Akidah Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam
Agama | 2024-03-08 19:54:45Oleh: Dr. H. Dana, M.E
Terdapat beberapa definisi terkait ilmu ekonomi menurut ekonomi konvensional, namun ujung-ujungnya semua bermuara pada satu definisi yaitu, ilmu ekonomi merupakan bagian ilmu sosial yang mempelajari perilaku manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas.
Definisi tersebut secara sepintas sepertinya tidak bermasalah. Padahal kalau dikaji lebih jauh, definisi tersebut terkait dengan prinsip, keyakinan, kepercayaan atau akidah. Dan akidah inilah sebagai sumber penentu baik dan buruknya aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut dapat mempengaruhi, serta mengarahkan perilaku manusia pada nilai-nilai yang diyakininya. Ketika keyakinannya sesuai dengan kebenaran dan kebaikan, maka perilakunya pun demikian. Dan sebaliknya, jika keyakinannya salah, maka perilakunya juga akan salah.
Ketika sekelompok orang meyakini bahwa sumber daya yang ada merupakan sarana yang terbatas, maka barang dan jasa yang terbatas itu akan menjadi rebutan semua orang yang menginginkannya. Sebagai ilustrasi, kita bawakan sepiring nasi kepada seratus orang yang lapar, seraya mengatakan, “maaf nasi ini terbatas hanya satu piring”. Maka dalam rangka mendapatkan sepiring nasi tersebut, perilaku seratus orang yang lapar tadi bisa saja mereka berani berbuat curang, menggunakan tipu daya, kekerasan, kasar bahkan rela kalaupun harus saling membunuh.
Keyakinan bahwa hanya ada satu piring nasi untuk seratus orang yang lapar akan mendorong perilaku yang mencerminkan ketidakamanan dan kecemasan. Persaingan menjadi sangat masif dan bisa menciptakan situasi konflik antara individu atau kelompok yang berusaha memperoleh sumber daya yang didinginkan. Pada masyarakat bar-bar perebutan tersebut dibiarkan sehingga banyak menimbulkan korban jiwa. Dan pemenang perebutan tersebut tentu adalah mereka yang terkuat dan terkejam di antara mereka. Pada masyarakat beradab perebutan lebih tertata dan melahirkan sistem yang menentukan ”siapa mendapatkan apa” maka lahirlah ekonomi kapitalis, yang pada hakikatnya tidak menghilangkan dominasi yang terkuat dan terkejamlah yang akan keluar sebagai pemenang.
Akidah ekonomi Islam tentu berbeda dengan akidah konvensional dalam memandang sumber daya yang ada. Al-Qur’an menegaskan bahwa sesungguhnya Allah SWT, telah mencukupkan semua kebutuhan seluruh makhluk hidup yang bergerak di bumi, seperti dijelaskan dalam firman Allah;
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya” (Q.S. Hud: 6).
Dalam tafsir Al-Munir, dijelaskan bahwa sesungguhnya Allah menanggung semua rezeki bagi semua makhluk dan itu telah diwajibkan atas diri-Nya dengan kalimat (عَلَى) yang mempunyai makna wajib dalam bentuk karunia dan rahmat dari-Nya. Ketercukupan sumber daya yang ada diperkuat lagi dengan perintah agar kita mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban (halal dan baik). Seperti pada firman-Nya;
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلٗا طَيِّبٗاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِيٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ ٨٨
Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (Q.S. Al-Ma’idah: 88).
Perintah mengkonsumsi makanan halal dan baik pada ayat tersebut mengandung dua aspek perintah, yang pertama, halal terkait cara mendapatkannya, ini berarti mengandung makna perintah untuk bermuamalah dengan cara yang benar tidak bertentangan dengan syariat Islam. Aspek yang kedua, thayyib (baik) berarti apa yang dikonsumsi itu tidak berbahaya bagi kesehatan, justru sebaliknya mengandung manfaat bagi tubuh.
