![Image](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/profile/thumbs/d4be11f4a7bd0c0d970d304d2a3fca45.jpg)
Apakah Kemarahan Berevolusi untuk Membuat Kita Bahagia?
Humaniora | 2024-03-21 13:38:43![](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/240321133711-265.jpg)
Fungsi kemarahan mungkin untuk mendorong keadilan dan mencegah eksploitasi.
Poin-Poin Penting
· Teori kalibrasi ulang kemarahan melihat kemarahan bukan sebagai kekuatan destruktif, namun sebagai adaptasi sosial.
· Dalam model ini, kemarahan dipandang sebagai mekanisme kalibrasi ulang yang menandakan perlunya tindakan korektif.
· Kemarahan adalah alat strategis yang dapat digunakan untuk menegosiasikan hierarki sosial dan menegaskan batasan.
Kemarahan sering kali dipandang sebagai emosi negatif karena hubungannya dengan agresi dan permusuhan. Namun, beberapa psikolog mempromosikan pemahaman yang lebih bernuansa tentang emosi yang kompleks dan beragam ini, dengan melihatnya melalui lensa teori baru dalam psikologi: Teori kalibrasi ulang kemarahan. Perspektif ini menekankan sifat adaptif kemarahan dan peran kuat kemarahan dalam perilaku manusia.
Teori Kalibrasi Ulang Kemarahan
Teori kalibrasi ulang kemarahan menunjukkan bahwa kemarahan memiliki tujuan evolusioner dengan memotivasi individu untuk mengatasi ketidakadilan dan pelanggaran norma-norma sosial. Kemarahan berfungsi sebagai mekanisme kalibrasi ulang, menandakan ketika tujuan atau harapan individu telah digagalkan dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan perbaikan.
Inti dari model psikologis ini adalah gagasan bahwa kemarahan bukan sekadar kekuatan destruktif namun merupakan alat strategis yang dapat digunakan untuk menegosiasikan hierarki sosial, menegaskan batasan, dan melindungi kepentingan seseorang. Kemarahan dipandang sebagai respons adaptif yang telah berkembang untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi. Dengan memobilisasi sumber daya fisiologis dan psikologis, kemarahan memungkinkan individu menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan di lingkungannya.
Kemarahan dan Institusi Kemasyarakatan
Penelitian baru telah meneliti struktur komputasi kemarahan manusia, dan memberikan perhatian khusus pada kesesuaian antara sistem peradilan pidana Barat dan emosi utama ini. Analisis ini mengungkapkan hubungan struktural antara kemarahan dan ciri-ciri sistem peradilan pidana. Para penulis menawarkan hipotesis evolusi yang menunjukkan bagaimana kebencian dapat menyebabkan beberapa kegagalan dalam sistem peradilan pidana. Mereka menyimpulkan bahwa, pada akhirnya, “lembaga-lembaga masyarakat akan berhasil atau gagal tergantung pada kesesuaiannya dengan sifat manusia.”
Sensitivitas Kalibrasi Ulang
Salah satu komponen kunci dari teori kalibrasi ulang adalah konsep "sensitivitas kalibrasi ulang". Hal ini mengacu pada ambang batas individu yang berbeda-beda dalam mengalami kemarahan sebagai respons terhadap ketidakadilan yang dirasakan. Beberapa orang mungkin memiliki sensitivitas kalibrasi ulang yang rendah, yang berarti mereka mudah marah karena provokasi kecil, sementara yang lain mungkin memiliki ambang batas yang lebih tinggi dan hanya menjadi marah ketika menghadapi ancaman atau pelanggaran yang lebih signifikan. Variabilitas sensitivitas kalibrasi ulang ini diperkirakan dipengaruhi oleh kombinasi kecenderungan genetik, pengalaman masa lalu, dan faktor budaya.
Teori kalibrasi ulang menekankan pentingnya konteks sosial dalam membentuk ekspresi dan interpretasi kemarahan. Norma budaya dan ekspektasi masyarakat memainkan peran penting dalam menentukan perilaku mana yang dianggap sebagai ekspresi kemarahan yang dapat diterima dan mana yang dianggap tabu atau tidak pantas. Misalnya, di beberapa budaya, kemarahan yang terang-terangan bisa dilihat sebagai tanda kekuatan dan ketegasan, sementara di budaya lain, kemarahan bisa dilihat sebagai tanda kelemahan atau kurangnya pengendalian diri.
Pengalaman marah tidak terbatas pada psikologi individu tetapi juga mencakup dinamika sosial yang lebih luas. Kemarahan dapat menjadi sinyal sosial yang kuat, menyampaikan kepada orang lain bahwa suatu batasan telah dilanggar atau suatu norma telah dilanggar. Dengan cara ini, kemarahan dapat memfasilitasi kerja sama dan koordinasi sosial dengan mengedepankan keadilan dan mencegah eksploitasi atau ketidakadilan.
Mengatasi Sisi Berbahaya dari Kemarahan
Meskipun memiliki fungsi adaptif, kemarahan juga dapat menimbulkan konsekuensi negatif jika salah dikelola atau diarahkan. Kemarahan yang tidak terkendali dapat menyebabkan agresi, kekerasan, dan konflik antarpribadi, sehingga merusak keharmonisan dan kerja sama sosial. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan strategi yang sehat dalam mengelola kemarahan dan menyalurkannya secara konstruktif untuk mengatasi masalah atau konflik mendasar.
Salah satu strateginya adalah penilaian ulang kognitif, yang melibatkan penyusunan ulang cara kita memandang dan menafsirkan situasi yang memicu kemarahan. Dengan mengadopsi perspektif yang lebih rasional dan obyektif, individu dapat mengurangi intensitas kemarahan mereka dan menghadapi konflik dengan lebih jelas dan tenang. Selain itu, keterampilan komunikasi seperti mendengarkan secara aktif dan ekspresi tegas dapat membantu individu mengekspresikan kemarahan mereka secara efektif tanpa menggunakan agresi atau permusuhan.
Selain itu, praktik mindfulness, seperti meditasi dan latihan pernapasan dalam, dapat membantu individu menumbuhkan kesadaran emosional dan pengaturan diri yang lebih besar, sehingga memungkinkan mereka merespons pemicu kemarahan dengan lebih terampil. Dengan belajar mengenali tanda-tanda fisiologis kemarahan dan mempraktikkan teknik relaksasi, individu dapat menghentikan siklus otomatis timbulnya kemarahan dan memilih respons yang lebih adaptif.
Kesimpulan
Teori kalibrasi ulang kemarahan menawarkan kerangka kerja yang berharga untuk memahami fungsi adaptif dari emosi yang kompleks ini. Dengan mengenali kemarahan sebagai mekanisme kalibrasi ulang yang menandakan perlunya tindakan korektif, kita dapat memperoleh wawasan tentang perannya dalam perilaku manusia dan interaksi sosial. Dengan mengembangkan strategi yang sehat dalam mengelola dan mengekspresikan kemarahan, kita dapat memanfaatkan kekuatan motivasi untuk mendorong keadilan, menegaskan batasan, dan membina hubungan sosial yang positif. Pada akhirnya, menerima pemahaman yang lebih mendalam tentang kemarahan dapat menumbuhkan kecerdasan emosional yang lebih besar dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih harmonis dan penuh kasih sayang.
***
Solo, Kamis, 21 Maret 2024. 1:28 pm
Suko Waspodo
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.