Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Denada Gabriella

Menuju Ekonomi Sirkular ASEAN yang Adil dan Inklusif

Kebijakan | 2024-04-09 15:14:43

Circular Economy atau CE telah menjadi salah satu agenda menarik dalam setiap ASEAN Summit selama beberapa tahun terakhir. Pada 18 Oktober 2021, Framework for Circular Economy for the ASEAN Economic Community (AEC) telah diresmikan, menandai komitmen ASEAN untuk beralih ke model ekonomi yang lebih berkelanjutan. Tujuan utama model CE adalah untuk mengurangi limbah dan polusi dengan memperbaiki rancangan produk, memperpanjang umur produk, dan mendaur ulang material. Dengan kata lain, CE bertujuan untuk menutup “loop” aliran material dalam perekonomian.

Meskipun model CE telah ada sejak lama, namun implementasinya di kawasan ASEAN dapat dibilang kurang efektif. Hal ini dikarenakan, sebagian besar negara anggota ASEAN masih menganut model ekonomi linier yang ditandai dengan penggunaan sumber daya sekali pakai dan menghasilkan jumlah limbah yang masih tinggi. Hal ini berkontribusi pada bertambahnya masalah lingkungan seperti emisi GRK, pencemaran udara dan air, serta penumpukan dan pemadatan sampah. Oleh karena itu, adopsi CE dipandang sebagai solusi jangka panjang bagi ASEAN dalam mengatasi masalah-masalah tersebut dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Sejauh ini, upaya penerapan CE di ASEAN masih bersifat terfragmentasi dan terfokus pada produk atau bahan baku tertentu di yurisdiksi atau klaster produk tertentu (AEC, 2021). Kurangnya harmonisasi standar dan koordinasi antar stakeholders menjadi penghambat bagi adopsi CE yang lebih luas. Oleh karena itu, harmonisasi standar dan fasilitasi perdagangan menjadi salah satu prioritas utama dalam kerangka kerja ekonomi sirkular di ASEAN.

Di sisi lain, harmonisasi standar dan kebijakan terkait ekonomi sirkular di ASEAN juga menghadapi tantangan karena adanya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi dan prioritas di setiap negara anggota. Misalnya, negara-negara berpendapatan tinggi seperti Singapura dan Indonesia mungkin lebih mudah untuk segera menerapkan standar dan peraturan yang ketat terkait pengelolaan limbah dan daur ulang. Sementara negara berkembang seperti Kamboja, Laos dan Myanmar mungkin perlu menempuh transisi yang lebih bertahap sambil terus mengejar pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang fleksibel dalam merumuskan kebijakan ekonomi sirkular di tingkat ASEAN, sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan khusus dari setiap negara anggota.

Teori ekologi politik menurut Newell (2004), menekankan bahwa masalah lingkungan tidak dapat dipisahkan dari konteks politik, ekonomi, dan sosialnya. Dalam kaitannya dengan ekonomi sirkular di ASEAN, teori ekologi politik global dapat memproyeksikan kepentingan dan kekuatan politik yang memengaruhi implementasi kebijakan terkait ekonomi sirkular di ASEAN. Dalam pemikiran ini, teori dapat menjelaskan mengapa harmonisasi standar lingkungan seringkali sulit dicapai karena adanya perbedaan kepentingan antara berbagai stakeholders seperti pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat. Dengan memahami dinamika kekuatan politik dan ekonomi global, diharapkan implementasi ekonomi sirkular di ASEAN dapat berjalan lebih efektif.

Negara-negara anggota ASEAN menunjukkan perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tercermin dari data pertumbuhan GDP tahun 2020 hingga 2022. Berdasarkan data dari World Bank tahun 2023, negara seperti Malaysia dan Thailand mengalami kontraksi ekonomi cukup dalam di tahun 2020 akibat pandemi, namun mampu pulih dengan pertumbuhan positif di atas 3% pada 2021 dan bahkan melonjak di atas 8% pada 2022. Sementara itu, ekonomi negara seperti Vietnam dan Kamboja terbukti lebih tangguh selama masa pandemi dengan pertumbuhan positif 2-3% pada 2020 dan mulai meningkat pesat di atas 5% pada 2022 (World Bank, (2023). Di sisi lain, negara seperti Brunei Darussalam dan Myanmar justru terus mengalami perlambatan ekonomi bahkan sampai pada 2022.

Infografis Kerangka Ekonomi Sirkular diambil dari UNCTAD

Perbedaan kondisi makroekonomi ini menunjukkan bahwa prioritas setiap negara ASEAN dalam pemulihan ekonomi pascapandemi dan pencapaian pertumbuhan berkelanjutan sangat beragam. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya harmonisasi standar ekonomi sirkular secara regional, yang membutuhkan pendekatan fleksibel untuk mengakomodasi kebutuhan khusus setiap negara.

Perbedaan kondisi ekonomi antar negara di ASEAN berdampak pada ketersediaan sumber daya finansial dan kelembagaan untuk mendukung implementasi kebijakan dan standar ekonomi sirkular. Secara umum, negara berpenghasilan tinggi seperti Singapura memiliki akses pendanaan, keahlian teknis, dan institusi yang lebih matang untuk melaksanakan regulasi daur ulang atau skema produksi bersih yang ketat. Sementara negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah masih sangat bergantung pada arus investasi dan pinjaman luar negeri dalam pembiayaan infrastruktur hijau mereka, yang kerap menjadi isu sensitif politik dan berujung pada utang luar negeri yang membengkak.

