Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aditya Faturrohman

Pendidikan yang Terlupakan Pendidik

Eduaksi | Friday, 19 Apr 2024, 14:53 WIB

Siapakah guru ?

Apakah anda masih mengingat guru ketika sekolah meskipun sudah lulus bertahun-tahun?. Dibalik kesuksesan seseorang sudah banyak kita dengar tentang kisah inspiratif figur sukses yang tidak melupakan gurunya. Misalnya seorang pengusaha fiber optik bernama Fredy Candra yang memberangkatkan guru-guru yang pernah mendidiknya untuk liburan ke Singapura dengan fasilitas VIP.

Bukan tanpa sebab dia dedikasikan hal itu untuk sebagai ucapan terimakasih atas apa yang sudah gurunya berikan ketika dia bersekolah sampai menjadi seorang pengusaha yang sukses. Berdasarkan peristiwa itu kita menyadari betapa besarnya peran dari guru dalam proses pendidikan dan kehidupan seseorang. Oleh karena itu penulis terlebih dahulu ingin mengajak pembaca untuk lebih mengenal “siapa itu guru”.

Dalam tulisan ini penulis ingin pembaca untuk mengenal terlebih dahulu guru dari berbagai sudut pandang agar menjadi bahan kajian ataupun introspeksi. Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Namun dalam pengertian itu masih terlalu umum untuk menggambarkan seorang guru.

Sementara itu menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam pengertian tersebut sudah cukup jelas disebutkan posisi guru sebagai pendidik beserta tugas-tugas kependidikannya.

Menurut Ramaliyus dalam Wardan (2019) secara terminologis guru dapat diartikan sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, potensi afektif maupun potensi psikomotorik. Berdasarkan tiga pengertian itu dapat dirangkum bahwa guru adalah profesi yang memiliki tugas-tugas kependidikan yang dapat dihimpun menjadi mendidik dan mengajar guna mengembangkan potensi siswa.

Yang Diharapkan

Masyarakat umum memiliki persepsi dan ekspektasi yang tinggi terhadap profesi guru. bagaimana tidak, masyarakat menggantungkan harapan dan masa depan anak-anak mereka kepada proses pendidikan yang dijalankan oleh guru. Seperti yang disebutkan oleh Wibisono (2019) dimana hasil penelitiannya membuktikan masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap guru karena mampu untuk mendidik dan mengajar anak-anak mereka. Selain itu ekspektasi masyarakat juga tinggi terhadap kemampuan guru baik dari sisi sikap, perkataan ataupun perbuatannya agar dapat dijadikan contoh oleh anak-anak mereka layaknya “digugu & ditiru”.

Ekspektasi dan persepsi ini perlu kita perjelas melalui sudut pandang hukum agar memperjelas antara harapan dan kewajiban. Maka perlu bagi kita untuk mengetahui tugas dan perannya agar dapat dijadikan menjadi bahan diskusi pada tulisan ini. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 39 ayat 2 menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Sementara itu disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tugas guru sebagai pendidik profesional yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Tugas dan peran guru itu erat juga kaitannya dengan konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dimana beliau membedakan istilah pengajaran dan pendidikan. Pengajaran (onderwijs) merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.

Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Selain itu Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya pembentukan budi pekerti melalui proses pendidikan.

Tujuan pendidikan dari perspektif Ki Hajar Dewantara tidak saja berbicara tentang membentuk peserta didik yang pintar namun juga harus berbudi pekerti (Damayanti dkk, 2021). Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang diharapkan guru terhadap siswa yaitu bukan hanya memberikan transfer ilmu pengetahuan saja melainkan juga mendidik agar menjadi individu yang dapat memaksimalkan potensinya dan memiliki budi pekerti sebagai bekal menjadi manusia dan anggota masyarakat.

Yang Terlupakan

Berdasarkan pemaparan sebelumnya kita sudah memahami bahwa guru sebagai pendidik dibebankan kepada tugas memberikan ilmu pengetahuan dan mendidik budi pekerti. Namun apakah itu sudah terlaksana ?. untuk menjawab pertanyaan itu mari kita amati peristiwa-peristiwa yang akhir-akhir ini menjadi isu moral dan etika siswa. Belakangan ini sering kita mendengar konflik antara siswa dan guru yang dipicu oleh hal sepele seperti ditegur yang kemudian tidak terima dan tega untuk melakukan tindak kekerasan pada gurunya. Sudah tidak asing juga terkait kabar banyaknya kasus tawuran antar pelajar yang bahkan sampai menelan korban jiwa. Kasus bullying antar siswa juga tengah mencuat akhir-akhir ini. Sampai kepada hal sederhana seperti siswa asik mengobrol atau bermain Smartphone ketika guru sedang menjelaskan. Kasus-kasus itu telah menggiring pemikiran kita apakah terjadi degradasi karakter dan budi pekerti siswa ?.

Proses pendidikan yang difasilitasi oleh guru saat ini menurut sudut pandang penulis lebih berfokus pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan atas kesadaran akan tuntutan zaman. Hal itu sebetulnya bukan hal yang perlu disalahkan, karena memang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi yang harus kita ikuti. Namun jika kita kembali kepada pembahasan awal tentang tugas guru, tidaklah sempurna kewajiban itu dilakukan ketika hanya mengajarkan pengetahuan saja. Sementara sikap atau afektif ini terlupakan sehingga menjadi tidak terfokus dan tidak terselenggara dengan baik melalui pendidikan karakter dan budi pekerti.

Banyakanya kasus pelanggaran moral dan etika siswa seperti yang sudah disebutkan juga menjadi salah satu acuan terhadap hasil dari pelaksanaan pendidikan karakter oleh guru. Bukan tanpa sebab berdasarkan pengalaman dan observasi umum penulis, banyak guru yang tidak memberikan pendidikan karakter dan budi pekerti kepada siswa di kelas melalui proses yang sadar dan terencana selayaknya sebuah proses pendidikan. Pembelajaran moral juga memerlukan program dan atau strategi yang perlu dirancang oleh guru.

Tanpa adanya perencanaan dan strategi yang dipersiapkan sebelumnya pendidikan karakter ini tidak dapat terlakasana dan kalaupun ada sifatnya hanya insidental saja. Padahal pendidikan karakter ini menjadi salah satu cara agar mencegah terjadinya degradasi moral (Agung & Badawi, 2020). Sehingga pendidikan karakter dan budi pekerti ini perlu perencanaan dan pelaksanaan yang sama fokusnya dengan proses pengajaran terutama di dalam kelas. Adapun permasalahan pendidikan karakter selama ini yang ada disetiap satuan pendidikan perlu segera dikaji, dan dicari alternatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah untuk dapat diimplementasikan di sekolah terutama di lingkungan kelas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image