Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Dahri

Karya Ulama Nusantara dan Magnum Opus Sebuah Pemikiran

Agama | Wednesday, 01 May 2024, 10:21 WIB
Buku Karya Tulis Ulama Nusantara

Review Buku

“Karya Tulis Ulama’ Nusantara”

Penulis : Muhammad Husni & Fathul Wahab

Penerbit : Maknawi dan Buku Gubuk

ISBN : 978-623-94271-0-8

Pereview : Ahmad Dahri

Ulama dalam pengertiannya adalah mereka yang ahli dalam bidang pengetahuan “keagamaan”. Ulama juga berarti kyai dalam rumpun pesantren. Secara gamblang keterangan dalam sebuah hadits mengatakan bahwa Al-‘ulamā’ waraṩat al-anbiyā’, yang dikatakan ulama adalah pewaris (ilmu) para nabi. Ilmu dalam hal ini sangat luas cakupanya, tidak hanya pada konteks akal – intelektualitasnya, tetapi juga pada moralnya. Oleh karenanya sangat banyak sekali subjektivitas pemahaman terkait arti ulama’ itu sendiri. Di satu sisi, ulama atau kyai sekalipun dapat dipahami secara sosiologis – antropologis. Namun di sisi yang lain, ulama atau kyai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang memiliki pandangan dunia yang luas, keilmuan tentang keagamaan yang mendalam dan biasanya ketika memiliki jamaah atau pesantren.

Agar lebih memudahkan, penulis menggunakan istilah kyai saja dalam mempertegas makna dasar ulama. Secara sosial legitimasi masyarakat umum menjadi dasar atas keulamaannya. Sedangkan secara antropologi kyai dilihat sebagai manusia yang meluas – dalamkan pikiran maupun hatinya, tertuang dalam komunikasi dan perilakunya.

Dalam pembacaan terhadap buku ini, agaknya kita perlu melihat bagaimana rangkaian sinkronis dari perjalanan kyai-kyai dalam mencari ilmu. Kita bisa melihat itu dalam bukunya Martin Van Bruinessen yang acapkali memunculkan roadmap yang amat panjang dalam mencari ilmu – yang saat itu dibarengi dengan perjalanan ibadah haji. Untuk meninjau rangkaian diakronisnya, penulis menitik beratkan kepada pandangan Cak Nurkholis Majid, Gus Dur dan Ābid al-Jābirī terkait perkembangan keilmuan keislamannya.

Sehingga akan menemukan benang merah antara perkembangan pemikiran ulama, khususnya di Nusantara dengan perkembangan zaman. Hal ini berakar pada pendapatnya Pak Zamakhsyari terkait “Kyai memiliki pandangan keilmuan yang jauh lebih maju mendahului zamannya”. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mensyaratkan bahwa kyai adalah mereka yang memiliki ilmu agama yang mendalam, dan di satu sisi memiliki pesantren. hal ini dimaksudkan bahwa – sejalan dengan apa yang disampaikan Hiroko Horisaki, di mana kyai memiliki pengaruh yang luas dalam konteks kehidupan, tidak hanya pada jamaah tetapi pada tatan sosialnya. Di samping itu ditunjang oleh pengetahuan yang mendalam.

Karisma menjadi dasar dalam pembentukan peran sosial seorang kyai. Jika dirunut maka: kyai, ditunjang oleh ilmu pengetahuan keagamaan yang mendalam, moralitas, spiritualitas dan peran sosialnya. Sehingga dalam kontek karismatik ini memunculkan peran sosial dan moral dari latar belakang pengetahuannya. Dengan kata lain ini menunjukkan bahwa ulama adalah orang yang takut kepada Allah, pun mereka memikir-renungkan segala KeagunganNya. Maka dalam konteks substansial (Hakikat) ulama ditandai dengan penyandaran diri kepada Tuhan di dalam hal apapun. Sehingga outputnya adalah rasa syukur, baik bimuqābalatinni’mah atau bilāmuqābalatinni’mah.