Perbedaan prioritas pembangunan antar negara anggota ASEAN juga berkontribusi pada tantangan harmonisasi standar ekonomi sirkular. Menurut Hickel & Kallis (2020), negara maju cenderung lebih agresif dalam menetapkan target penurunan emisi GRK dan peningkatan efisiensi sumber daya. Sebagai contoh, berdasarkan laporan NEA pada tahun 2023 Singapura menargetkan peningkatan rasio daur ulang sampah domestik dan industri dari 57% pada 2022 menjadi 70% pada 2030.

Sebaliknya, negara berkembang masih berupaya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi. Vietnam misalnya, pertumbuhan ekonomi Vietnam diperkirakan melambat menjadi 6,3% pada tahun 2023 dari 8% yang diharapkan karena perkembangan jasa yang moderat dan kenaikan harga serta suku bunga yang membebani para investor dan individu. Karena penguatan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama, Vietnam menjaga pertumbuhan sebesar 6,6% terhadap PDB pada 2024. Pada 2023, pembangkit listrik tenaga batu bara - 79,95 miliar kWh, menyumbang 49,8% dari seluruh total sistem pembangkit listrik Vietnam. Perbedaan prioritas antara Singapura dan Vietnam dapat menyulitkan konsensus ASEAN terhadap target-target regional yang terikat secara hukum. Karenanya, dibutuhkan penyesuaian target yang realistis dan stimulan finansial untuk mendorong partisipasi aktif seluruh anggota ASEAN pada berbagai tingkat pembangunan ekonomi.

Skema pendanaan bersama untuk mendukung implementasi ekonomi sirkular di ASEAN sangat dibutuhkan mengingat tantangan pendanaan yang dihadapi negara-negara berkembang ASEAN dalam pembiayaan infrastruktur hijau. Salah satu skema pendanaan yang telah terbukti sukses dalam mendukung harmonisasi standar ekonomi sirkular di Uni Eropa adalah LIFE programme.

LIFE programme merupakan instrumen pendanaan Uni Eropa untuk lingkungan dan aksi iklim dengan total anggaran €5,4 miliar pada periode 2021-2027. LIFE programme memiliki 4 sub-program: Alam dan Keanekaragaman Hayati; Ekonomi Sirkular dan Kualitas Hidup; Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim; dan Transisi Energi Bersih. Proyek LIFE di bawah sub-program Ekonomi Sirkular dan Kualitas Hidup akan mengembangkan teknologi dan solusi untuk meningkatkan ekonomi sirkular. Proyek ini mencakup pemulihan sumber daya dari limbah, pengelolaan air, udara, tanah, bahan kimia, dan lainnya.

Salah satu kunci kesuksesan LIFE programme adalah pendekatan bottom-up dengan keterlibatan multi-stakeholder. Proyek LIFE tidak hanya didanai oleh Komisi Uni Eropa, namun mensyaratkan co-financing dari mitra lokal seperti otoritas publik, perusahaan swasta, universitas, LSM, dan lainnya. Hal ini memastikan keterlibatan dan kepemilikan lokal yang tinggi dalam implementasi proyek. Sebagai contoh, total proyek LIFE di Irlandia dari tahun 1992 hingga 2020 mencapai €176 juta dengan €60 juta diantaranya berasal dari co-financing mitra Irlandia.

Pendekatan co-financing ini berbeda dengan skema pendanaan multilateral lainnya seperti Global Environment Facility (GEF) yang sepenuhnya didanai oleh pendonor. Walaupun GEF telah sukses mendanai banyak proyek lingkungan di negara berkembang, ketergantungan pada pendanaan eksternal dapat menghambat keberlanjutan jangka panjang. Sebaliknya, pendekatan cost-sharing LIFE programme dapat mendorong sustainability, kapasitas teknis dan kelembagaan, serta kesadaran publik di tingkat lokal.

Oleh karena itu, versi adaptasi LIFE programme di tingkat ASEAN dapat meningkatkan partisipasi dan dukungan negara anggota untuk mencapai target ekonomi sirkular ASEAN. Skema ini dapat didanai oleh negara anggota ASEAN secara adil melalui kontribusi tahunan, dengan tambahan co-financing dari mitra lokal. Prioritas pendanaan dapat ditujukan pada inovasi ekonomi sirkular skala kecil dan menengah yang memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial, misalnya bank sampah komunitas, pengolahan limbah pertanian, atau perbaikan dan desain ulang produk elektronik.

LIFE Programme versi adaptasi ASEAN harus menerapkan prinsip adil dan merata dengan memastikan akses pendanaan yang setara bagi pelaku usaha dan komunitas di negara-negara ASEAN tanpa memandang tingkat pendapatan negara. Proses aplikasi dan administrasi harus dipermudah bagi pelaku ekonomi sirkular skala kecil. Di tingkat implementasi proyek, pendampingan teknis dari sekretariat ASEAN harus disediakan untuk membangun kapasitas lokal. Dengan demikian, skema ini dapat mempercepat adopsi praktik ekonomi sirkular di ASEAN secara inklusif dan berkelanjutan.

Skema pendanaan LIFE Programme versi ASEAN ini juga dapat mengatasi tantangan implementasi circular economy khusus di Thailand. Dengan pendekatan bottom-up dan cost sharing, skema ini dapat memperluas akses pendanaan bagi LSM lingkungan dan komunitas pemulung yang selama ini terpinggirkan dari manfaat reformasi ekonomi sirkular. Skema bersama ini juga dapat memitigasi pengaruh politik dan penolakan dari korporasi petrokimia dengan mensyaratkan kontribusi pendanaan yang adil dari berbagai pihak, bukan hanya pemerintah. Lebih jauh, skema ASEAN LIFE Programme harus memprioritaskan pemberdayaan aktor-aktor marjinal melalui hibah langsung dan pendampingan teknis guna meningkatkan kapasitas dan peran serta mereka dalam ekonomi sirkular secara inklusif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image