Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Retno Tri Rahayu

Ngapain Sih Harus Menikah?

Agama | Monday, 22 Apr 2024, 07:50 WIB

Belum lama ini beredar berita bahwa menurut laporan Statistik Indonesia, terdapat 1,58 juta pernikahan di dalam negeri pada tahun 2023, turun 7,51% dibanding tahun 2022. Angka pernikahan ini juga menjadi rekor terendah selama satu dekade terakhir. Berikut data statistik angka pernikahan dalam 10 tahun terakhir ini.

Sumber foto: Databoks

Sebagai salah satu generasi muda yang belum menikah, dengan usia menuju 24 tahun, aku sendiri kadang sering bertanya, "Kenapa aku harus menikah?"

Pertanyaan kenapa harus menikah merupakan salah satu pertanyaan yang sering banget muter di kepala, bukan? Ada masa-masanya pengen banget nikah, tapi ada masa-masanya takut juga mau menikah, terlebih ketika mendengar semakin banyak isu perceraian di usia pernikahan yang masih sangat muda.

Dikatakan, dalam buku Find Your Why karya Simon Sinek, yang paling penting sebelum ngelakuin sesuatu adalah dengan mengetahui Why-nya dulu, sebelum tau tentang How dan Who-nya. Yang berarti, kita harus tau alasan dan tujuannya dulu baru kita bisa menentukan cara dan siapanya.

Beberapa alasan kenapa orang menikah kurang lebih diantaranya:

  1. Ibadah. Alasan yang sangat bagus dan masyaAllah, tapi bukankah opsi ibadah itu banyak? kenapa harus nikah?
  2. Sunnah. Alasan yang juga sangat masyaAllah bagus. Tapi, emang selama ini sudah ngelakuin shalat dhuha, tahajud, puasa Senin-Kamis atau sunnah lainnya? Kalau masih bolong, kenapa harus langsung lompat ke nikah? Banyak juga kok ulama yang ngga nikah selama hidupnya. Masa iya selevel ulama yang paham banget tentang Al-Quran dan hadist itu ngga tau kalau nikah itu sunnah? Ngga mungkin kan?
  3. Hijrah. Sekali lagi ini juga alasan yang bagus masyaAllah. Tapi, ada saran bahwa jangan gambling dengan masa depan. "Setelah nikah, dia pasti berubah". Jangan menjamin hidayah akan datang kepada seseorang lewat pernikahan. Cari yang pasti-pasti saja. Ibarat kata, nikah itu ibarat duit.

Atau mungkin ada yang punya alasan, "Aku menikahimu karena aku mencintaimu."

Alasan ini terdengar romantis, tapi ada beberapa orang yang merasa alasan ini ngga realistis. Karena menikah itu permanent relationship, sedangkan cinta itu temporary feelings. Kalo orang menikah hanya karena cinta, kok bisa menjalani pernikahan yang sifatnya jangka panjang hanya berdasarkan cinta yang sifatnya jangka pendek? Bayangin aja kalau cinta yang ada di hati yang mudah terbolak-balik itu hilang, masa iya langsung cerai?

Ada kalanya kita baca Al-Quran itu nge-feel banget, ada kalanya flat banget. Sholat pun juga begitu. Ada kalanya jadi rajin banget buat tepat waktu, ada kalanya juga males-malesan. Nah kalau kita ngelakuin itu berdasarkan feeling/mood aja, berarti ada yang keliru. Harusnya kalau memang tujuannya untuk ibadah, mau feels-nya touching atau flat, ya harus tetep dilakuin kan?

Poinnya adalah, komitmen ketaatan kita kepada Allah itu bukan berdasarkan mood, tapi janji. Dan akad pernikahan itu adalah perjanjian yang amat sangat berat levelnya. Dikatakan dalam Al-Quran, mitsaqan glaizda.

Kata mitsaqan glaizda, perjanjian yang amat sangat agung/berat ini sendiri dimention 3 kali dalam Al-Quran:

 

  1. Al-Ahzab: 7 = Perjanjian Allah dengan Rasul Ulul 'Azmi. Tanggung jawab mereka pasti berat untuk menyampaikan kebenaran.
  2. An-Nisa: 154 = Perjanjian Bani Israil yang ketika disumpah, bukan lagi pakai Al-Quran di atas kepala mereka, tapi pakai gunung. Kalau perjanjiannya dilanggar maka gunung itulah yang akan menimpa mereka.
  3. An-Nisa: 21 = Perjanjian dalam pernikahan, selevel dengan dua perjanjian di atas. Perjanjian Rasul Ulul 'Azmi + Bani Israil = Amat Sangat Berat.

Lalu, apa alasan kenapa harus menikah? Biar bahagia? Kalau misal habis nikah ada yang ngga bahagia, gimana?

Nikah itu kaya duit. Duit itu tidak akan mengubah sifat seseorang, tapi hanya akan mempertebal sifat seseorang. Kalau pas miskin dia tuh pelit, maka pas udah kaya bakal makin pelit. Begitu juga sebaliknya. Pernikahan juga seperti itu. Mempertebal apa yang sudah ada pada dirinya sebelum menikah.

