Sepotong Hati di Atas Piring: Refleksi Kegiatan Makan pada Kultur Asia
Kultura | 2024-05-31 15:24:17“Setelah perjalanan panjangmu yang pasti melelahkan itu / Letakkan sebentar kalau ada beban, kita senang-senang, makan-makan.”
Sepotong larik dari salah satu diskografi milik Sal Priadi, ‘Besok Kita Pergi Makan’, yang dilansir di tahun 2023 tampaknya merepresentasikan beberapa sorotan hangat di media belakangan ini. Mulai dari pencanangan program makan gratis—atau makan bergizi—yang kabarnya sudah dirancang sedemikian rupa oleh calon presiden terpilih, pun diskursus-diskursus lain yang melibatkan salah satu agenda paling krusial bagi manusia, atau makhluk hidup pada umumnya, yakni makan.
Mengaitkan dengan hal tersebut, persoalan makan dipandang dengan cara yang unik dan menghangatkan hati bagi kultur masyarakat Asia. Ivy Kwong, seorang peneliti dan psikoterapis, menyatakan bahwa masyarakat Asia, terutama orang-orang tua mereka, menunjukkan bahasa cinta mereka lewat sajian buatan tangan di atas meja makan.
“Food is the Asian love language. It’s the cut fruit, sharing dishes, and sending you off with containers of leftovers. It’s making you your favorite dish, stuffing you and offering you seconds and thirds and fourths, and asking whether you've eaten yet or worrying if you’re not eating well.”
Presensi kasih sayang para orang tua seakan disertakan di setiap hidangan untuk memulai pagi hingga menutup hari. Kayanya penggabungan bahan masakan dan rempah dengan takaran yang seolah tak punya ukuran layaknya jumlah kasih yang diberikan menjadi suatu bentuk penghargaan yang tak hanya mengisi penuh perut-perut yang menyantap, tetapi juga hati mereka. Bahkan di banyak kultur Asia, pertanyaan, hal sesederhana pertanyaan, “Sudah makan?” yang terlontar di setiap perjumpaan dianggap tak hanya sekadar pertanyaan untuk memastikan pencernaan yang ditanya menerima asupan yang cukup, tetapi juga sebagai salah satu cara menyapa dengan penuh atensi dan afeksi di frasanya, yang bahkan lebih sering diucapkan dibanding ucapan, “Aku cinta kamu” dan kawan-kawannya.
Mengapa demikian? Makanan dan gizi yang ada di dalamnya dianggap esensial di masyarakat ini. Momen-momen penting selalu melibatkan makanan di dalamnya, seperti makan malam besar keluarga, merayakan ulang tahun atau hari-hari penting lainnya, bagaimana makanan di acara pernikahan dapat dijadikan acuan penilaian tamu undangan terhadap pesta pernikahan tersebut, hingga makanan buatan rumah yang dibawa orang tua saat berkunjung, akan melekat dalam memori kolektif dan menjadi pengingat akan eksistensi kasih sayang itu sendiri.
Sejarah lampau tentang kelaparan juga memegang peran penting dalam pembentukan sudut pandang ini. Negara-negara Asia seperti Cina, Vietnam, dan Indonesia telah menghadapi banyak tragedi kelaparan yang telah menandai psikologi sosial-budaya mereka. Salah satu contoh pilu tercermin pada Bencana Kelaparan Besar Tiongkok yang berlangsung dari tahun 1959 hingga 1961. Selama masa sulit itu, pemerintah menerapkan penghematan makanan secara ketat dan mendistribusikannya secara hemat, sekali sebulan, berdasarkan jumlah anggota keluarga. Dalam kondisi itu, ungkapan cinta melalui lisan mau tak mau harus tergeser oleh kebutuhan yang lebih mendesak untuk menyediakan makanan demi bertahan hidup.
Periode-periode itu yang kemudian membuat masyarakat komunitas ini menanamkan pemikiran untuk memastikan kelangsungan hidup orang yang mereka cintai melalui berbagi makanan. Seiring waktu, persepsi ini kian berkembang semakin kasual dan mengubah konsep cinta dalam masyarakat ini dari yang berfokus pada pengakuan lisan menjadi berfokus pada tindakan, khususnya tindakan pelayanan seperti menyediakan makanan.
Selain pelayanan berupa penyediaan makanan, waktu-waktu makan juga dianggap sebagai waktu-waktu emas untuk berbagi. Baik isi piring hingga isi kepala, waktu makan bersama dimanfaatkan banyak keluarga untuk bercengkrama, berkisah tentang apa saja yang terjadi satu sama lain pada waktu belakang, juga merancang tujuan-tujuan di masa mendatang.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern dan arus yang berpacu semakin cepat, momen makan bersama mungkin terasa semakin sepele dan langka. Namun, di sinilah letak esensinya. Meluangkan waktu untuk duduk bersama, berbagi hidangan, dan bercengkrama, bukan hanya memperkaya tubuh akan gizi, tetapi juga menghangatkan hati dan memperkuat ikatan kasih. Sebab dalam setiap suapan, terkandung rasa cinta dan kasih sayang yang tak ternilai harganya.
Jadi, sudahkah kamu makan hari ini?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.