Dalam buku ini disinggung bahwa “Ulama adalah guru agama yang mengajarkan kesalihan kepada masyarakat luas, baik kesalihan indvidu maupun kesalihan sosial.” Bahkan dipertegas dengan pernyataan kiprah ulama dalam dunia pendidikan tidak diragukan lagi. Ulama konsisten dalam menyiapkan generasi penerus, baik mental maupun moral, khususnya kepekaan dalam penataan hati.

Ada satu hal yang patut dikorelasikan dalam pengaitan ulama dan dunia pendidikan. Abad ke-16 menjadi tanda bahwa islam baru masuk ke Nusantara. Di mana patut digaris bawahi bahwa pendidikan islam muncul pasca adanya penegasan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Tidak lagi berbaur dengan tradisi lama. Dengan kata lain perlu adanya tinjauan kepada tradisi keagamaan dan tradisi perubahan sosial.

Artinya ada paradoks keulamaan yang perlu dipertegas. Jika di satu sisi ulama adalah orang yang mengajarkan kesalihan sosial, dan di sisi lain ulama adalah orang yang berpegang teguh kepada Quran dan Sunnah. Dengan kata lain perlu menelisik kembali sikap yang diambil ketika menjumpai tradisi-tradisi keagamaan Nusantara, yang menurut Gus Dur dikatkan bahwa “Terdapat kerumitan besar untuk mengidentifikasi bahwa pesantern (yang di dalamnya ada Ulama’) sebagai unit subkultur.

Disadari atau tidak kosmologi Hindu-Budha juga pernah diambil dalam tradisi Islam Nusantara. Seperti panggilan untuk orang yang dijunjung, diagungkan, memiliki arif-kebijaksanaan dalam tingkah – polah kehidupannya; “sunan” atau “susuhunan” yang kelak dikenal dengan Sunan di era islamisasi Nusantara dengan Wali Sanga. Sehingga ulama dalam beragam pendekatan tidak bisa dilarikan dari tradisi keagamaan Nusantara.

Tradisi berpikir (suluk pengetahuan), tradisi sosial (suluk bebrayan) menjadi ruang yang sangat luas dalam meninjau-kaitkan ulama dengan tradisi yang ada. Jika di atas dipertegas bahwa ulama adalah orang yang berbudi luhur, berpengetahuan luas, dan takut kepada Allah, dalam artian mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, maka ulama juga memahami korespodensi antara tradisi sosial yang berkembang saat itu, dan memahami ruang fluktuatis dalam kerangka keimanan masyarakat Nusantara yang – saat itu di mulai dengan animism.

Dalam buku ini tidak disebutkan bahwa ada akulturasi intelektual antara Islam dengan Tradisi Nusantara itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan fokus kajian ulama Nusantara yang dibatasi di kota Kediri. Dan hanya merujuk pada satu kitab sebagai ulasan lengkapnya: siraj al-Ṭalibin min syarh al Minhaj al ‘Abidin, yang dikurasi oleh K.H. Ikhsan Jampes. Bukan menjadi sebuah kekurangan sebenarnya, tetapi kesesuaian dengan judul yang diangkat di dalam buku ini menjadikan ketimpangan pemahaman yang mendasar.

Walaupun demikian, mengusung tema dalam kitab tersebut sebagai indikator dari ulama menjadi nilai lebih dan penguat atas pengertian dasar tentang Ulama itu sendiri. Dengan kata lain, K.H. Ikhsan Jampes tentu menjadi simbol pengetrian ulama yang tertera baik di dalam al-Quran ataupun pengertia-pengertian dari berbagai tokoh intelektual.

