Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Didin Kamaludin

Pembagian Hadits Secara Kuantitas

Agama | Friday, 31 May 2024, 13:39 WIB

Andi Setiawan

IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Indonesia

[email protected]

Bagas Suprastyo

IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Indonesia

[email protected]

Didin Kamaludin

IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Seluruh umat Islam telah memahami bahwa hadits Rasulullah SAW adalah pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Atau kata lain hadits nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping Al-Qur’an. Artikel ini membahas tentang memahami hadits ditinjau dari segi kuantitasnya. Melalui pembahasan ini, kita dapat memahami bahwa hadist bukanlah sebuah transformasi yang keluar dari jalur hukum utama yakni Al-Quran berdasarkan apa yang akan dijelaskan disini. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research). Tujuan dari penelitian ini agar pembaca mengetahui dan memahamai hadits ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni hadits mutawatir dan ahad, serta syarat-syarat dan pembagian hadits tersebut.

Kata Kunci : Hadits, Mutawatir, Ahad.

Pendahuluan

Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran, yang mana telah dibukukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, Khalifah kelima Bani Umayyah. Sedangkan sebelumnya hadits-hadits Nabi SAW masih terdengar dalam ingatan para sahabat untuk kepentingan dan pegangan mereka sendiri. Umat Islam di dunia harus menyadari bahwa hadits Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup yang kedua. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat Al-Qur’an secara mutlak dan secara jelas, hal ini membuat para muhaditsin sadar akan perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan al-hadits.

Ditinjau dari segi kuantitas atau dari segi jumlah kuantitasnya, beberapa Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ini, di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur dan ahad, serta ada juga yang membaginya menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan ahad, yang membagi hadits menjadi dua ini, memasukkan hadits masyhur ke dalam hadits ahad yang diikuti kebanyakan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi bagian dari hadits ahad.

Sedangkan yang menjelaskan bahwa hadits masyhur itu dapat berdiri sendiri adalah pendapat dari sebagian Ulama Ushul. Dan menurut Ulama Hadits juga, hadits dari segi kuantitas ini cukup dibagi menjadi dua saja, yakni mutawatir dan ahad. Demikian juga yang telah dikatakan oleh Syuhudi Ismail. Sehingga pada garis besarnya hadits dibagi menjadi 2 macam, yakni mutawatir dan ahad. Inilah pembagian yang lebih praktis karena pada dasarnya hadits masyhur tercakup dalam hadits ahad.[1] Dalam artikel ini penulis akan membahas lebih dalam mengenai pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya yakni hadits mutawatir dan ahad. Terakhir akan ditutup dengan beberapa kesimpulan.

Pembahasan

Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis di tinjau dari segi kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas di sini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adalah suatu hadis. Para ahli ada yang mngelompokan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.

Pendapat yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadis ahad, di anut oleh sebagian ulama ushul di antaranya adalah Abu Bakar al-Jassas (305-370 H). Sedang ulama golongan ke dua di ikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka hadis masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu mutawatir dan ahad.

A. Hadits Mutawatir

1. Pengertian Hadits Mutawatir

Dari segi bahasa kata mutawatir berasal dari kata “Tawaatur” yang berarti datangnya satu setelah satu dengan adanya jarak antara keduanya, atau “at-tatabu” yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.[2]

Hadits mutawatir dari segi terminologis mempunyai banyak definisi. Menurut Nurudin Itr hadits mutawatir adalah: “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada panca indera.”[3]

Sedang menurut Ajjaj al Khatib, hadits mutawatir adalah: “hadits yang diriwayatkan oleh sebagian besar perawi yang menurutadat mereka tidak mungkin bersepakat dusta dari masing-masing mereka mulai dari awal sanad sampai akhir sanad.”[4]

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

2. Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Hadits yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebuut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.[5] Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan perawi. Apabila berita itu merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

b. Diriwayatkan oleh perawi yang banyak.

c. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. Perbedaan itu adalah dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.

2) Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

3) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang kafir sejumlah 200 orang (dalam surat Al-Anfal ayat 65).

4) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah QS. Al-Anfal ayat 6.

d. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.

Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang mashur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhbri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti (911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

3. Faedah Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

4. Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 2 macam, yaitu:

a. Mutawatir Lafdzi

Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya. Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah sebagaimana hadits dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW yang berbunyi:

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار. رواه البخارى

“barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)

b. Mutawatir Maknawi

Hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang berlainan buni dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum.8 Jadi hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.

Contoh hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang menerangkan tentang kedudukan niat dalam perbuatan. Hadits-hadits smacam ini banyak sekali meskipun terdapat dalam berbagai kasus. Contoh lain hadits Nabi saw yang berbunyi:

ما رفع صلي هللا عله وسلم يديه حتي رؤي بياض إبطيه في شيئ من دعائه إال في اإلستسقاء )متفق عليه)

“Rasulullah saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga Nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim).

B. Hadits Ahad

1. Pengertian Hadits Ahad

Dari segi bahasa kata “ahad” berarti satu. Maka khabar ahad adalah khabar (berita) yang diriwayatkan oleh satu orang perawi.[6]

Menurut istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara lain adalah:

ما رواه ثالثة فاكثرولم يصل درجة التواتر

“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir.”

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

ما لم تبلغ نقلته في الكثيرة مبلغ البر المتواتر سواء كان المخبر واحد أو إثنين أو ثالثة أو أربعة أو خمسة إلي غير ذلك من االاعداد التي التشعر بأن الخبر دخل بها في خبر المتواتر

“Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberikan pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.”

Dengan demikian hadis ahad secara terminologi adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang terdapat pada hadis mutawatir, yaitu mencakup hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi pada satu thabaqah atau pada semua thabaqah dan diriwayatkan oleh dua perawi atau lebih tetapi tidak mencapai jumlah perawi tingkat mutawatir.

2. Pembagian Hadits Ahad

a. Hadits Masyhur

Masyhur berasal dari kata شهر yang berarti اعلن yang berarti mengumumkan. Secara terminologi hadis masyhur adalah:

ما رواه ثالثة فاكثرولم يصل درجة التواتر

“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun belum mencapai derajat mutawatir”.[7]

Kemasyhuran sebuah hadis tidak mesti mencakup semua kalangan ulama. Hadis dapat dapat saja masyhur di kalangan ulama tertentu, dalam hal ini hadits massyhur dibedakan minimal menjadi empat macam:

a) Masyhur di kalangan ahli hadis, contohnya:

عن انس بن مالك : قنت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم شهرا بعد الركوع في صالة الصبح يدعو على رعل وذكوان (رواه البخاري ومسلم)

“Rasulullah saw melakukan qunut selama satu bulan setelah ruku’, untuk mendo’akan hukuman atas (kejahatan) penduduk Ri’l dan Dzakwan”. (HR Bukhori dan Muslim).

b) Masyhur di kalangan fuqoha, contoh yang artinya:

“Nabi saw bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).

c) Masyhur di kalangan ulama Ushul Fiqih, contoh yang artinya:

“Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya Allah tidak menghukum umatku karena perbuatan khilaf, lupa, dan perbuatan karena terpaksa.” (HR Ibn Majah).

d) Masyhur di kalangan ulama hadis, fuqoha, ulama ushul fiqih, dan di kalangan awam, contoh yang artinya:

“Rasulullah saw bersabda: Orang muslim adalah yang tidak mengganggu orang-orang muslim lainnya dengan kata-kata dan perbuatannya dan orang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diharamkan Allah.” (HR Bukhori dan Muslim).

b. Hadits Aziz

Dari segi bahasa kata aziz adalah bentuk sifat musyabbahah dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang. Bisa juga berasal dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti kuat atau keras (sangat). Suatu aziz dinamakan dengan hadis aziz adakalanya karena sedikitnya perawi.

