Pedang Bermata Dua: Kesadaran Kesehatan Mental
Humaniora | 2024-05-29 18:43:11Sekarang adalah era informasi tersebar serba cepat dan mudah diakses oleh berbagai kalangan usia, tak terkecuali tentang kesehatan mental. Situs dan akun media sosial yang menyebarkan informasi tentang kesehatan mental berlimpah. Fenomena ini adalah sebuah pedang bermata dua bagi masyarakat Indonesia; pembahasan tentang kesehatan mental tidak menjadi hal yang tabu, tetapi jika tidak dipilah informasinya, akan berdampak buruk bagi penerima.
Kesehatan mental meliputi kesehatan emosional, psikologis, dan sosial seorang manusia. Hal ini juga membantu menentukan cara kita menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan yang rasional. Menjadi sehat secara emosional dapat meningkatkan produktivitas dan efektivitas dalam aktivitas seperti bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Ini memainkan peranan penting dalam kesehatan hubungan manusia, dan memungkinkan mereka beradaptasi dengan perubahan dalam hidupnya dan mengatasi kesulitan.
Akan tetapi, ada saatnya mental seseorang terguncang dan menjadi sakit. Generasi-generasi sebelumnya memiliki kecenderungan untuk memendam emosi atau menghiraukan adanya kesehatan mental. Generasi muda sekarang lebih sadar tentang keberadaan kesehatan mental dan mencari bantuan profesional ketika merasa ada yang tidak pas. Bahkan pencarian ahli tidak menunggu setelah penyakitnya sudah parah, ada yang ke psikolog untuk konsultasi rutin sebagai tindakan preventif. Biaya ke psikolog atau psikiater sudah dibiayai oleh BPJS sehingga memudahkan masyarakat Indonesia untuk mencari bantuan.
Meskipun demikian, informasi yang tidak disaring terlebih dahulu akan menyebabkan dampak yang sangat buruk. Gejala-gejala penyakit mental dan cara mengenali seseorang dengan penyakit mental sudah beredar luas di media sosial. Dengan adanya informasi yang melimpah dan kurangnya kemampuan dalam seleksi, banyak terjadi kasus self-diagnosis dan pikiran bahwa mempunyai penyakit mental itu ‘keren’ dan ‘trendy’ karena seakan-akan banyak yang memilikinya.
Self-diagnosis dapat terjadi karena banyaknya informasi dan penelitian ilmiah yang tidak berbasis bukti yang tersebar di internet, kegelisahan dalam melakukan penelitian dan konsultasi profesional, rasa ingin tahu dan romantisme tentang kesehatan mental di kalangan generasi muda. Dalam beberapa kasus, self-diagnosis dapat mengancam jiwa. Tumor otak dapat menyebabkan perubahan kepribadian, depresi, dan psikosis. Gangguan panik yang didiagnosis sendiri dapat menyebabkan Anda melewatkan diagnosis masalah jantung atau tiroid.
Seseorang dapat melewatkan sesuatu yang dia sendiri tidak melihatnya. Misalnya, orang itu mungkin merasa seolah-olah dia dilumpuhkan oleh kecemasan, sehingga membuat dia yakin bahwa dia menderita gangguan kecemasan. Meskipun hal ini mungkin terjadi, gangguan kecemasan sering kali menutupi gangguan depresi berat. Sebanyak dua pertiga orang yang mencari pengobatan karena kecemasan juga menderita depresi.
Mahasiswa Universitas Airlangga telah diberi bekal tentang berpikir kritis dari mata kuliah Logika dan Pemikiran Kritis, serta cara mencari sumber yang kredibel di mata kuliah Data dan Pustaka. Berangkat dari bekal tersebut, saya sebagai mahasiswa Universitas Airlangga dapat memilah informasi dengan bijak mengenai kesehatan mental. Informasi yang diberikan tidak sepenuhnya buruk, tetapi ada yang kurang akurat.
Selain itu, sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, saya perlu mengedukasi orang-orang di sekitar saya yang ada indikasi melakukan self-diagnosis dan memberi tahukan dampak buruknya agar tidak terjadi kepadanya. Dari lingkup yang kecil kemudian yang besar, angka misdiagnosis dan romantisasi penyakit mental di kalangan generasi muda Indonesia dapat ditekan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.