Tradisi keagamaan di Nusantara bisa jadi diwakili oleh kelembagaan pendidikan islam yang ada di Kediri. Di mana akulturasi pemikiran, budaya islam dan Nusantara dapat dijumpai dari sikap moderat para pengasuh pesantren di kota Kediri tersebut. sehingga memengaruhi terhadap gerak sosial dan gerak kulturalnya. Bagaimanapun, tradisi adalah sekumpulan buah pikir atau budaya yang diwaris-kembangkan dalam setiap masa, tentu sampai hari ini. Sehingga, bagaimanapun itu perlu disinggung dalam keterkaitan antara ulama dan karya-karya ulama Nusantara.

Karya Tulis adalah rekam jejak intelektual, bisa berupa pemikiran yang dituangkan di dalam deskripsi interpretasi teori, atau berupa ensiklopedi pengetahuan. Menurut penulis buku ini “Ulama yang menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah menunjukkan bahwa kualitas keilmuannya tidak diragukan lagi dan sudah menguasai berbagai fan-fan keilmuan bahkan hakikat keilmuan itu sendiri. Hanya saja orientasi dalam penulisan karyanya tersebut karena didorong sebagai bahan ajar yang diperlukan oleh para santrinya dan para jamaahnya.” Yang menjadi penekanan terhadap karya tulis ulama adalah; tidak untuk menumpuk keduniawian (mencari keuntungan dari jualan buku atau kitab). Tetapi memang menjadi dorongan kuat untuk menulis buku atau kitab dengan orientasi internalisasi nilai sekaligus bentuk transformasi pengetahuan kepada santri atau jamaahnya.

Berangkat dari hipotesis tentang karya tulis ulama, bahwa orientasi berkarya adalah orientasi spiritual – intelektualistas semata, maka mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Imam Suprayogo dalam salah satu kongkownya “Bahwa menulis adalah bukti bahwa kita pernah hidup, itu saja!” Barang tentu tidak sesederhana itu, tetapi pendekatan normatifnya adalah pola pikir, pandangan yang luas, interpretasi ketaqwaan itu dirangkum-kembangkan dalam sebuah karya tulis oleh ulama. Walaupun demikian tidak hanya dalam bentuk karya tulis, bisa juga melalui peran-peran sosial lainnya.

Ulama adalah para pembaca, pengajar, dan pemngamal nilai-nilai kitab suci (rabbaniyyun, ribbiniyyun), serta ulama juga seorang konsultan (ahl adz-dzikr) dan semua itu ada pada sosok kyai pesantren di satu sisi. Dan lebih luar arif bijaksana sosok itu digambarkan ulama-ulama terdahulu. Oleh karenanya wajar jika para ulama terdahulu merekam rangkaian pemikirannya di dalam syair, kitab dan lain sebagainya. Hal ini digambarkan pada auto biografinya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, yang dipungkasi oleh magnum opusnya yaitu Ihya ulumuddin. Begitu juga dengan K.H. Assy ‘Ary bahwa 16 karyanya adalah bagian dari proses suluk pengetahuannya. Hal ini menyimpan perjalanan yang panjang dan kontekstual tentunya. Maka tidak salah jika karya tulis ulama adalah magnum opus perjalanan pemikiran.

Perjalanan ulama adalah suluk pengetahuan – sosial spiritual. Dengan kata lain ada rekam jejak yang ditawar – sandingkan di dalam kehidupan melalui karya-karyanya. Buku ini mencoba menebar – uraikan autobiografi dari sebagian ulama’ Nusantara yang memiliki karya tulis dan peran penting di dalam perkembangan pendidikan islam di Nusantara.

Bukan berarti menjadi capaian yang kemudian berhenti begitu saja. Buku ini juga perlu dikembang – semerbakkan, mengingat bahwa perjamuan-perjamuan intelektual adalah perjamuan dialektis. Dan buku ini menebar prasangka baik yang dialektis untuk dikembangkan kembali. Mengutip apa yang pernah disinggung Gus Dur bahwa pesantren juga perlu dibuktikan bahwa ia memegang kendali subkultur yang kuat, maka buku yang berjudul “Karya Tulis Ulama Nusantra” ini juga perlu penguatan baik secara substansi, ataupun fokus kajian.[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image