Meraih Kemenangan Idul Fitri
Agama | 2024-04-11 10:10:42Idulfitri menjadi hari raya bagi umat Islam setelah mereka melaksanakan puasa Ramadan. Idulfitri dilaksanakan pada tanggal 1 Syawal sebagai momentum untuk meraih kemenangan dan pencerahan diri setelah puasa sebulan penuh dilaksanakan. Dalam bahasa daerah, Idulfitri disebut juga sebagai lebaran. Kata ini konon berasal dari kata lubaran (bahasa Sunda) yang berarti melepas semua dosa kepada dan antar sesama, sebab lebaran menjadi momentum penting untuk saling memaafkan.
Lebaran menggambarkan proses saling melepaskan kesalahan dan menghapusnya. Pada momentum ini, setiap orang dianjurkan uintuk saling memaafkan sehingga kaitan dosa di antara mereka menjadi terhapus. Kebahagiaan mewujud dengan terhapusnya dosa antar sesama. Hal ini mencerminkan dimensi sosial dari peristiwa idulfitri untuk saling memaafkan.
Tidak hanya itu, idulfitri menjadi proses untuk kembali kepada kesucian diri dan meraih kemenangan. Istilah yang menggema adalah minal a’idin wal faizin, yang diterjemahkan menjadi orang yang kembali (pada kesucian) dan meraih kemenangan. Dua hal ini menjadi hal yang paling diidamkan oleh setiap orang. Mereka pasti ingin kembali pada kesucian diri dan meraih kemenangan.
Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Mas’ud dituturkan, bahwa Nabi Saw bersabda: ketika umat Nabi melaksanakan puasa pada bulan Ramadan dan mereka keluar untuk melaksanakan salat Idul Fitri, maka Allah berfirman: wahai Malaikatku, setiap yang telah bekerja akan mendapatkan upahnya. Dan hamba-hambaku yang telah melaksanakan puasa Ramadan dan keluar rumah untuk melakukan salat Idul Fitri, serta memohon upah (dari ibadah) mereka, maka saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah memaafkan mereka. Kemudian ada yang berseru, ‘wahai umat Muhammad, kembalilah ke rumah-rumah kalian, aku telah menggantikan keburukan kalian dengan kebaikan’. Allah swt berfirman: wahai hamba-hamba-Ku, kalian berpuasa untukku dan berbuka untukku, maka tegaklah kalian dengan mendapatkan ampunan-Ku terhadap kalian.
Idul Fitri Milik Siapa?
Pertanyaan ini menarik untuk diperhatikan. Siapa sebenarnya yang mencapai idulfitri? Setiap orang pasti mendambakannya.
Idulfitri berkaitan dengan puasa Ramadan. Setelah puasa Ramadan dilaksanakan, idulfitri berlangsung pada tanggal 1 Syawal. Dalam hal ini, idulfitri menjadi kelanjutan dari kewajiban puasa Ramadan. Idulfitri menjadi milik orang yang berpuasa dan melaksanakan seluruh amaliah di dalamnya. Mereka dilatih untuk menjadi orang yang bertakwa sebagaimana penggalan terakhir ayat 183 pada QS al-Baqarah, la’allakum tattaquna (supaya kalian bertakwa).
Pada HR al-Bukhari disebutkan bahwa barangsiapa yang melaksanakan puasa dengan keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah maka dosa yang telah dilakukannya diampuni oleh Allah. Orang yang berpuasa dengan dua prinsip ini yaitu keimanan (imanan) dan hanya mengharap pahala dari Allah (ihtisaban) menjadi prasyarat untuk dapat meraih idul fitri. Keimanan yang dimaksud adalah puasa dijalankan dengan keyakinan bahwa ia adalah perintah dari Allah. Perintah Allah dilaksanakan sebagai bentuk ketundukan kepada-Nya, sehingga dalam dirinya terhimpun kuat komitmen untuk berdekatan dengan-Nya melalui pelaksanaan kewajiban.
Pahala menjadi dambaan setiap orang. Pahala menjadi bekal inti pada kehidupan akhirat kelak. Pahala yang banyak akan memberatkan timbangan amalnya. Dalam hal kaitan hadis ini, seseorang yang menjalankan puasa dengan seluruh ibadah yang mengitarinya bukan mengharap pahala kepada selain-Nya. Pahala yang diharapkan hanya dari Allah.
Idulfitri juga menjadi milik orang yang memaknai puasa dengan baik. Puasa bukan sekedar menahan lapar, haus, dan dorongan seksual di siang hari. Puasa pun menjadi penghalang dirinya dari dorongan berbuat dosa. Puasa menghalangi diri agar terhindar dari buruk sangka, gibah, dan adu domba.
Makna puasa berkaitan pula dengan proses pengisian diri dengan perbuatan baik. Seluruh aktivitas dilakukan untuk berbuat kebaikan dalam proses mendekati-Nya. Puasa dilalui dengan tarawih, tadarus, dan perbuatan baik lainnya.
Proses puasa yang menahan diri dari lapar dipandang sebagai proses merasakan orang-orang selalu lapar. Masih banyak orang yang selalu lapar setiap hari karena tidak ada makanan. Empati seperti ini meneguhkan sebuah kondisi batin untuk menyadari bahwa di sekeliling kita masih ada manusia lain yang terus merasakan lapar.
Dorongan kesadaran ini bukan hanya pada perasaan yang sama. Puasa mengantarkan seseorang untuk melakukan ibadah sosial dengan memberikan infak dan sedekah bagi yang membutuhkan.
Terdapat sebuah hadis, “Siapa yang memberi makanan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang puasa tersebut.” (HR at-Tirmidzi). Hadis ini mengantarkan seseorang untuk bersedekah untuk berbuka puasa. Pahalanya luar biasa yaitu nilai yang sebanding dengan orang yang melaksanakan puasa. Puasa memiliki solidaritas sosial yang tinggi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.