Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. H. Dana, M.E.

Syirik: Menganggap Jabatan Sebagai Sumber Rezeki

Agama | Sunday, 07 Apr 2024, 03:44 WIB

Oleh: Dr. Dana, M.E

Seorang Muslim, memiliki jabatan atau kedudukan tidak dilarang selama proses mendapatkannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika jabatan tersebut diperoleh secara halal, itu bisa menjadi sarana untuk berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, jika cara mendapatkannya melanggar ajaran Islam, itu bisa menjadi perangkap syirik yang menghalangi keberkahan dan ketakwaan. Mengapa demikian? Karena jika cara mendapatkannya tidak sesuai dengan syariat, niatnya juga bisa saja hanya karena dunia, bukan karena Allah.

Menurut Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, beramal untuk dunia termasuk ke dalam syirik niat dan tujuan. Maksudnya adalah seseorang melakukan satu amal yang sepatunya diniatkan mencari wajah Allah, tetapi dia melakukannya demi satu tujuan dunia, itu adalah syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid dan membatalkan amal. Sebagaimana firman-Nya;

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيۡهِمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ فِيهَا وَهُمۡ فِيهَا لَا يُبۡخَسُونَ ١٥ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيۡسَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٦

Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).

Syirik, dalam Islam, merupakan perbuatan dosa yang mengacu pada pengenyampingan atau asosiasi sesuatu dengan Allah SWT. Salah satu bentuk syirik yang kurang disadari adalah ketika seseorang memandang jabatan atau kedudukan sebagai sumber rezeki selain Allah. Ketika seseorang sampai pada tahap meyakini bahwa dengan jabatan itulah dia bisa mendapatkan rezeki, dan mengenyampingkan peran Allah, dia telah menyimpang dari prinsip-prinsip tauhid. Allah SWT berfirman;

ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزۡقٗا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادٗا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢

Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 22).

Dalam tafsir ibnu Katsier, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah, فَلاَ تَجْعَلُوالِلَّهِ أنْدَادًا Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, “al-Anddaad berarti syirik yang lebih samar dari pada semut melata di atas batu hitam pada kegelapan malam. Termasuk menjadikan andaad bagi Allah adalah ucapan, “Demi Allah dan demi hidupmu serta demi hidupku, hai fulan.

Perumpamaan tentang semut melata di atas batu hitam pada kegelapan malam menggambarkan betapa samarnya perbuatan syirik untuk bisa dilihat, sehingga sering tidak disadari bahkan dianggap remeh oleh manusia. Padahal Allah sangat memperhatikan hal-hal terkecil sekalipun. Oleh karena itu, sangat penting bagi umat Islam untuk menjauhi segala bentuk syirik, baik yang jelas maupun yang samar.

Fenomena kesalahpahaman dalam memandang jabatan sering terjadi di tengah masyarakat, di mana orang-orang cenderung terpaku pada ambisi untuk mempertahankan atau memperoleh jabatan, bahkan stress ketika kehilangan jabatan atau menghadapi pensiun, dengan hilangnya jabatan beranggapan berarti rezekinya berkurang atau hilang. Fakta menunjukkan, terdapat banyak kasus orang tidak mau melepaskan jabatan, padahal dirinya sudah terlalu lama memegang jabatan tersebut.

Pertanyaan mengapa ia ingin terus memegang jabatan? tentu memiliki beragam jawaban. Di antaranya, ada yang menganggap jabatan tersebut sebagai sumber rezeki, ada pula yang merasa nyaman dengan jabatan tersebut, atau bisa saja menganggap dengan jabatan tersebut dirinya menjadi terhormat, sehingga dirinya merasa takut ketika jabatannya lepas. Namun, perlu disadari bahwa sikap tersebut dapat membawa seseorang pada perilaku syirik. Karena sejatinya, yang memberikan rezeki, kenyamanan, dan kehormatan hanyalah Allah SWT. Menurut Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hendaklah seorang Muslim hanya menisbatkan nikmat kepada Allah SWT semata.

Pentingnya jabatan dalam masyarakat modern seringkali membutakan pandangan terhadap ajaran Islam. Seiring dengan naiknya tanggung jawab dan pengaruh yang dimiliki oleh pemegang jabatan, timbullah kesalahpahaman bahwa kemakmuran dan kesuksesan hidup secara otomatis terkait dengan posisi tersebut. Akibatnya, orang-orang mulai menempatkan kepercayaan yang seharusnya hanya bagi Allah kemudian bergeser kepada jabatan yang diembannya, menjadikan jabatan sebagai objek pemujaan dan kekaguman. Padahal, dalam ajaran Islam, rezeki bukanlah berasal dari jabatan atau posisi seseorang, melainkan dari Allah SWT. Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk jabatan dan kedudukan. Jabatan hanya sebagai wasilah atau perantara yang Allah gunakan untuk mendistribusikan rezeki-Nya.

Kesalahpahaman dalam memandang jabatan tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi merusak akhlak dan moral seseorang. Obsesi akan jabatan dapat memicu perilaku korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan, karena individu yang terjebak cenderung lebih mementingkan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan umum. Orang yang memandang jabatan sebagai sumber rezeki dan kehormatan dapat melakukan segala cara, bahkan melanggar prinsip-prinsip Islam, demi mempertahankan atau memperoleh jabatan yang diinginkan.

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image