Misinformasi Online Menghasilkan Memori Palsu
Eduaksi | 2024-04-05 18:12:27Tidak semua misinformasi mempunyai dampak buruk yang sama.
Poin-Poin Penting
· Misinformasi online merusak ingatan kita.
· Orang-orang lebih rentan terhadap misinformasi online yang terkait dengan suatu peristiwa.
· Detail inti suatu acara tidak terlalu rentan terhadap misinformasi online.
Misinformasi telah menjadi epidemi di era Internet. Hal ini merusak kepercayaan antarpribadi, memperburuk polarisasi politik, mengancam ketertiban sosial, dan menciptakan ketakutan dan ketidakpastian. Dampak buruknya sangat besar bagi individu, komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan.
Sampai batas tertentu, agar informasi yang salah dapat “sampai kepada kita”, kita harus “menerimanya”. Namun tidak semua informasi yang salah bersifat persuasif sehingga efektif dalam menghasilkan keyakinan dan ingatan yang salah. Penelitian telah menunjukkan bahwa banyak faktor, seperti nada emosional dan logika yang melekat pada sebuah laporan berita, memengaruhi cara orang memandang kebenaran suatu informasi.
Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, kami melihat peran sentralitas informasi dalam menciptakan memori palsu. Informasi sentral berkaitan dengan elemen-elemen kunci dari suatu peristiwa, seperti siapa tokoh protagonisnya dan apa yang terjadi pada mereka (misalnya, Angie memberikan uang kepada seorang pemain gitar jalanan). Sebaliknya, informasi periferal berkaitan dengan detail kontekstual di luar peristiwa utama (misalnya, ada orang yang berjalan di jalan). Mengingat bahwa informasi sentral secara langsung mendefinisikan makna peristiwa tersebut, maka informasi yang menyimpang dari informasi tersebut, yaitu misinformasi sentral (misalnya, pria tersebut sedang bermain biola di jalan), akan lebih kecil kemungkinannya untuk diterima sebagai informasi yang benar dibandingkan misinformasi periferal (misalnya, ada sebuah kelompok). pelari di dekatnya).
Kami memeriksa bagaimana paparan terhadap misinformasi online, baik yang bersifat sentral atau periferal terhadap peristiwa aslinya, akan memengaruhi ingatan. Kami membiarkan peserta menonton GIF peristiwa kehidupan sehari-hari (misalnya, seorang wanita memberi tip kepada musisi jalanan). Kami kemudian menyajikan kepada mereka tweet simulasi yang berisi informasi pusat atau periferal yang benar atau salah mengenai peristiwa GIF. Setelah itu, peserta diuji ingatannya tentang peristiwa GIF: Mereka membaca pernyataan yang berisi informasi yang sebelumnya mereka lihat di tweet atau informasi yang tidak disertakan dalam tweet dan menilai setiap pernyataan sebagai benar atau salah terkait dengan peristiwa GIF.
Peserta lebih cenderung salah mengenali misinformasi sebagai kebenaran jika misinformasi tersebut sebelumnya pernah muncul di tweet dibandingkan jika tidak. Selain itu, mereka menunjukkan kerentanan yang lebih besar terhadap misinformasi periferal dibandingkan misinformasi pusat yang diekspos melalui tweet: Misinformasi periferal dalam tweet lebih banyak dikenali dan diterima dengan penolakan yang lebih sedikit dibandingkan misinformasi sentral.
Oleh karena itu, setelah orang mengalami atau menyaksikan peristiwa di kehidupan nyata, paparan terhadap informasi yang salah secara online akan meningkatkan ingatan palsu secara signifikan. Hal ini khususnya terjadi ketika misinformasi berkaitan dengan aspek periferal dan bukan aspek sentral dari peristiwa tersebut. Menariknya, partisipan Amerika keturunan Asia dan kulit putih dalam penelitian menunjukkan pola ingatan palsu yang sama setelah terpapar misinformasi melalui tweet, meskipun dalam satu percobaan, orang Asia kurang terpengaruh oleh misinformasi dibandingkan orang kulit putih.
Internet dan media sosial telah mempercepat penyebaran informasi yang salah. Hal ini, ditambah dengan kurangnya pengecekan fakta yang efektif di platform, telah mengakibatkan bencana besar yang memerlukan penelitian dan intervensi. Memahami faktor-faktor yang terkait dengan dampak negatif misinformasi membantu kita memerangi misinformasi dengan lebih efektif.
***
Solo, Jumat, 5 April 2024. 6:02 pm
Suko Waspodo
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.