menunjukkan bahwa politik identitas dapat memiliki dampak yang signifikan dalam konteks politik lokal di Jakarta. Bahwa dalam Pemilu Presiden 2019, isu politik identitas tidak memiliki dampak signifikan yang sama. Ini menunjukkan bahwa isu tersebut mungkin lebih terbatas pada konteks lokal seperti Pilkada DKI Jakarta, dan tidak selalu memiliki pengaruh dalam politik nasional. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika politik identitas mungkin bervariasi tergantung pada tingkat kontestasi politik dan konteks sosial yang lebih luas. Melihat perkembangan terkini dan prospek masa depan, bahwa isu politik identitas masih berpotensi muncul kembali dalam Pilkada DKI Jakarta 2024, terutama jika ada calon dari kalangan etnis minoritas. Namun, dampaknya mungkin tidak sebesar pada Pilkada 2017. Faktor-faktor seperti pergeseran wacana politik, perubahan dinamika sosial, dan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya dapat mempengaruhi kekuatan isu ini. Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kepentingan untuk mempromosikan dialog dan pemahaman antara berbagai kelompok masyarakat di Jakarta. Upaya untuk meredam sentimen berbasis identitas dan memperkuat kohesi sosial akan sangat penting bagi demokrasi dan stabilitas politik di ibukota.
Sumber:
https://ojs.uho.ac.id/index.php/CALGOVS/article/download/35362/17728
https://e-journal.ukri.ac.id/index.php/jkri/article/download/3369/640/20137
https://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jipp/article/download/8944/3158
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIBATIK/article/download/888/674/1799
https://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/muqoddimah/article/download/12463/pdf
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.