Dari kedua ayat di atas kita bisa memahami, tidak mungkin Allah menyuruh memilih makanan yang halal dan baik kalaulah tidak didukung oleh banyaknya objek pilihan. Karena ketika tidak menunjukkan ketersediaan makanan bahkan hanya ada makanan yang diharamkan saja seperti daging babi, maka boleh mengkonsumsinya untuk melindungi jiwa manusia (hifz al-nafs). Jadi perintah mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik menunjukkan banyaknya pilihan, betapa sumber makanan yang tersedia itu banyak sekali baik jenis maupun variannya.
Ketika seseorang dihadapkan pada seratus orang yang lapar dengan membawa beberapa piring nasi, kemudian orang itu berkata, “jangan takut tidak terbagi, persediaan banyak, semua orang akan mendapatkannya, Allah yang menjamin rezeki kalian”, reaksi seratus orang lapar yang mendengar pernyataan tersebut akan berbeda dengan reaksi mereka yang meyakini bahwa persediaan makanannya terbatas. Mereka tidak merasakan kepanikan atau kecemasan yang sama, karena keyakinannya bahwa Allah SWT telah menyediakan dengan cukup. Keyakinan tersebut dapat mengurangi perilaku yang tidak terkendali atau kekerasan untuk mendapatkan makanan atau rezeki dari Allah SWT.
Bukti lain bahwa sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia sangat banyak adalah dalil-dalil yang memerintahkan untuk berbagi seperti menyantuni fakir, miskin, anak yatim dan orang-orang yang membutuhkan. Bahkan dalam ayat lain, Allah SWT akan menjamin keperluan manusia asalkan beriman dan bertawakal kepada-Nya.
وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ
Artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (Q.S. At-Talaq: 3).
Yang perlu diluruskan bukanlah sumber dayanya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan, tetapi dengan apa manusia harus memenuhi kebutuhannya, karena banyaknya pilihan. Ketika seseorang merasa lapar, yang diperlukan adalah makanan yang dapat menghilangkan rasa lapar, tidak terbatas pada nasi saja. Manusia tidak harus terpaku pada satu jenis makanan. Dalam Islam, Allah SWT telah memberikan berbagai jenis makanan sebagai karunia-Nya untuk memastikan keberlanjutan hidup manusia. Oleh karena itu, manusia memiliki pilihan dalam memenuhi kebutuhan makanannya, seperti jagung, roti, talas, singkong, sagu, dan sebagainya.
Untuk mendapatkan rezeki berhubungan erat dan tunduk kepada sunnatullah di alam ini yaitu keterkaitan antara sebab dan musabbab yaitu untuk mendapatkan rezeki berkaitan dengan usaha. Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun manusia melakukan usaha, hasil akhirnya tetaplah bergantung pada kehendak Allah. Oleh karena itu, manusia tidak akan dihisab terkait seberapa hasil yang didapatkannya, karena hasil merupakan hak prerogatif Allah SWT. Yang akan dihisab dan dimintakan pertanggungjawabannya adalah proses mendapatkan sumber daya tersebut.
Apakah dengan cara bar-bar dan menghalalkan segala cara ataukah dengan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan syariat, seperti yang dijelaskan Rasulullah SAW, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat perkara; Tentang badannya, untuk apa ia gunakan, tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang ilmunya bagaimana ia beramal dengannya.”(HR. Tirmidzi).
Maka ketika seorang Muslim meyakini bahwa Allah SWT telah menjamin rezekinya, dapat mengurangi ketegangan dan persaingan yang tidak sehat di antara individu yang berusaha memperoleh rezeki. Sebagai gantinya, bisa saja setiap individu lebih condong untuk mencari solusi yang damai dan gemar berbagi rezeki secara adil, tanpa perlu terlibat dalam tindakan yang merugikan atau melanggar batasan syariah.
Dalam hal ini, keyakinan tentang rezeki manusia telah dijamin oleh Allah dapat menjadi sumber inspirasi untuk mengubah paradigma yang meyakini bahwa sumber daya manusia terbatas, sebuah keyakinan yang telah terpatri selama puluhan tahun. Juga keyakinan bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki manusia, dapat menjadi inspirasi untuk mempromosikan kerja sama, keutamaan berjamaah, solidaritas, serta keadilan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Wallahu a’lam bish-shawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.