Nestapa PPP, Jatuh Tertimpa Tangga
Politik | 2024-03-29 22:34:24Pepatah 'jatuh tertimpa tangga' nampaknya pas untuk menggambarkan potret PPP belakangan ini. Betapa tidak, partai yang konsisten mendukung pasangan calon presiden (capres) Ganjar-Mahfud itu akhirnya mau tak mau harus mengakui kemenangan capres nomor dua, Prabowo-Gibran. Apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil Pemilu 2024, Rabu (20/3/2024) lalu.
Kekalahan pelik Ganjar-Mahfud memang tak mutlak menjadi kekalahan PPP. Apalagi baik Ganjar maupun Mahfud bukanlah kader asal partainya. Pasangan dengan nomor urut tiga itu sejatinya diusung oleh PDIP tapi juga didukung PPP, Perindo serta Partai Hanura.
Usai Pilpres, perolehan suara Ganjar-Mahfud sebagaimana dirilis KPU yakni sebesar 27.050.878 suara atau 16,47% dari suara sah. Perolehan itu tentu lebih kecil jika dibanding perolehan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) yang memperoleh suara 40.971.906 atau 24,95% dari suara sah. Atau bahkan jauh lebih kecil dari perolehan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming yang memperoleh 96.214.691 suara atau 58,59%.
Kini, kubu paslon tiga yang di dalamnya meliputi PPP, sedang berikhtiar mengajukan gugatan atas alasan kecurangan dan anomali lainnya. Pun dengan paslon satu, kubu AMIN, mengajukan gugatan yang sama. Meski begitu KPU sesuai jadwal yang ditetapkan telah mengumumkan perolehan Pemilu 2024. Memang diberikan tenggat waktu untuk pengajuan gugatan, tapi rasa-rasanya anggapan menang gugatan pun tipis.
Gagal ambang batas
Urusan gugat-menggugat dari koalisi Ganjar-Mahfud pun terus berjalan. Namun PPP rupanya punya PR yang tak kalah pelik. Berdasarkan rekapitulasi akhir suara nasional, partai berlambang Ka'bah itu rupanya hanya mampu meraih 5.878.777 suara, atau hanya 3,87%. Artinya, PPP terancam gagal mengantarkan para kader dan calon legislatif (caleg) terbaiknya masuk Senayan. Sebab, perolehan 3,87% suara dipastikan tak memenuhi syarat ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold/ PT) sebesar 4%.
Lagi-lagi, partai yang dinahkodai Plt Mardiono itu dihantam problem serius terkait ambang batas. Sungguh, 'Dewi Fortuna' dalam pemilu kali ini benar-benar tak memihak PPP. Tak ada kabar baik bagi partai kawakan yang sejatinya telah sangat teruji itu. Padahal, PPP yang telah lahir sejak di era Orde Baru, dimana Presiden Soeharto menancapkan pengaruh dan kekuasaannya harusnya mampu meraih dukungan luar biasa.
PPP lahir dari rahim partai-partai Islam seperti Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Perti dan Partai NU. Atas dasar fusi parpol yang bertujuan menyederhanakan partai politik, PPP kemudian dibentuk dan dilahirkan pada 5 Januari 1973. Hampir setengah abad PPP survive, tapi baru kali ini PPP 'nyungsep'. Tapi perlu dicermati, tren terus merosotnya perolehan suara PPP sesungguhnya sejak Pemilu 1999 lalu.
Dalam gelaran Pemilu 1999, PPP memperoleh 11.329.905 suara (10, 71%) dan menempatkan 58 wakilnya di Senayan. Lalu pada Pemilu 2004, perolehan PPP menurun menjadi 9.248.764 (8,15 persen) namun partai itu tetap bisa mempertahankan 58 kursi parlemen. Tren suara menurun juga terjadi pada Pemilu 2009, yakni 5,54 juta suara (5,33%). Meski begitu, PPP masih bisa mengamankan 38 kursi DPR.
Pada Pemilu 2014, PPP memang tak mengalami penurunan suara. Partai dengan bendera dominasi warna hijau tua itu mampu meraih 8,12 juta suara (6,53%). Sayangnya, kenaikan itu tak diikuti kenaikan wakilnya di Senayan secara signifikan. PPP hanya mampu mendapatkan 39 kursi.
