Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aisyah Fitria Sari

Budaya vs Modernisasi: Siapa yang Menang?

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 18 Apr 2024, 16:26 WIB
Kebudayaan dan Modernisasi dalam pendidikan

Di negara Indonesia, ratusan bahkan ribuan suku dengan adat-istiadatnya masing-masing menjadi hal yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, upaya bersama untuk meraih cita-cita bersama serta mengakui dan menghargai keberagaman budaya telah menjadi pondasi kuat bagi persatuan bangsa. Hal ini mencerminkan semangat bahwa warga Indonesia dari beragam latar belakang, suku, adat, ras, bahasa, dan agama dapat bersatu dalam menyongsong masa depan bersama sebagai satu bangsa yang solid: bangsa Indonesia (Oentoro, 2010). Oleh karena itu, semboyan ini bukan hanya menjadi sebuah slogan, namun juga menjadi prinsip yang mengingatkan bahwa negara dan masyarakatnya harus senantiasa memelihara komitmen untuk memberikan ruang yang luas bagi keberagaman.

Pendidikan dan kebudayaan memiliki hubungan yang saling terkait erat. Kebudayaan tidak dapat berkembang tanpa pendidikan, dan pendidikan harus selalu berada dalam konteks kebudayaan yang berubah-ubah. Pentingnya pendidikan sebagai fungsi filterisasi, memproses, dan mengolah bahan-bahan budaya baru yang masuk, sehingga dapat mempertahankan nilai-nilai lokal dan nasional yang penting untuk keberlangsungan budaya dan integrasi sosial yang kokoh.

Terdapat beragam peran yang dimainkan oleh budaya dalam aspek pendidikan, yang membentuk landasan penting bagi proses pembelajaran dan pengembangan individu. Peran penting Pendidikan kaitannya dengan budaya yaitu mentransmisikan nilai-nilai positif yang diakui dalam budaya, seperti kerjasama, toleransi, dan tanggung jawab, yang membentuk landasan untuk membangun interaksi sosial yang baik dan pembentukan karakter yang kuat.

Dalam kurikulum dan pengajaran, penggunaan materi dan metode yang mencerminkan pandangan budaya peserta didik memperkaya pengalaman belajar mereka, membuatnya lebih relevan dan menarik, serta memperkuat hubungan antara pembelajaran di sekolah dengan kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya dalam pendidikan multikultural, pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman budaya tidak hanya membantu membangun pemahaman lintas budaya dan mengurangi diskriminasi, tetapi juga membentuk fondasi bagi terciptanya lingkungan belajar yang beragam.


Menurut Ki Hajar Dewantara, sistem pendidikan harus diarahkan pada pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam. Pendekatan ini akan memungkinkan generasi muda untuk menghargai dan merayakan keberagaman budaya yang menjadi ciri khas Indonesia (Tilaar, 2002). Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukan sekadar proses penyampaian pengetahuan, tetapi juga merupakan tempat di mana benih-benih kebudayaan ditanamkan dalam jiwa generasi muda.

Konsep ini menggambarkan pendidikan sebagai sarana untuk mentransfer nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, serta membantu membentuk karakter dan identitas budaya individu. Pendidikan harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk memahami, menghargai, dan menginternalisasi nilai-nilai budaya yang menjadi bagian dari identitas nasional mereka.

Pendapat Ki Hajar Dewantara tentang peran pendidikan dalam kebudayaan Indonesia, khususnya dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, memiliki nilai yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan masuknya budaya baru yang telah diuraikan sebelumnya. Masuknya budaya dari negara lain sering kali mengakibatkan penurunan moral, seperti kurangnya penghormatan terhadap aturan sopan santun, kurangnya rasa segan kepada orang tua, dan tidak timbulnya sikap gotong royong (Suseno, 2001). Contoh tersebut adalah fakta dari dampak buruk masuknya budaya asing tanpa proses filtrasi atau pengolahan terlebih dahulu, sehingga berdampak negatif pada generasi muda.

