Mengaji Tanpa Penjiwaan
Alif | 2024-03-24 06:52:07MENGAJI TANPA PENJIWAAN
Salah satu keutamaan bulan Ramadhan adalah diturunkannya kitab suci Al Qur’an. Tepatnya pada malam 17 Ramadhan. Oleh karena itu, kaum Muslimin berlomba-lomba untuk memperbanyak membaca Al Qur’an. Apalagi Allah SWT menjanjikan akan memberikan pahala yang berlipat ganda.
Tidak hanya di rumah-rumah, masjid dan mushalla begitu ramai melantunkan ayat-ayat suci via pengeras suara. Usai shalat Tarawih hingga menjelang tengah malam, suara orang-orang mengaji saling bersahutan dari berbagai penjuru. Bahkan, ada pula yang mengaji usai shalat Shubuh dan menjelang Maghrib.
Di satu ini, hal ini merupakan pertanda positif. Syiar Islam tampak begitu menggema. Semangat orang untuk memperbanyak ibadah amat bergelora. Sebagian membuat target. Minimal bisa khatam sekali. Syukur-syukur bisa dua, tiga, atau lebih. Intinya, mereka begitu antusias terhadap “iming-iming” pahala berkali-kali lipat.
Hanya Berorientasi Pahala
Di sisi lain, ada pula sisi negatifnya. Hanya mengejar pahala semata. Yang terjadi kemudian adalah lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengejar target khatam. Cara yang digunakan adalah membaca dengan SANGAT CEPAT.
Membaca Al Qur’an dengan sangat cepat sudah barang tentu tidak enak untuk didengar, apalagi disimak. Kaidah tajwid dan makhrajul uruf tak lagi diindahkan. Panjang-pendek bacaan tak lagi bisa dibedakan. Berdengung dan tidak berdengung tak lagi dapat dibedakan. Bacaan qalqalah pun menjadi samar.
Sebuah bacaan yang terdengar kaku, monoton, dan kering. Kecepatan membacanya seakan-akan dia dikejar waktu. Seakan-akan dunia segera kiamat. Seperti orang yang berlomba lari. Laksana angin yang bertiup kencang. Tiada unsur seni di dalamnya. Tiada penjiwaan.
Itu bukanlah membaca Al Qur’an, melainkan sekedar “membunyikan” Al Qur’an.
Padahal dalam Al Qur’an sendiri Allah SWT memerintahkan untuk membaca secara perlahan-lahan (wa rattilil qur’aana tartiilaa). Hukum membaca Al-Qur’an dengan tartil adalah fardlu ‘ain. Seruan dalam ayat ini pada dasarnya tertuju kepada Nabi SAW, lalu kepada umatnya yang bersifat mengikuti. Sedangkan mempelajari ilmu tajwid adalah fardu kifayah.
اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ
atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. (Q.S. Al-Muzzammil [73]: 4)
ثُمَّ نَعَتَتْ قِرَاءَتَهُ فَإِذَا هِىَ تَنْعَتُ قِرَاءَةً مُفَسَّرَةً حَرْفًا حَرْفًا
Ummi Salamah lalu menggambarkan cara membaca Nabi Muhammad. Saat itu Ummi Salamah mempraktikan membaca dengan memperjelas setiap satu persatu huruf. (H.R. Imam At-Tirmidzi)
Bukan Sekedar Membaca, Melainkan Juga Mengamalkan
Membaca Al-Qur’an tidaklah sekedar membaca saja, akan tetapi juga harus melihat, mengetahui cara membaca dengan baik dan benar, memahami isi dari bacaan, hingga sampai bisa mengamalkannya. Membaca Al-Qur’an adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis dengan melisankan atau hanya dalam hati, melafalkan apa yang tertulis dalam firman Allah SWT. Untuk bisa membaca dengan baik suatu bahan bacaan, seseorang terlebih dahulu dituntut harus mengenal huruf-huruf dan mampu melafalkan atau mengujarkannya dengan benar dan tepat sesuai kaidah-kaidah pelafalannya (ilmu tajwid dan makhrajul huruf).
Membaca Al Qur’an memiliki pengertian yang luas. Bukan sekedar membaca ayat demi ayat secara tekstual, melainkan membaca yang disertai penjiwaan, pendalaman, dan pemahaman. Setelah Al Qur’an dibaca dengan baik dan benar, tahap selanjutnya adalah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini saya sebut sebagai proses internalisasi Al Qur’an.
Faktanya, masih banyak orang yang rajin membaca Al Qur’an, namun sikap dan perilakunya sehari-hari masih jauh dari tuntunan Al Qur’an. Atau mereka sebenarnya tahu tentang hukum-hukum di dalam Al Qur’an, tapi enggan untuk mengamalkannya. Atau mereka hanya memilih-milih yang mudah dan sesuai dengan kebutuhannya saja, sementara yang berat dan tidak sesuai mereka tinggalkan (belum bisa ber-Islam secara kaffah).
*****
Mari di bulan suci Ramadhan ini kita memperbanyak membaca Al Qur’an secara tartil, kemudian bulatkan tekad untuk dapat mengamalkannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.