Menurut istilah, hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang meskipun hanya pada satu tingkatan (generasi) saja, kemudian setelah itu diriwayatkan oleh banyak orang. Jadi bisa saja sanad sebuah hadis ‘aziz terdiri dari dua orang pada setiap generasi, atau hanya pada satu generasi dari sanad hadis itu yang terdiri dari dua orang, sedang pada generasi sesudahnya terdiri dari banyak orang.[8]

Contoh hadis ‘aziz adalah:

عن أبي هريرة رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال فوالذي نفسى بيده ال يئمن أحدكم حتى اكون أحب إليه من والده وولده (رواه البخاري ومسلم)

“Rasulullah saw bersabda: Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah beriman orang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya dari pada orang tua dan anaknya.” (HR Bukhori dan Muslim). Hadis di atas dikatakan ‘aziz karena pada tingkatan sahabat, hadis ini diriwayatkan oleh dua orang yakni Anas bin Malik dan Abu Hurairah, dan dari anas ini diriwatatkan oleh dua orang tabi’in, yaitu Qatadah dan Abdul Azis bin Syuhaib, dan dari qatadah hadis ini diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id, sedangkan dari Abdul Azis hadis ini diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Ulayah dan Abdul Waris, setelah itu diriwayatkan oleh banyak orang.

c. Hadits Gharib

Kata gharib, secara bahasa merupakan bentuk sifat musyabbahah dari kata gharaba’ yang menyendiri. Juga bisa berarti jauh dari tanah airnya. Disamping itu juga bisa diartikan asing, pelik atau aneh. Dengan demikian hadis gharib dari segi bahasa adalah hadis yang aneh. Sedangkan dalam istilah Ilmu Hadis berarti yaitu hadis yang dalam meriwayatkannya seorang perawi menyendiri (tidak ada orang lain yang ikut meriwayatkannya). Definisi ini memungkinkan kesendirian seorang perawi baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad, bahkan mungkin hanya pada satu tingkatan sanad saja.

Hadis gharib dibagi menjadi dua macam:

a.) Gharib Mutlak, yaitu:

ما ينفرد برويته شخص واحد في أصل سنده

“Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi pada asal sanad” (tingkatan sahabat).

Contoh hadis gharib mutlak adalah:

إنما الاعمل بالنيات (أخرجه شيخان)

“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab saja di tingkat sahabat, sedangkan sesudahnya diriwayatkan banyak orang.

b.) Gharib Nisbi, yaitu:

ما كانت الغربة في أثناء سنده

“Hadits yang kesendirian perawinya ada di pertengahan sanad.”

Maksudnya, hadis gharib nisbi ini pada mulanya diriwayatkan oleh beberapa orang pada tingkat sahabat, namun pada pertengahan sanad, terdapat tingkatan perawinya hanya satu orang.

Contoh hadis gharib nisbi adalah:

حدثنا أبو أحمد الزبيري حدثنا مالك عن ابن شهاب أن أنس بن مالك أخبره أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم دخا مكة وعلى رأسه مغفرفقيل له : إن ابن خطل متعلق بأستار الكعبة فقال : اقتلوه (رواه أحمد)

“Bahwasanya Rasulullah saw memasuki kota Mekah dan di atas kepalanya ada penutup kepala.” (HR Ahmad bin Hambal).

Dalam sanad hadis di atas, hanya Malik yang menerima hadis tersebut dari al-Zauhri.

