Indonesia Darurat Fatherless
Parenting | 2024-05-28 23:42:04Oleh SAFFANI WARAHAPSARI, Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Belakangan ini, media sosial dihebohkan dengan adanya isu fatherless. Hal ini, dapat kita lihat terkait maraknya kejadian yang dilatar belakangi oleh faktor kurangnya peran seorang ayah terhadap keluarganya terutama bagi sang anak. Maraknya fenomena ini didukung juga oleh data dari sebuah riset yang menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga negara fatherlees di dunia.
Fatherless merupakan kondisi di mana kurangnya kehadiran sosok ayah dalam kehidupan seorang anak, baik secara fisik atau psikologis dalam sebuah keluarga (Dwinanda, 2023). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menyatakan, maraknya fenomena fatherless sangat mempengaruhi ketahanan keluarga Indonesia.
Munculnya fenomena fatherless dikalangan masyarakat, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kematian ayah, perceraian orang tua, atau hilangnya rasa tanggung jawab ayah kepada sang anak. Secara fisik, fatherless berarti anak tidak memiliki ayah yang tinggal bersamanya. Anak tersebut mungkin tinggal bersama ibu, nenek, atau pengasuh lainnya. Sedangkan secara psikologis, fatherless memiliki arti bahwa anak tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Seperti, hilangnya keterlibatan peran Ayah dalam pengasuhan anak, atau anak mungkin tidak merasa memiliki kedekatan dengan ayahnya.
Satu hal yang pasti, fenomena fatherless ini muncul sebagai akibat dari peran ayah yang hilang dalam proses pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Salah satunya karena peran gender tradisional yang masih melekat di masyarakat Indonesia, yang memposisikan bahwa seorang ibu bertanggung jawab atas urusan domestik dan ayah hanya sebagai penanggung jawab nafkah. Padahal, baik ayah maupun ibu memiliki tanggung jawab yang sama dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak.
Oleh sebab itu, keterlibatan ayah dalam perkembangan psikologis anak dan kehidupan sehari-sehari seorang anak sangatlah penting. Pada segi perkembangan kognitif, ayah seharusnya memberikan dukungan akademik terhadap anak sehingga berdampak positif untuk motivasi prestasi akademiknya. Pada segi perkembangan emosi dan kesejahteraan psikologis, seorang ayah seharusnya memberikan kehangatan yang membantu meminimalisir masalah perilaku yang terjadi pada anak. Pada segi perkembangan sosial, anak yang memiliki kedekatan dengan ayahnya akan mencegah terjadinya konflik antar teman sebaya. Pada segi kesehatan fisik, anak yang tidak tinggal seatap dengan ayahnya mayoritas mengalami masalah kesehatan (Puspitarini, & Zahrohti, 2022).
Di sisi lain, penyebab terjadinya fatherless, yakni angka perceraian yang tinggi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perceraian di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, tercatat ada 583.266 kasus perceraian di Indonesia. Angka ini meningkat 15,31% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Akibat dari perceraian ini sang anak akan mengalami rasa kehilangan salah satu orang tuanya, yaitu ayah atau ibu. Hal ini terjadi karena setelah perceraian, kedua orang tua biasanya akan tinggal secara terpisah, sehingga anak harus menemui secara bergantian atau bahkan pada anak yang terpaksa tinggal bersama kerabat lainnya, orang tua hanya menyempatkan waktu bertemu dengan anak hanya disaat waktu luang saja. Akibatnya, anak akan kehilangan waktu bersama orang tuanya.
Kondisi fatherless tentu bukanlah kondisi yang diinginkan dalam pola pengasuhan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa ketiadaan ayah dalam mengasuh anak, akan menambah dampak yang tidak baik dari perkembangan remaja seperti halnya dalam kenakalan remaja dan penggunaan minuman keras (Alfasma et al., 2023). Dampak buruk dari fatherless ini, anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah lebih rentan mengalami masalah emosional, seperti kecemasan, depresi, dan perilaku antisosial. Hal ini karena, anak yang tumbuh tanpa adanya ayah tidak mendapatkan sosok yang memberi mereka sumber kasih sayang, dukungan, dan bimbingan.
Dalam psikologi, kecemasan dan depresi adalah dua masalah emosional yang paling umum dialami oleh anak yang tumbuh tanpa ayah. Anak yang mengalami kecemasan dan depresi mungkin merasa cemas, takut, atau sedih. Di sisi lain, anak juga mungkin mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, belajar, dan bergaul dengan teman sebaya.
Kedua, anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah juga lebih rentan mengalami masalah perilaku yang serius, seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, dan kriminalitas. Hal ini karena anak yang tumbuh tanpa ayah tidak memiliki sosok yang dapat dijadikan sebagai panutan dan contoh perilaku yang baik. Dengan demikian, anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, lebih rentan mengalami kenakalan remaja, karena mereka tidak memiliki sosok ayah yang dapat mengawasi dan mengarahkan.
Ketiga, kerap kali terjadi terhadap anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah ialah mengalami masalah pada akademiknya, seperti prestasi akademik yang rendah, nilai ulangan yang kian menurun, hingga menyebabkan mereka mengabaikan pendidikan. Hal ini karena, anak yang tumbuh tanpa ayah tidak memiliki sosok yang dapat membantu mereka dalam belajar dan mengembangkan keterampilan akademik yang dimilikinya. Lebih dari itu, anak yang tumbuh tanpa ayah juga mungkin memiliki masalah dengan motivasi, disiplin diri dan sehingga berdampak pada pengembangan prestasi akademiknya.
Untuk menghindari berbagai masalah perkembangan anak, kehadiran ayah sangatlah diperlukan, hal ini bertujuan memberi pengaruh terhadap perkembangan individu mereka. Tak hanya untuk anak laki-laki, peran tapi juga diperlukan bagi anak perempuan. Seperti yang sering kali diungkapkan oleh masyarakat kita, bahwa ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Menurut psikolog klinis anak dan remaja Monica Sulistiawati, MPsi, Psikolog, anak yang memiliki kedekatan emosional dengan ayah memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Selain itu, mereka juga memiliki tingkat resiliensi dan kemampuan memecahkan masalah yang baik. Monica menambahkan, anak yang memiliki kemampuan memecahkan masalah yang baik dapat beradaptasi dalam situasi yang kurang menyenangkan. Sehingga, tingkat depresinya jauh lebih rendah.
Hidayat (2018) mengungkapkan bahwa memiliki hubungan yang baik dengan ayah lebih membantu dalam pembentukan kontrol diri sang anak saat remaja, yang tentunya akan sangat memiliki peranan besar ketika mereka dewasa kelak. Seorang anak dengan kontrol diri yang kuat cenderung berperilaku tepat di semua situasi yang dihadapi.
Menjadi seorang ayah yang baik bukan berarti harus menjadi superman atau superdad. Memiliki banyak waktu untuk anak bisa menjadikan jalan untuk membangun ikatan yang kuat kepada mereka. cara selanjutnya yang paling mudah untuk mencegah terjadinya fatherless adalah dengan memberikan telinga untuk mendengarkan kisah dari anak-anak, memberikan kehangatan melalui ciuman, pelukan, atau bentuk kasih sayang lainnya. Untuk ayah dan anak yang sedang mengalami hubungan jarak jauh, komunikasi menjadi kunci utamanya. Di era serba digital ini, ayah dapat menggunakan aplikasi teleconference untuk menghabiskan waktu bersama anak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.