Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salma Rezanita

Fast Fashion, Ladang Bisnis Tapi Pencemar Lingkungan?

Bisnis | 2024-06-02 09:18:57
Source: LHSTODAY

Pernahkah kalian pernah mendengar istilah Fast Fashion? Mungkin, istilah ini belum familiar ya terdengar di telinga Masyarakat. Fast fashion atau bisa disebut limbah fashion adalah istilah dalam industri tekstil yang memiliki beragam model fashion, menggunakan bahan baku yang berkualitas rendah, dan dijual dengan harga murah. Perusahaan biasanya mempercepat proses produksi agar produk dapat segera tersedia di pasaran, dan seringkali mengorbankan kualitas untuk kecepatan dan keuntungan. Karena itu, industri fast fashion telah menjadi bagian dari gaya hidup modern yang memiliki banyak konsumen.

Sejarah Fast Fashion

Dahulu, sebelum terjadi revolusi idustri, fashion adalah produk mahal karena langsung dijahit dengan tangan dan membutuhkan ketelitian luar biasa. Lalu, pada tahun 1980, revolusi industri memunculkan teknologi mesin jahit yang saat ini telah menjamur dan dipakai dalam produksi fast fashion. Kata fast fashion sendiri pertama kali diperkenalkan oleh New York pada awal 1990-an.

Bisnis Yang Digemari

Model bisnis fast fashion saat ini cukup digemari konsumen lantaran mengikuti trend dan munculnya perasaan FOMO, selain itu juga karena harga yang murah sehingga menimbulkan pembelian impulsif yang menanamkan rasa urgensi saat membeli. Bisnis seperti ini sangat sukses dibuktikan dengan munculnya banyak online shop di e-commerce yang menawarkan harga rendah dengan kemudahan akses. Akibatnya, terjadi peningkatan permintaan produksi pakaian secara keseluruhan diperkirakan mencapai 2% per tahun.

Konsumsi pakaian di seluruh dunia telah meningkat menjadi sekitar 62 juta ton per tahun. Pada tahun 2030, diproyeksikan akan mencapai 102 juta ton. Akibatnya, jumlah pakaian yang diproduksi oleh perusahaan fast fashion hampir dua kali lipat dibandingkan dengan sebelum tahun 2000. Menurut Tinkerlust Impact Report 2022 mengungkapkan bahwa sebanyak 63,46% warga Indonesia lebih suka membeli produk fast fashion karena kemudahan akses dan tampilanya yang cukup fashionable. Padahal, daya konsumsi pakaian masyarakat tidak sebesar produksi massal tersebut.

Sisi Gelap Fast Fashion

Industri Fast Fashion seringkali tidak memperhatikan dampak buruk terhadap lingkungannya dan mengorbankan keselamatan pekerjaanya. Mayoritas industri fast fashion terletak di Asia dan di negara berkembang, seperti Bangladesh, India, bahkan Indonesia. Para pekerja harus bekerja selama 14 jam/hari, upah rendah, tidak ada jaminan asuransi jiwa atau jaminan keselamatan kerja, serta harus bekerja dalam kondisi yang berbahaya untuk memproduksi fast fashion.

Dalam beberapa tahun terakhir, industri fashion telah menerima banyak kritik karena kurangnya perhatian terhadap isu-isu lingkungan. Industri fashion merupakan konsumen utama air yaitu bertanggung jawab atas 20% polusi air industri dari pengolahan dan pencelupan tekstil, menyumbang 35% (190.000 ton per tahun) polusi mikroplastik primer di lautan dan menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah yang sangat banyak (>92 juta ton per tahun) yang sebagian besar berakhir di Tempat Pembuangan Air (TPA).

Di Indonesia, fenomena ini juga sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian yang cukup untuk menyelesaikannya. Dikutip oleh BBC.com, hanya 12 persen sampah fashion yang dapat didaur ulang di seluruh dunia; sebagian besar mencemari lingkungan. Sulitnya proses daur ulang pakaian terkait erat dengan bahan yang membentuk pakaian yang kita kenakan. Pada tahun 2021, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian yang berhasil didaur ulang, menurut data yang dikumpulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Data menunjukkan bahwa limbah fashion tersebut dibuang ke TPA karena tidak dikelola dengan baik.

Nah lalu gimana tuh solusinya?

Solusi Mengatasi Fast Fashion

1. Minimalism outfit

Sebagai pelanggan, kita harus lebih cerdas saat membeli pakaian baru. Meskipun harganya lebih mahal, prioritaskan kualitas. Untuk mengikuti tren baru, gunakan minimalism pakaian dan hindari FOMO. Fashion minimalis adalah gaya yang sederhana dan hanya menggunakan barang-barang penting. Dengan membeli pakaian yang lebih sedikit dan minimalist outfit, kita juga membantu mengurangi permintaannya.

2. Thrifting

Thrifting adalah tempat membeli pakaian bekas untuk membantu mengurangi permintaan pakaian baru dengan menyediakan berbagai model dan harga yang lebih murah. Thrifting dapat menghemat sumber daya dan membuat lebih sedikit limbah.

3. Reuse Your Outfit

Gunakan kembali pakaian-pakaian yang sudah lama dan jika merasa bosan, terapkan mix and match pakaian yang ada sehingga terlihat lebih menarik.

Bisnis fashion saat ini bergantung pada produksi dan penjualan yang terus meningkat, kualitas produk yang rendah, siklus hidup produk yang pendek, dan proses produksi yang cepat. Akibatnya, menimbulkan konsumsi yang tidak berkelanjutan. Sebagai upaya mewujudkan SDGs poin 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dan poin 13 (Penanganan Perubahan Iklim), pola produksi dan posisi yang tidak ramah lingkungan ini harus diubah, dan semua pemangku kebijakan industri fashion harus berkolaborasi untuk membangun model bisnis baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kita sebagai konsumen juga alangkah baiknya untuk mengurangi konsumsi fashion yang berlebihan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image