Hadis dikatakan gharib nisbi dapat juga didasarkan atas beberapa hal, yaitu:

a. Hanya seorang perawi tertentu yang menerima hadis itu dari perawi tertentu.

b. Hanya penduduk kota tertentu yang meriwayatkan hadis tersebut.

c. Hanya penduduk kota tertentu yang meriwayatkan hadis tersebut dari penduduk kota tertentu pula.[9]

C. Faedah Hadits Ahad

Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits ahad adalah hujjah Syari’ah yang harus diterima dan diamalkan oleh imat Islam selama hadits tersebut memenuhi beberapa kriteria dan syarat tertentu. Dan kalau ternyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa pertimbangan yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”, kalua maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat i’tiqadkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kesimpulan

Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada panca indera. Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan yaitu: Hadits yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebuut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera, diriwayatkan oleh perawi yang banyak, bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta, seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir ada dua, yaitu mutawatir lafdzi dan maknawi.

Hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang terdapat pada hadis mutawatir, yaitu mencakup hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi pada satu thabaqah atau pada semua thabaqah dan diriwayatkan oleh dua perawi atau lebih tetapi tidak mencapai jumlah perawi tingkat mutawatir. Pembagian hadits ahad ada tiga, yaitu pertama, hadits masyhur, hadits masyhur sendiri dibedakan minimal menjadi empat macam: masyhur di kalangan ahli hadits, kalangan fuqoha, kalangan ulama ushul fiqih, serta kalangan ulama ahli hadits, fuqoha, ulama ushul fiqih dan dikalangan awam. Kedua, hadits aziz. Ketiga, hadits gharib, hadits gharib dibedakan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.

Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad Saw benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir. Sedangkan, Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits ahad adalah hujjah Syari’ah yang harus diterima dan diamalkan oleh imat Islam selama hadits tersebut memenuhi beberapa kriteria dan syarat tertentu. Dan kalau ternyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.

Referensi

Al-Khatib, M. ‘Ajjaj. Ushul al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Nur Ahmad Musafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Ichwan, Mohammad Nor. Studi Ilmu Hadis, Semarang: RaSAIL Media, 2007.

Itr, Nuruddin. Ulumul Hadis 2, Terj. Mujiyo, Bandung: Rosdakarya, 1997.

K Rofiah, “Studi Ilmu Hadis,” Yogyakarta: Perpustakaan Nasional, no. Query date: 2023-05-21 15:29:28 (2018).

M Al Shabbag, “Al-Hadits Al-Nabawi,” Musthalahul, Balaghah,’Ulumuh, no. Query date: 2023- 05-21 15:32:24 (1972).

M Saputra, “Ilmu Hadis,” Jakarta: Raja Grafindo Persada, no. Query date: 2023-05-21 15:27:51 (2006).

MA al-Khatib, “Ushul al-Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis. terj,” M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya , no. Query date: 2023-05-21 15:34:11 (2007).

Tahhan, Mahmud. Tasyir Musthalah Hadis, Beirut: Dar al-Qur’an Al-Karim, 1979

Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadis, Terj. A. Muhtadi Ridwan, Malang: UIN Malang Press, 2007.

Zuhri, Saifuddin. Jurnal. Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat Dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadis Ahad, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.

[1] Saifuddin Zuhri, Jurnal. Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat Dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadis Ahad, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 55.

[2] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 89.

[3] Nuruddin Itr, Ulumul Hadis 2, Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hlm. 196.

[4] M. ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Nur Ahmad Musafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 271.

[5] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, Terj. A. Muhtadi Ridwan, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 32.

[6] M Al Shabbag, “Al-Hadits Al-Nabawi,” Musthalahul, Balaghah,’Ulumuh, no. Query date: 2023-05-21 15:32:24 (1972). hal. 21.

[7] MA al-Khatib, “Ushul al-Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis. terj,” M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya , no. Query date: 2023-05-21 15:34:11 (2007). hal. 302.

[8] M Saputra, “Ilmu Hadis,” Jakarta: Raja Grafindo Persada, no. Query date: 2023-05-21 15:27:51 (2006). hal. 116.

[9] K Rofiah, “Studi Ilmu Hadis,” Yogyakarta: Perpustakaan Nasional, no. Query date: 2023-05-21 15:29:28 (2018). hal. 124

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image