Hal ini seperti Rasulullah ketika menikah dengan Khadijah. Khadijah sebelum menikah sudah menjadi orang yang sangat dermawan. Lalu apa yang terjadi setelah beliau menikah dengan Rasulullah? Khadijah menjadi semakin dermawan bukan?

So, nikah itu seperti melipatgandakan apa yang sudah kita miliki sekarang. Dengan segala alasan di atas, dapat dipahami bahwa setiap alasan menikah pasti ada konsekuensinya masing-masing.

Dan ternyata, satu alasan menikah yang bikin mindblowing ada di QS. Ar-Rum ayat 21:

QS Ar-Rum : 21

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum: 21).

Jika dilihat dari tafsir i'rab-nya, lam dalam kata litaskunu itu termasuk lam ta'lim, lam yang berharakat kasrah, lam yang menunjukkan sebuah alasan atau tujuan.

Kenapa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan? Kenapa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan? Kenapa ada pernikahan? Kenapa harus menikah?

Di ayat ini, Allah tidak memberi alasan bahwa pernikahan itu tujuannya "agar kamu beribadah, melakukan sunnah, bahagia," dll. Tapi Allah menjawab pertanyaan "kenapa sih kita nikah?" dengan "agar kamu merasa tenteram, agar kalian merasa tenang dan saling menenangkan." That's it, done!

Maka menikah adalah tentang bagaimana kita menemukan ketenangan. Dan hal ini menjadi refleksi untuk diri kita sendiri. Kalau setelah menikah kita itu malah merasa tidak tenang; entah itu dari keluarga inti, keluarga besar, finansial, dan sebagainya; maka bisa jadi ada yang salah dengan pernikahan itu. Karena Allah itu sudah mensetting bahwa nikah itu ya tujuannya biar tenang.

Seperti kisah Rasulullah ketika mendapatkan wahyu pertama "Iqra" melalui Malaikat Jibril. Kemudian di saat itu juga beliau diangkat menjadi seorang Rasul yang sangat berat tanggung jawabnya untuk ummat. Lalu beliau pun pulang ke rumah dengan terseok-seok, terjatuh, tersungkur, kedinginan, dan pucat pasi.

Beliau memasuki rumah dan meminta istrinya, Khadijah, untuk menyelimutinya agar merasa tenang. Khadijah pun tidak berbicara apa pun tapi segera menyelimuti dan mendoakan yang baik untuk Rasulullah.

Padahal pada saat itu Rasulullah tentu mempunyai banyak sahabat yang dekat dengan beliau, punya paman yang sangat sayang kepada beliau. Dan ini kan problem atau beban amanah menjadi seorang Rasul, masalah yang berat dan menyangkut orang banyak, tapi kepada siapa Rasulullah pertama kali bercerita tentang hal ini?

Kepada istrinya, Khadijah. Bukan kepada para sahabat yang sudah ahli mengurus dakwah ummat, dsb. Karena apa? Karena dengan Khadijah, Rasulullah merasakan ketenangan.

Rasulullah bukannya tidak mau cerita ke Khadijah dengan alasan, "aku ngga mau cerita ini ke kamu, biar ngga nambah beban pikiranmu, biar aku sendiri yang handle". Ngga begitu. Rasulullah justru lebih suka cerita ke pasangan, bukan ke temannya.

Jadi kalau misal ada case seorang pasangan tidak mau cerita kepada pasangannya, jangan langsung menyalahkan salah satu pihak. Karena bisa jadi, pasangannya itu memang bukan tempat yang nyaman untuk bercerita. Saat cerita, bukannya jadi lebih tenang malah makin runyam pikiran. Pasangan itu ada yang bikin tenang dan ada yang bisa bikin tidak tenang.

Kembali ke ayatnya, bahwa Allah itu menjadikan pernikahan agar mendapatkan ketenangan. Tapi di ayatnya Allah tidak mention cara buat mendapatkan ketenangan itu sendiri.

Kaidahnya dalam Al-Quran, ketika Allah tidak menyebutkan detailnya, maka bisa jadi itu bermakna sangat luas banget. Artinya, cara bikin pasangan biar tenang itu bisa dengan cara apa saja.

Caranya bagaimana biar kita bisa jadi tempat healing terbaik, atau sumber ketenangan terbaik buat pasangan kita? Adalah dengan memahami makna dari kata sakinah.

Kata sakinah itu sendiri ada 69 kali disebutkan dalam Al-Quran. Dan ternyata ada 20 kali dalam bentuk kata kerja dan 49 kali dalam bentuk kata benda.

Semoga masih diberi kesempatan selanjutnya untuk bisa membahas kata sakinah dalam QS. Ar Rum ayat 21 ini sebagai kacamata untuk memandang kata sakinah dalam ayat-ayat Al-Quran yang lain.

Wallahu a'lam bish shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image