Budaya Patriarki Pemicu Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Hukum | 2024-04-05 23:11:01Konsep Patriarki pada umumnya menyatakan bahwa laki-laki memiliki peranan penting dalam kekuasaan atau kedudukan dalam tatanan sosial. Budaya patriarki ini diturunkan secara turun-temurun yang mana menganggap perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam segi hal apapun dan selalu menempatkan laki-laki dalam posisi yang tinggi, berwibawa, dan terhormat. Berbanding dengan perempuan yang selalu ditempatkan dalam posisi lebih rendah dibandingkan laki-laki dan dianggap lemah.
Patriarki adalah sebuah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas dalam segala aspek sosial dan juga sebuah sistem sosial hubungan gender yang didalamnya terdapat ketidaksetaraan gender. Sejak kecil, orang tua telah membedakan antara tugas anak perempuan dan tugas anak laki-laki dimana laki-laki selalu diajarkan menjadi seorang pemimpin, tanpa disadari hal itu merupakan awal dari terjadinya patriarki yang nantinya akan terus turun temurun kepada generasi selanjutnya.
Dalam pelbagai aspek sosial terdapat ketidakadilan gender terutama perempuan yang sering tidak diuntungkan daripada laki-laki. Contohnya, dalam hal pekerjaan seringkali upah bagi perempuan sangat rendah meskipun ia memiliki kualitas kinerja kerja lebih baik dibandingkan lakilaki, dalam dunia politik pun laki-laki sangat mendominasi parlemen dibandingkan perempuan bahkan persentase pencalonan bagi perempuan di parlemen hanya 30 persen itu pun kenyataanya seringkali kurang dari angka persentase tersebut. Begitupun perempuan selalu ditempatkan dalam pekerjaan domestik seperti mengurus rumah tangga, mengurus anak, suami, dan harta suami seakan-akan jika ada perempuan yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan aktif berkarir di dunia kerja atau politik dianggap menyalahi kodrat perempuan.
Budaya patriarki ini berpengaruh terhadap ketidaksetaraan gender dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Laki-laki yang selalu mendominasi kekuasaan tinggi membuat mereka dapat bertindak seenaknya terhadap perempuan bahkan kekerasan seksual saat kini tidak lagi memandang siapa pelakunya, bahkan ayah, kakak laki-laki, tetangga lakilaki, bos, dan dosen sekalipun bisa menjadi pelaku terjadinya kekerasan seksual. Posisi laki-laki yang memiliki sifat yang kuat dan keras juga membuat perempuan terkadang sulit mengelak ketika kekerasan tersebut terjadi.
Adapun kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS Pasal 4 Ayat 1 membagi kekerasan seksual pada sembilan jenis yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Menurut data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) dalam periode 1 Januari – saat ini menyatakan terdapat 25.781 kasus kekerasan di Indonesia dan 22.660 dari keseluruhan merupakan perempuan sebagai korbannya dan kekerasan yang banyak dialami adalah kekerasan seksual.
Data di atas belum seluruhnya akurat, karena masih banyak di luar sana korban akibat kekerasan seksual yang tidak melaporkan kasusnya karena beberapa hambatan yakni merasa malu jika harus melaporkan hal tersebut pada pihak berwenang, mendapatkan ancaman dari pelaku apabila korban melapor, terkadang ketika korban melaporkan kejadian yang menimpanya justru yang disalahkan korbannya bukan pelakunya, dan dominasi kuasa laki-laki pun menjadi hambatan bagi perempuan yang menjadi korban untuk melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya. Oleh sebab itu, budaya dominasi laki-laki atau patriarki ini berdampak pada segala aspek kehidupan.
Islam tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam kedudukan, yang membedakan adalah pada tingkat keimanan dan ketakwaan. Namun, laki-laki diberikan tingkat lebih tinggi dari perempuan bukan untuk merendahkan dan melecehkan perempuan, tetapi utuk menjadi imam yang bertanggung jawab atas istri dan anaknya.
Akibat patriarki yang memakan banyak korban, timbullah gerakan feminisme yakni gerakan perempuan yang menyuarakan tuntutan mengenai persamaan hak sepenuhnya antara kaum laki-laki dan perempuan, tetapi di tengah gaungan feminisme, patriarki terus berlanjut tanpa disadari oleh masyarakat. Sebab, patriarki tersebut telah melekat sejak kecil seolah-olah merupakan hal yang wajar. Nafsu laki-laki yang tidak terkontrol menimbulkan hal-hal bejat dan jahat yang kemudian menyalurkan hasratnya pada perempuan dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan, pencabulan fisik dan lainnya yang menjadikan hal itu trauma besar bagi perempuan. Bukan saja fisiknya yang menjadi korban perbuatan kekerasan seksual tersebut tetapi psikisnya atau kejiwaannya ikut terganggu.
Sistem Patriarki yang krusial ini menyebabkan laki-laki memiliki privilege atas keputusan yang dikehendakinya termasuk perlakuannya pada perempuan. Masyarakat yang menerapkan sistem ini cenderung menerima segala keputusan laki-laki walaupun perlakuannya berbentuk hal yang tidak positif.
Tentunya, akar dari permasalahan kekerasan seksual pada perempuan yakni sistem patriarki yang terus diwariskan dan dilakukan secara disadari dan tidak disadari yang akan berdampak pada masalah kehidupan sosial lainnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.