Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ria Indra Maya Sari, S.Pd

Kolaborasi, Langkah Memaknai Ekosistem Sekolah

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 18 Apr 2024, 22:27 WIB
Sumber: Republika

Perjalanan ini bermula ketika menjadi honorer di sebuah sekolah dasar swasta, antara sedekade lalu, sebelumnya saya sempat menjadi guru Wiyata Bakti di Sekolah Dasar Negeri, tetapi itu tidak lama. Selanjutnya saya mengikuti kontestasi CPNS dan syukurnya diterima menjadi ASN di Sekolah Dasar Negeri yang berada cukup jauh dari pusat Kabupaten Sragen, jika tidak hendak disebut sekolah pinggiran. Terbilang belum begitu lama, kurang lebih enam tahunan membersamai tunas-tunas bangsa menuntut ilmu di sekolah negeri. Namun bukan tentang lama atau sebentarnya, akan tetapi tentang rasa yang tercipta di sebuah ekosistem sekolah.

Berprofesi menjadi guru tidaklah mudah seperti kata banyak orang di luaran sana. Teringat kutipan buku dengan judul “Gurunya Manusia” karya Munif Chatib yang dulu tertakdir saya baca di bangku kuliah PGSD, “syarat menjadi gurunya manusia itu dia yang tidak pernah berhenti untuk belajar”. Bukan sebaliknya, ketika sudah menjadi guru, tidak begitu saja meminta muridnya yang belajar, tetapi seorang guru pun juga wajib terus menerus belajar. Long life learner demikian istilah lebih kerennya saat ini. Dari sini, saya senantiasa bersemangat untuk selalu meningkatkan kapasitas diri dan berusaha memberikan peran terbaik sebagai seorang guru. Mengikuti berbagai diklat/pelatihan, seminar, webinar serta tidak bisa kita tinggalkan ialah pengalaman berinteraksi dengan guru-guru hebat lain yang menjadi bekal terbaik bagi seorang guru dalam mendampingi muridnya.

Salah satu pengembangan kompetensi yang saya jalani yaitu mengikuti program Guru Penggerak. Terdapat banyak sekali ilmu serta pengalaman yang saya pelajari, diantaranya tentang ekosistem sekolah. Ekosistem sekolah bukan sekadar kumpulan individu, tetapi sebuah komunitas dinamis yang saling terhubung dan berinteraksi, layaknya ekosistem alam. Interaksi dalam ekosistem sekolah terdiri dari komponen biotik (kepala sekolah, guru, murid, staf, pengawas sekolah, orangtua, dan masyarakat) yang dikatakan dengan unsur hidup dan komponen abiotik (keuangan, gedung, sarana dan prasana) sebagai unsur yang tidak hidup. Kedua unsur ini saling berinteraksi dan mestinya bersinergi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis.

Semasa menjadi guru di sekolah swasta, dilihat dari sudut pandang kuantitas, jumlah murid tak perlu diragukan lagi. Dengan berbagai strategi dan agenda sosialisasi sekolah, dari mulai menyebar brosur ke seluruh TK/RA, mengadakan lomba antar TK/RA, mengikuti stand-stand pendaftaran yang disediakan oleh TK/RA sekitar dan lain sebagainya. Tak hanya itu, pelayanannya pun wajib ekstra maksimal, sarana prasarana yang mewadahi, gedung yang kokoh dan bercat warna warni, ruangan kelas ber AC, bahkan dalam satu kelas terdapat dua guru yang menjadi wali kelas dan pendamping. Bisa dikatakan rata-rata siswanya berasal dari kalangan menengah ke atas, meskipun tidak seluruhnya.

Sedangkan, selama mengemban amanah di sekolah negeri hingga sekarang tak kalah keras juga perjuangan kami. Pelaksanaan PPDB kita adakan seragam gratis, alat tulis dan buku gratis, terdapat pagar mangkok bagi siswa yang kurang mampu, tidak ada tes seleksi, apapun keadaan mereka (tak harus mampu calistung) kami terima dengan pintu dan hati terbuka untuk mendampingi mereka belajar. Program-program dan pembelajaran yang berpihak pada murid selalu kita utamakan. Dari mulai intrakurikuler, ekstrakurikuler dan kokurikuler yang bermuara pada Profil Pelajar Pancasila.

