Maraknya Penguasaan Properti oleh WNA di Bali - Bagaimana Regulasinya?
Hukum | 2024-06-02 17:49:03Pulau Dewata dikenal dengan keindahannya selama puluhan dekade, letaknya di bagian Timur Indonesia menyimpan kekayaan budaya dan alam yang dapat memanjakan siapapun yang berkunjung ke sana. Tidak hanya warga Indonesia yang terkesima dengan keindahan Pulau Bali, tetapi juga turis mancanegara. BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat sebanyak 481.646 turis mancanegara datang ke Bali pada bulan Desember 2023.
Di samping peluang pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan pariwisata, timbul keresahan akibat membeludaknya jumlah turis di Bali, dari sikap yang kurang senonoh hingga akhir-akhir ini kancah internet Indonesia tengah dihebohkan oleh maraknya properti yang dikuasai oleh WNA (Warga Negara Asing) salah satu yang menuai kemarahan dari warganet adalah penggrebekan pabrik narkoba di Villa Sunny Village, Badung, Bali. Pabrik ini dikelola oleh warga negara Rusia selama dua tahun lamanya. Lantas, bagaimana hukum Indonesia mengatur izin properti bagi WNA?
Terdapat berbagai aturan terkait kepemilikan tanah bagi WNA, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Terdapat 8 hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yakni hak milik, hak guna-usaha, guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil, dan hak-hak lain berdasarkan UU serta hak sementara dalam Pasal 53. Hak bersifat sementara mencangkup hak gadai, hak usaha bagi hasil, hal menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Bagi WNA, hanya berlaku Hak Pakai dan Hak Sewa yang diatur dalam Pasal 42 dan 45 UUPA. Maka dapat disimpulkan hak milik atas tanah tidak berlaku bagi WNA dengan beberapa pengecualian.
Sebelum mengajukan Hak Pakai dan Hak Sewa, WNA harus terlebih dahulu memiliki izin tinggal di Indonesia (vide Pasal 2 ayat (2) PP No. 103 Tahun 2015). Dengan memenuhi ketentuan yakni berada di wilayah RI untuk melakukan usaha, berkeja, dan berinvestasi.
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah, hal ini diatur dalam Pasal 20 hingga 27 UUPA. WNA hanya dapat memperoleh hak milik dengan pewarisan secara wasiat atau pencampuran harta akibat perkawinan dengan seorang WNI. Tetapi, diatur pembatalan secara hukum apabila pewarisan terjadi dan tanah jatuh menjadi milik negara berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Aturan tegas terkait pertanahan juga berlaku bagi WNI yakni dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA, menuliskan bahwa WNI yang melepaskan kewarganegaraannya tidak lagi berhak atas hak milik tanah setelah jangka waktu sat tahun sejak hilangnya kewarganegaraan.
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari suatu tanah yang dikuasai negara atau milik perorangan. Untuk mendapat Hak Pakai sebuah tanah maka perlu mendaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk mendapat Sertifikat Hak Pakai sebagai tanda kepemilikan Hak Pakai atas tanah tersebut. Hak Pakai memiliki jangka waktu selama 25 tahun, untuk Hak Pakai yang berada di tanah Negara dapat diperpanjang sedangkan Hak Pakai di atas Hak Milik tidak dapat diajukan perpanjangan setelah berakhirnya jangka waktu Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 49 ayat (1). Hak Pakai berlaku baik untuk tanah maupun bangunan.
Tidak seperti Hak Pakai, Hak Sewa hanya diperuntukkan untuk bangunan dan untuk memperoleh izin hanya perlu menyepakati perjanjian dengan pihak yang menyewakan. Lebih lanjut mengenai Hak Sewa diatur dalam Pasal 145 UUPA.
Dapat disimpukan, hak milik secara utuh atas tanah tidak dapat diberikan bagi seseorang yang berstatus sebagai WNA. Bahkan WNI yang memiliki hak atas tanah di Indonesia harus kehilangan status kepemilikannya apabila berganti kewarganegaraan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.