Dalam gelaran pesta demokrasi berikutnya (Pemilu 2019) perolehan suara PPP juga kembali anjlok, yakni sebesar 6,3 juta suara (4,53%). Pada Pemilu 2019, hanya mampu menyelamatkan 19 kursi DPR. Dan pada Pemilu 2024 kali ini, alih-alih merebut kursi DPR, PPP bahkan hanya meraih 5.878.777 suara (3,87%), yang artinya tak lolos memenuhi ambang batas.
Salah Manuver?
PPP benar-benar "sudah jatuh tertimpa tangga". Bukannya mendapat limpahan suara dari suara Pilpres, partai Ka'bah itu bahkan tak mampu memenuhi ambang batas. Namun jika kita cermati, jatuh-bangunnya PPP dalam gelaran pemilu kali ini karena disebabkan beberapa faktor.
Pertama, tak mendapat manfaat coattail effect atau efek ekor jas saat mengusung pasangan Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024. Realita ini sebenarnya tak hanya menjangkiti PPP, tetapi juga pada PDIP. Coattail effect dalam hal ini adalah efek pencapresan Ganjar-Mahfud yang juga gagal mendapat dukungan dari Joko Widodo (Jokowi). Namun karena situasi politik yang akhirnya tak memberikan ruang aman pada Ganjar maupun Mahfud, maka kesempatan itu sirna.
Lagi-lagi dukungan politik dari sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal diprediksi bakal diberikan pada sosok Ganjar nyatanya tak terbukti melainkan justru diberikan pada mantan kompetitornya, Prabowo Subianto. Kasus tiadanya coattail effect pada PDIP maupun PPP ini tentu berbeda dengan Golkar.
Jika dibandingkan, Golkar dalam pemilu ini mengalami lonjakan suara signifikan. Melfin Zaenuri (Kompas) menyebut Golkar telah mengapitalisasi keberhasilan Jokowi dengan menampilkan kedekatan Jokowi dengan Golkar dalam kampanye dan iklan politik. Foto kedekatan Jokowi dan Golkar ditampilkan dalam iklan-iklan Golkar di media massa. Walhasil, partai berlambang beringin itu menjadi pemenang kedua pileg dengan raihan 23.208.654 suara (15,28%). Ketika dikonversi ke kursi parlemen, Golkar akan memiliki 100-an lebih anggota DPR RI (Kompas, 21/3/2024)
Kedua, problematika internal yang tak kunjung beres. Problem ini terutama menyangkut perkara soliditas kader yang terpecah-belah akibat migrasi dukungan saat pencapresan. Sebagian tegak lurus keputusan partai dengan mendukung Ganjar-Mahfud, namun diantaranya mendukung Prabowo-Gibran. Bahkan, ada pula elit parpol yang memberikan dukungan pada kubu AMIN. Hal itu menggambarkan, bangunan struktural PPP yang tak kuat.
Jika ingin belajar dari Partai Golkar, Golkar kali ini tampil dengan performa luar biasa. Secara internal, soliditas Golkar terlihat cenderung stabil. Dan sesungguhnya hal itu menjadi modal yang amat penting untuk menggerakkan infrastruktur politik yang terdistribusi merata hingga ke level paling bawah.
Ketiga, PPP tak cukup adaptif dalam menyikapi situasi masa kini. Dalam hal ini, partai Kabah itu masih tampil idealis-klasik serta kurang memainkan peran pragmatis. Untuk menggaet basis suara muda, PPP harus mengubah wajah klasiknya dengan tampilan baru yang bisa diterima oleh kalangan muda. PPP harus mampu hadir di beragam platform digital sebagai sarana kampanye dan pendidikan politik. Sayangnya, pemilu telah usai dan kesempatan pemilu ulang seakan mimpi belaka.
Entah alasan salah prediksi, atau memang problem internal yang tak kunjung usai, yang jelas PPP kali ini telah jatuh tertimpa tangga. Dan merosotnya perolehan suara PPP mau tak mau harus segera dilakukan evaluasi total jika tak ingin partai legendaris itu hanya menyisakan kenangan.
Didik T. Atmaja, founder Alfa Institute, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.