Meskipun begitu tak sedikit banyak sekolah negeri yang mengalami regrupping. Setiap melewati dan melihat sekolah yang telah usang termakan usia karena tak lagi berpenghuni seakan hati ini menunjukkan rasa iba, sangat disayangkan. Sebab, sekolah negeri merupakan sekolah gratis tanpa ada pungutan biaya sama sekali dari pihak sekolah. Meskipun begitu, saya tak menampik untuk sarana dan prasarana yang belum begitu memadai apalagi menyamai sekolah swasta. Gedung yang agak miring, tembok yang terdapat ukiran garis-garis alias retak atau bahkan sampai memunculkan bongkahan semen hingga memperlihatkan bata merah yang menganga. Belum adanya laboratorium komputer juga laboratorium Bahasa, jangankan laboratorium, aula untuk pertemuan wali murid pun terkadang tak dimilikinya. Akan tetapi semua itu tak jadi penghalang bagi guru-guru di sekolah negeri untuk terus semangat memajukan dunia Pendidikan.

Jika ditanya ingin tidak memiliki komponen abiotik yang lengkap seperti di sekolah swasta? Tentu iya, supaya dapat berkompetisi lebih sebanding dengan sekolah swasta atau lebih tepatnya mempertahankan sekolah negeri agar tidak mengalami regruping karena kurangnya peminat. Akan tetapi, guna meningkatkan komponen abiotik ini membutuhkan dukungan finansial yang besar. Betul, sekolah negeri memperoleh dana BOS, namun apakah alokasinya telah memadai atau efektif? Belum lagi, di sekolah negeri khususnya jenjang dasar tidak memiliki tenaga pendidik khusus untuk administrasi LPJ BOS yang begitu luar biasa ketatnya. Masalah menjadi muncul karena sekolah swasta pun juga mendapat dana BOS dan akses mendapatkan dukungan finansial yang tak terbatas dari berbagai pihak. Mulai uang pendaftaran, uang Pembangunan, seragam, uang bulanan, dan berbagai macam sumber pendanaan lainnya dapat dengan mudah diakses oleh sekolah swasta. Dalam hal ini sekolah negeri mesti gigit jari, Pendidikan gratis itu baik, tetapi jika kemudian menimbulkan kesenjangan antara sekolah negeri dengan sekolah swasta, apakah tidak lebih baik jika kebijakan tersebut ditinjau ulang?

Sinergitas antara komponen ekosistem sekolah di sekolah negeri nampaknya berjalan lebih terjal. Sebagai contoh, pemungutan biaya untuk pembelian buku yang jelas-jelas digunakan untuk menunjang pembelajaran saja terkadang masih mendapat tanggapan miring bahkan penolakan khususnya dari orang tua siswa. Saya tak hendak mengeluh pada aturan pemerintah tersebut, melalui tulisan ini saya mengajak pada rekan-rekan sejawat untuk tak patah arang memajukan sekolah tempat mengabdi masing-masing meski kembang kempis. Memanfaatkan asset yang ada hingga optimal.

Demikianlah kami belajar di Pendidikan Guru Penggerak, khususnya menggunakan pendekatan berbasis aset untuk mengoptimalkan potensi sekolah, dan sebaliknya mengurangi atau bahkan menghilangkan cara pandang tradisional yang umumnya didominasi pendekatan berbasis kekurangan. Bagi saya pribadi, hal ini menarik, karena mengabdi di sekolah negeri dengan peraturan-peraturan yang mesti tegak lurus pada pemerintah, membuat diri tidak cukup berpikir keras, namun juga harus cerdas mengoptimalkan celah-celah yang ada guna mengembangkan sekolah juga memfasilitasi siswa dengan lebih baik.

Kata kuncinya adalah kolaborasi, dimulai dari elemen-elemen komponen biotik atau unsur hidup yang saling membangun interaksi yang kolaboratif. Jika kita melihat arah Pendidikan saat ini dengan jujur, tindakan-tindakan kolaboratif inilah yang sebetulnya didorong penuh oleh Kementerian. Maka muncul istilah komunitas praktisi, komunitas belajar, dan lain sebagainya. Istilah-istilah ini sebetulnya dibuat relevan guna mengikuti perkembangan zaman tanpa menghilangkan istilah-istilah yang lebih dulu dikenal seperti KKG, MGMP atau lain sebagainya. Dengan komunitas-komunitas yang terbarukan tadi bahkan guru beda jenjang dapat saling belajar dan terlibat diskusi yang positif untuk memajukan sekolah.

Tentu membutuhkan kesadaran komunal untuk berkolaborasi yang dimulai dari ekosistem di sekolah masing-masing, saat ini memasuki era kolaborasi, sukses dan gemilang bersama. Kompetisi dalam batas tertentu, tetap diperlukan, namun yang terpenting adalah kesadaran untuk terus berproses, belajar, dan berkembang. Begitulah perjalanan sebagai guru belajar sepanjang hayat, long life learner, belajar dari timangan hingga liang lahat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image