Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azza Zahra

Relasi Perempuan dan Alam

Eduaksi | 2022-01-18 06:21:54
https://www.google.com/url?sa=i&url=http%3A%2F%2Fyayasanpulih.org%2F2020%2F08%2Fmengenal-ekofeminisme%2F&psig=AOvVaw2Wo-1sjtpM51oGVz91-9z6&ust=1642547886779000&source=images&cd=vfe&ved=2ahUKEwjSlejr9bn1AhXRKbcAHVEDCGoQr4kDegUIARDBAQ

Ekofeminisme merupakan sebuah gerakan yang muncul di kalangan perempuan di berbagai belahan dunia dari berbagai profesi sebagai akibat adanya ketidak adilan terhadap perempuan yang selalu di mitoskan dengan alam. Di tengah krisis lingkungan hidup dan meningkatnya konflik sumber daya alam di negara ini, peran ekofeminisme jadi lebih penting. Ini tak lain karena perempuan adalah yang paling terdampak dalam konflik lingkungan hidup. Posisi perempuan semakin rentan dalam lingkungan dan kehidupan sosial.

Di sisi lain perempuan selalu terkait erat dengan lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Perempuan selalu bergaul akrab dengan produk-produk yang berdampak pada limbah dan pencemaran lingkungan. Misalnya limbah rumah tangga, dampak pemakaian kosmetik dan limbahnya, pemakaian obat kimiawi baik makanan maupun kesehatan, pemakaian produk fashion, termasuk suplemen untuk pembentukan tubuh yang langsing. Dengan demikian perempuan mempunyai peran sentral dan strategis dalam pengelolaan lingkungan. Bagi para feminis di Dunia Ketiga, Feminisme bukanlah semata-mata peniruan dari Barat yang asing bagi perempuan di Timur. Feminisme hadir bersamaan dengan kesadaran yang dimiliki perempuan, dalam lingkup personal maupun publik, dimana mereka menyadari ketidakadilan dan mengambil langkah untuk mengubahnya.

Berbagai macam tradisi filsafat dan aliran pemikiran sosial mewarnai feminisme. Misalnya saja feminisme-sosialis yang melihat bahwa ketidak adilan antar jenis kelamin disebabkan oleh struktur hubungan sosial dan ekonomi kapitalisme. Feminisme-radikal cenderung melihat bahwa struktur ketidakadilan para perempuan berakar pada ideologi patriarki, yaitu ideologi yang mendasarkan diri sepenuhnya pada kekuasaan laki-laku, berpusat pada laki-laki, yang secara sistemik berada dalam lembaga sosial-ekonomi-politik-budaya. Sedangkan feminisme liberal melihat bahwa sumber penindasan perempuan adalah belum diperoleh dan dipenuhinya hak-hak perempuan dimana perempuan didiskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasannya karena ia perempuan. Aliran-aliran ini, meskipun terlihat memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan, namun sebenarnya dapat saling melengkapi sehingga feminisme, baik sebagai wacana maupun ideologi, mampu menjangkau segala ranah kehidupan.

Di Indonesia, ekofeminisme sendiri muncul sebagai reaksi atas proses pembangunan yang menyampingkan peran perempuan, serta dampak dari pembangunan yang tidak berpihak pada keberlangsungan alam yang membuat alam menjadi semakin rusak. Menurut Vandana Shiva (1993), ekofeminisme merupakan salah satu cabang ilmu teori feminism, ekofeminisme mengaitkan adanya hubungan alam dan perempuan. Ekofeminisme lainnya menyikapi keterkaitan perempuan dan alam secara lebih kritis. Keterhubungan antara perempuan dan alam berdasarkan nilai-nilai tradisional memberikan afirmasi terbatas dan berefek pada penegasan kekuatan maskulin yang mengidentifikasi laki-laki sebagai subjek yang dominan, liar, dan kuat, sedangkan perempuan bersifat ‘jinak’, domestik, dan lembut. Plumwood (1993) menegaskan bahwa hubungan antara perempuan dan alam yang bersifat inferiorisasi resiplokal tidak berasal dari masa lalu, melaikan terus menerus terjadi. Misalnya, terkait dengan penolakan aktivitas perempuan dari lingkup reproduksi.

Penolakan relasi perempuan dan alam, dikatakan Plumwood (1993) sebagai ‘latar belakang’ (backgrounding). Latar belakang atau penolakan perempuan dan alam telah tertanam dalam rasionalitas sistem ekonomi dan struktur masyarakat kontemporer. Apa yang terdapat dalam ‘latar belakang’ alam adalah penolakan ketergantungan pada biosfer dan pandangan tentang manusia sebagai bagian yang terpisah (di luar alam). Budaya Barat secara dominan dan sistematis merendahkan, ‘melatarbelakangi’, dan menyangkal ketergantungan pada seluruh bidang reproduksi dan subsistensi. Dalam peran tradisional, kerja perempuan secara sistematis dihilangkan dari perhitungan dalam sistem ekonomi dan tidak diperhitungkan dalam sejarah dan kebudayaan. Secara tradisional, perempuan adalah ‘lingkungan’. Dalam hal ini, perempuan yang menyediakan lingkungan dan kondisi yang menjadi tempat ‘pencapaian’ laki-laki, tetapi apa yang perempuan lakukan tidak dengan sendirinya dianggap sebagai prestasi. Perempuan rentan terhadap penolakan bahkan ketika melangkah keluar dari peran tradisional.

Ekofeminisme merupakan suatu keterkaitan dan keseluruhan dari sebuah teori dan praktik. Hal ini menuntut kekuatan khusus dan integritas dari setiap unsur hidup. Bila kita berbicara tentang ekofeminisme maka kita berbicara tentang adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia atau alam.

Dialamkan, diasosiasikan dengan binatang, misalnya ayam, kucing, ular. Sementara itu perempuan difeminimkan berkaitan dengan aktivitas seperti diperkosa, dipenetrasi, digarap, dan dieksploitasi. Perhatikan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-kata yang dipakai dalam menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam. Misalnya tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, dan tambang yang dieksploitasi. Jadi tidak mengada-ada jika perempuan dan alam mempunyai kesamaan semacam simbolik karena sama-sama ditindas oleh manusia yang berciri maskulin. Sejarah mencatat banyaknya penindasan terhadap kaum perempuan, karena mereka melihat perempuan sebagai objek atau bahkan sebagai budak yang hanya dapat digunakan untuk pemuas hawa nafsu belaka. Krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan (penindasan perempuan), merupakan dua masalah besar kehidupan. Keduanya saling terkait secara historis dalam sejarah peradaban hidup manusia. Para filsuf ekofeminisme berpendapay, konsep dasar dari dominasi kembar terhadap alam dan perempuan adalah dualisme nilai dan hirarki niali. Darmawati (2002) berpendapat, peran etika feminisme dan lingkungan hidup adalah mengekspos dan membongkar dualisme ini serta menyusun kembali gagasan filosofis yang mendasarinya. Gerakan feminime dan ekologi sebenarnya mempunyai tujuan yang saling berhubungan erat dan saling memperkuat satu dengan lainnya. Gerakan ini ingin mengubah paradigma dunia yang bukan hanya berdasarkan pada model patriarki dan dominasi semata, di mana ada superior ada inferior atau ada yang menjadi subjek dan objek. Tetapi lebih pada relasi yang sejajar di mana antara laki-laki, perempuan, maupun alam. Ketiganya sama-sama memiliki hak yang harus saling dijaga.

Oleh: Azza Zahra Putri Palupi

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Studi Ilmu Politik

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image