UKT Bukti Nyata Komersialisasi Kapitalisasi Pendidikan
Politik | 2024-05-28 14:58:20UKT ; Bukti Nyata Komersialisasi & Kapitalisasi Pendidikan
Salah satu masalah yang lagi viral di dalam negeri saat ini adalah tentang Uang Kuliah Tunggal ya UKT. Sebagai warga yang alhamdulillah pernah merasakan kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya, sekitar 29 tahun lalu seingat kami saat itu yang namanya SPP kuliah per semester hanya sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Sangat kontradiktif dengan fakta UKT di sebagian besar PTN terbaik saat ini yang luar biasa meningkatnya sampai berpuluh kali lipat. Bervariasi antara Rp 500.000,- – bahkan mencapai puluhan dan ratusan juta tergantung masing – masing fakultas maupun PTN nya.
Meskipun berita terakhir kenaikan UKT tahun 2024 ini dibatalkan (https://nasional.tempo.co/read/1872716/nadiem-makarim-batalkan-semua-kenaikan-ukt-tahun-ini?utm_source=whatsapp-channel) namun sejatinya UKT tetap mahal bagi sebagian besar masyarakat, apalagi di tengah mahalnya semua harga kebutuhan pokok, sembako, bahan bakar, dll. Mengapa biaya kuliah di PTN menjadi sangat mahal ? Padahal dahulu kala salah satu alasan mahasiswa memilih kuliah di PTN adalah karena harganya yang relative terjangkau. Tetapi saat ini..biaya kuliah di PTN malah jauh melampaui biaya kuliah di kampus – kampus swasta.
Bagaimana ceritanya biaya kuliah di PTN bisa jadi semahal sekarang ini ? Mari kita cek beritanya melalui link berikut ini : (https://nasional.tempo.co/read/1871139/polemik-kenaikan-ukt-unjuk-rasa-mahasiswa-hingga-penjelasan-nadiem-makarim?utm_source=whatsapp-channel) berikut isinya :
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 21 Mei 2024. Rapat tersebut membahas kebijakan pengelolaan anggaran pendidikan bagi PTN (Badan Hukum, BLU, dan Satker), dan pembahasan implementasi KIP Kuliah dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal atau UKT dan uang pangkal perguruan tinggi negeri, terutama yang berstatus badan hukum atau PTNBH, terus mendapat sorotan. Kenaikan UKT ini mendorong aksi unjuk rasa mahasiswa. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR pada Selasa, 21 Mei 2024, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim telah menanggapi soal kenaikan UKT tersebut.
1. Mogok Kuliah
Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia atau BEM SI Herianto menyatakan, aliansi mahasiswa ini mengancam akan mogok kuliah untuk menuntut revisi aturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, soal UKT.
"Kami dari BEM SI akan turun aksi sampai tuntutan kami diterima," kata Herianto saat dihubungi, Rabu 22 Mei 2024.
BEM SI juga kecewa dengan pernyataan yang disampaikan Nadiem Makarim. Nadiem mengatakan kenaikan UKT hanya berlaku untuk calon mahasiswa baru 2024. Padahal, menurut Herianto, pernyataan ini sebagai tanda UKT akan mengalami kenaikan bagi mahasiswa baru di tahun berikutnya. "Ini yang tak kami inginkan," kata Harianto.
2. Penjelasan Nadiem Makarim
Saat rapat kerja bersama Komisi X DPR, Nadiem menjelaskan, peraturan tersebut hanya berlaku pada mahasiswa baru dan tidak berlaku bagi mahasiswa yang sudah belajar di perguruan tinggi.
“Ini hanya akan berlaku untuk mahasiswa baru dan sama sekali tidak akan berdampak pada mahasiswa dengan ekonomi rendah,” katanya, Selasa, 21 Mei 2024. Nadiem mengklaim aturan tersebut hanya akan berdampak terhadap mahasiswa yang memiliki latar belakang ekonomi yang tinggi.
Kenaikan biaya UKT di berbagai kampus terjadi imbas dari diterapkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kemendikbud.
3. Komitmen Nadiem Makarim
Nadiem memastikan akan menghentikan kenaikan UKT yang dianggap tak wajar. "Saya berkomitmen untuk memastikan. Karena, tentunya harus ada rekomendasi dari kami untuk memastikan bahwa lompatan-lompatan yang tidak akan masuk akal atau tidak rasional itu akan kami berhentikan.”
Untuk mahasiswa yang kurang mampu, ia menyebut KIP Kuliah menjadi solusi yang ditawarkan.
4. Peninjauan Ulang
“Mahasiswa yang keberatan dengan penempatan kelompok UKTnya, misalnya karena perubahan kemampuan ekonomi atau hasil penetapan tidak sesuai dengan fakta kondisi ekonominya, bisa mengajukan peninjauan ulang sesuai prosedur," kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Abdul Haris di Gedung Nusantara 2 DPR RI Jakarta pada Selasa, 21 Mei 2024.