Padahal sejatinya, modernisasi dalam aspek pendidikan telah menjadi pendorong utama dalam perubahan terhadap cara kita memahami, mendekati, dan melaksanakan proses pendidikan secara menyeluruh. Salah satu yang paling menonjol dari modernisasi adalah kemajuan teknologi seperti komputer, internet, perangkat mobile, dan perangkat lunak pendidikan telah membuka pintu bagi akses yang tak terbatas terhadap sumber daya pembelajaran, memperluas cakupan pembelajaran dan meningkatkan fleksibilitas dalam metode pengajaran.

Selain itu, modernisasi juga memungkinkan pengembangan metode pengajaran yang lebih inovatif dan efektif, seperti pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran kolaboratif, dan pembelajaran berbasis masalah, yang memberikan peserta didik kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Di samping itu, modernisasi juga telah membawa penekanan pada pengembangan keterampilan dan pemahaman yang mendalam daripada sekadar penghafalan.

Ki Hajar Dewantara juga mengakui pentingnya memahami kodrat zaman dalam konteks pendidikan. Kodrat zaman mencerminkan pemahaman tentang dinamika sosial, ekonomi, politik, dan teknologi yang ada dalam masyarakat. Pendidikan yang relevan harus mampu mengintegrasikan pemahaman ini dalam kurikulum dan praktik pembelajaran, sehingga menciptakan individu yang tidak hanya memiliki pemahaman yang mendalam tentang budaya mereka, tetapi juga mampu beradaptasi dan berkembang dalam konteks zaman yang terus berubah. Hal ini bertujuan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kedewasaan moral, kesadaran lingkungan, dan kesiapan untuk menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

Budaya dan modernisasi memiliki peran yang saling melengkapi dalam membentuk landasan yang kuat untuk pengembangan peserta didik secara menyeluruh. Dalam konteks pendidikan, pemahaman terhadap budaya memungkinkan pengintegrasian nilai-nilai, tradisi, dan bahasa yang unik bagi setiap kelompok peserta didik. Di sisi lain, modernisasi membawa kemajuan teknologi dan metode pembelajaran inovatif yang dapat meningkatkan akses, fleksibilitas, dan kualitas pendidikan.

Dengan memadukan budaya dan modernisasi, pendidikan dapat menjadi lebih tajam dan relevan bagi semua peserta didik. Pendidikan yang berhasil tidak hanya tentang mengadopsi teknologi baru atau mempertahankan budaya, tetapi tentang menciptakan lingkungan belajar yang dinamis yang memadukan elemen-elemen budaya dan modernisasi untuk mendukung perkembangan peserta didik secara menyeluruh.

Kesimpulan

Membahas soal pendidikan, tidak ada yang lebih unggul di antara budaya dan modernisasi karena keduanya memiliki nilai yang penting dan kontribusi yang berbeda. Budaya memberikan landasan untuk identitas dan nilai-nilai yang kuat bagi peserta didik, sementara modernisasi membawa inovasi, kemajuan teknologi, dan akses ke sumber daya pendidikan yang lebih luas. Pendekatan terbaik dalam pendidikan adalah menggabungkan kedua aspek ini secara bijaksana. Ini berarti mempertahankan dan memahami budaya sambil juga memanfaatkan potensi modernisasi untuk meningkatkan pembelajaran.

Penggunaan teknologi yang tepat dan integrasi nilai-nilai budaya dalam kurikulum adalah contoh-contoh praktis bagaimana kedua aspek ini dapat disatukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang beragam, bagus dan sesuai dengan zaman. Dengan demikian, kita dapat mempersiapkan generasi masa depan yang berpengetahuan luas, terampil, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Referensi

Dewantara, Ki Hajar. (1994).Bagian II Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman peserta didik

Manan, Imran.(1989).Dasar-Dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan P2LPTK.

Oentoro, Jimmy B.(2010).Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, Frans Magnis.(2001). Kuasa dan Moral. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tilaar, H.A.R.(2002).Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image