Kontroversi Vaksin AstraZeneca: Apa yang Perlu Kita Ketahui?
Edukasi | 2024-06-04 14:50:33Baru-baru ini, vaksin AstraZeneca menjadi perbincangan karena adanya klaim bahwa vaksin tersebut memiliki efek samping pembekuan darah. Orang pertama yang mengklaim efek samping ini adalah Jamie Scott. Menurut kesaksiannya, setelah divaksinasi pada April 2021 ia mengalami pembekuan darah yang berujung pada kerusakan otak. Kondisi ini menyebabkan Scott tidak bisa bekerja.
Vaksin AstraZeneca adalah salah satu vaksin yang dibuat untuk mencegah infeksi Covid-19. Vaksin ini diproduksi oleh perusahaan farmasi asal Inggris, yaitu AstraZeneca yang bekerjasama dengan Universitas Oxford yang dikembangkan sejak Februari 2020. Vaksin AstraZeneca dikembangkan dengan adenovirus simpanse. Setelah disuntikkan, vaksin akan mengajarkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus corona.
AstraZeneca menentang klaim Scott atas efek samping pembekuan darah. Namun, dalam dokumen yang diserahkan pada Pengadilan Tinggi Inggris Februari silam, disebutkan “vaksin dapat menyebabkan TTS dalam kasus yang langka”.
TTS merupakan singkatan dari Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome, yang juga disebut sebagai VITT (Vaccine Immune Thrombosis with Thrombocytopenia). TTS adalah kondisi langka yang melibatkan pembekuan darah (trombosis) dan jumlah trombosit yang rendah (trombositopenia). Kondisi ini dapat menyebabkan penderitanya berpotensi mengalami stroke, kerusakan otak, serangan jantung, emboli paru, dan amputasi. Kejadian TTS ini pertama kali dilaporkan di beberapa negara pada awal 2021 setelah vaksinasi massal dimulai.
Berbagai studi dan data klinis menunjukkan bahwa kejadian TTS sangat jarang. Menurut AstraZeneca dan regulator kesehatan di berbagai negara, insiden TTS terjadi pada sekitar 1 dari 100.000 hingga 1 dari 250.000 dosis vaksin yang diberikan. World Health Organization (WHO) dan European Medicines Agency (EMA) telah menegaskan bahwa manfaat vaksin AstraZeneca dalam mencegah COVID-19 jauh lebih besar dibandingkan risiko efek samping tersebut. Surveilans aktif yang dilakukan oleh berbagai otoritas kesehatan juga tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus TTS setelah vaksinasi.
Dicky Budiman, pakar epidemiologi Universitas Griffith Australia menyatakan bahwa risiko terjadi TTS sangat kecil di 8,1 kasus per 1 juta dosis. Setelah diberikan vaksinasi dosis kedua, risikonya bahkan menurun di 2,3 kasus per 1 juta. Meskipun jumlah kasus ini sangat kecil, efeknya bisa serius dan membutuhkan penanganan medis segera.
Menanggapi beredarnya kabar efek samping berbahaya vaksin covid-19 AstraZeneca tersebut, Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan, tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia atau Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS) setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca di Indonesia.
Komnas PP KIPI di Indonesia, bersama dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), telah melakukan pemantauan ketat terhadap kejadian ikutan pasca-imunisasi. Surveilans aktif dilakukan dari Maret 2021 hingga Juli 2022 di tujuh provinsi yang melibatkan 14 rumah sakit. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan signifikan dalam kejadian TTS setelah vaksinasi dengan AstraZeneca.
Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga hari ini. Berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan laporan kasus TTS. Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) terjadi bila ditemukan penyakit atau gejala antara 4 sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan. Jika terjadi lebih dari itu, maka kemungkinan besar disebabkan oleh penyebab lain.
Sebagai respons terhadap laporan TTS, beberapa negara telah memperbarui pedoman vaksinasi mereka. Beberapa negara merekomendasikan penggunaan vaksin alternatif untuk kelompok usia tertentu yang dianggap lebih berisiko mengalami TTS. Misalnya, di beberapa negara Eropa, vaksin AstraZeneca tidak dianjurkan untuk orang di bawah usia 60 tahun. Langkah-langkah ini diambil untuk meminimalkan risiko dan memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat.
Berdasarkan informasi di atas, vaksin AstraZeneca, seperti vaksin lainnya, dapat menyebabkan efek samping. Namun, penting untuk menempatkan risiko ini dalam konteks yang tepat. Kejadian TTS sangat langka dan langkah-langkah pencegahan telah diambil untuk meminimalkan risiko. Ada baiknya sebelum dilakukan vaksin, masyarakat diberi edukasi mengenai manfaat dan efek samping yang dapat ditimbulkan oleh vaksin tersebut. Selain itu, setelah divaksin, masyarakat sebaiknya diedukasi mengenai anjuran dan pantangan yang dilakukan setelah vaksin. Masyarakat didorong untuk tetap mengikuti program vaksinasi dan berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk informasi lebih lanjut.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.