5. Kritik dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai ucapan Nadiem dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR hanya kata-kata manis belaka. Menurut Ubaid, pemberlakuan UKT hingga saat ini masih belum berkeadilan dan jauh dari prinsip inklusif. “Pernyataan (Nadiem) ini hanya klaim sepihak dan sangat mudah dipatahkan,” seperti tertulis dalam keterangan Ubaid pada Rabu, 22 Mei 2024.
Kami juga mengambil cuplikan dialog redaksi TEMPO dari link beikut ini https://youtu.be/8HX8nm2fO_Y?si=YbEYyz9Yt0ZH7HyU :
Mencermati polemik UKT tersebut, ini tidak terlepas dari adanya mindset Sang Menteri yang ingin melibatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan tinggi yang menyatakan bahwa di Indonesia banyak orang yang kaya dan mampu untuk membiayai pendidikan tinggi, maka dibukalah ruang golongan tinggi untuk orang tua membayar lebih mahal , gol 3 – 8. Sedangkan paradigma Komisi X DPR adalah supaya Rakyat menempuh Pendidikan dengan murah, berkualitas dan aksesnya mudah, bukan semakin tinggi semakin mahal. Ada gap antara Nadiem dan komisi X DPR. Yang menjadi problem adalah kata “mampu” yang menjadi seolah – olah semuanya mampu, padahal banyak juga faktanya orang tua terpaksa berhutang demi bisa membayar biaya kuliah anaknya.
Ada upaya komersialisasi pendidikan dari Kemendikbud, bahkan idenya muncul sejak sekitar tahun 1999 – 2000. Lalu kemudian dibatalkan di MK. Lalu kemudian hidup lagi ruhnya melalui PTNBH yaitu ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas tetapi harus mandiri karena APBN semakin lama makin dikurangi untuk kampus karena untuk perguruan tinggi hanya sekitar 0,9 % dari 20% anggaran untuk dana pendidikan, artinya sangat minim sekali, makanya jika ingin berkualitas tapi harus mandiri kampus tersebut akhirnya berubah menjadi PTNBH. Yang menjadi masalah adalah kampus yang belum menjadi PTNBH, di mana mereka belum memiliki sumber dana dari selain dari APBN, akhirnya mereka membebankan biaya pendidikan pada orang tua mahasiswa. Tetapi yang terjadi adalah keruwetan pada aplikasinya, karena ternyata tidak semua mahasiswa tepat ditempatkan pada golongannya. Banyak mahasiswa yg seharusnya berada di golongan 1, tetapi dipaksakan berada di golongan 3 atau lebih. Karena instrumen yang digunakan untuk menetapkan golongan UKT tidak bedasarkan fakta sebenarnya. Misalnya ortu yang PNS dengan gaji mungkin hanya sekitar Rp 3 jt dan memiliki tanggungan 4 orang anak, tetapi dikenai UKT sebesar Rp 5 jt misalnya. Tentu ini sangat memberatkan, yang terjadi akhirnya banyak mahasiswa yang terjerat pinjaman online hanya untuk melunasi UKT. Bahkan ada golongan rendah harus masuk di golongan 3. Contohnya yang terjadi di UNRi ada sekitar 50 calon mahasiswa baru UNRi yang lulus SNBP lalu mengundurkan diri karena kenaikan UKT, kemudian BEM UNRI membantu memverifikasi mereka benar – benar camaba yg tidak mampu, lalu didapat sekitar 20 camaba yg tidak mampu kemudian dibantu oleh BEM untuk diadvokasi untuk diturunkan golongannya atau kemudian dicarikan donatur untuk membiayai UKTnya agar bisa tetap kuliah bahkan sampai dibantu oleh asosiasi petani karet . Fakta lain yg terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta bahwa ada mahasiswanya yang “diancam” akan ditarik KIP nya karena mengkritik soal kenaikan UKT , lalu pengurus BEM UNY tersebut menghubungi anggota komisi X DPR. Tetapi ada juga fakta yg unik ternyata ada KIP aspirasi yg bisa diberikan wewenangnya untuk mencari, mengusulkan calon mahasiswa yang memenuhi kriteria penerima KIP kuliah. Yang terjadi adalah transaksi KIP. Anggota DPR menyalurkan KIP untuk pemilihnya di dapil masing – masing.
Luar biasa ruwetnya aplikasi di lapangan karena akhirnya yang terjadi adalah transaksi saling menguntungkan. Lalu bagaimana seharusnya mengatasi keruwetan masalah UKT ini ? Marilah kita kembalikan pada Sang Pemilik solusi segala permasalahan manusia. Sebenarnya Pendidikan merupakan kewajiban dan salah satu kebutuhan asasi manusia. Karena kewajiban dan kebutuhan maka seharusnya Negara menyiapkan dan menyediakan sarana dan prsarana pendidikan bagi masyarakat dengan biaya terjangkau, murah, bahkan gratis. Wallahu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.